Dari DI/TII Hingga JI (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Bom menghantam Bali pada Oktober 2002. Total 202 orang tewas dalam serangan tersebut. Dan semua pihak menunjuk pada keterlibatan Jamaah Islamiyah (JI). (https://id.wikipedia.org/wiki/Bom_Bali_2002)
Apa itu JI? Dan bagaimana jaringan teror ada di Indonesia? Siapa bermain?
Pada awal abad ke-20, Islam modernis yang mengusung tema gerakan anti kolonialisme, mampu menarik simpati pekerja dan kelas menengah perkotaan. Namun setelah PD II, fungsi Islam modernis direduksi menjadi kelompok sayap kanan karena munculnya gerakan komunisme.
Tidak terkecuali di Indonesia. Masyumi sebagai representasi partai Islam modernis otomatis memiliki lawan sejati yaitu PKI. Menurut Peter Symonds, pertentangan makin tajam saat Soekarno ‘mulai berpaling’ ke PKI dan menjauh dari Masyumi, sambil bermanuver ke poros Tiongkok guna mendapat sokongan dana. (https://www.wsws.org/en/articles/2003/11/ji2-n13.html)
Wajar bila kemudian Masyumi yang ‘disisihkan’, kemudian dijadikan proxy CIA untuk menggoyang kedudukan Soekarno yang makin mesra dengan China. Caranya dengan mendanai berbagai pemberontakkan di Sumatera pada rentang waktu 1958-1959. (https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/CIA-RDP04T00794R000200670001-4.pdf)
Sebelum dilarang, politisi Masyumi yang bernama SM Kartosuwirjo mendirikan Darul Islam (DI). Dan pada 1949, Kartosuwirjo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Praktis NII menentang konsepsi Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan di tahun 1945.
Karena merasa ditentang, maka Kartosuwirjo melakukan pemberontakkan di Aceh dan Sulsel, hinga akhirnya menyebar ke pulau Jawa. Gerakan ini berhasil ditumpas Soekarno pada 1962. Dan Kartosuwirjo-pun ditangkap dan dieksekusi di tahun yang sama. (https://historia.id/politik/articles/detik-detik-terakhir-kartosoewirjo-6l73w)
Gerakan Islam modernis tersebut kembali mendapat panggung dengan mendukung kudeta yang diprakarsai oleh CIA atas kepemimpinan Soekarno di tahun 1965-1966, dengan cara membantai sekitar 500ribu anggota PKI dan simpatisannya. Bahkan dilaporkan, bahwa veteran DI terlibat pada pembunuhan buruh perkebunan yang ada di Subang, Jawa Barat.
Menurut Martin van Bruinessen, pada masa Orde Baru, kepala intelijen Ali Murtopo terlibat dalam membentuk kelompok veteran DI sebagai ‘senjata rahasia’ yang sewaktu-waktu dapat digerakkan dalam melawan ‘komunisme’ dan musuh lainnya yang dianggap cukup potensial bagi penguasa Orba. (https://www.jstor.org/stable/43818511)
Jadi, Orde Baru (dibawah Soeharto) memang sedari awal menggunakan kelompok Masyumi tersebut sebagai alat untuk mendukung kekuasaannya.
Namun sialnya, tuntutan Masyumi atas syariah Islam, nggak juga mendapat respon positif dari Soeharto. Kenapa? Karena kalo dikasih, sama saja artinya dengan pemerintahan Soeharto bersikap kompromistik terhadap kelompok Masyumi. Dan pantang bagi Soeharto untuk melakukannya.
Penolakan yang dilakukan Soeharto mengakibatkan kubu Masyumi terpecah menjadi 2 kelompok besar. Kelompok pertama yang memilih jalur kompromistik dengan bergabung ke Golkar sebagai kendaraan politik Orba. HMI adalah salah satunya.
Sedangkan kelompok kedua tetap pada tujuan awal yaitu untuk memperjuangkan negara berbasis syariah Islam. Yang paling menonjol dari kelompok kedua ini adalah DDII alias Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).
Pada tahun 1962, rejim Saudi mendirikan Liga Dunia Islam guna mengerek paham wahhabisme-nya di seluruh dunia. Dan salah satu mitra strategisnya di Indonesia adalah DDII, dimana saat itu Mohammad Natsir dipilih sebagai salah satu wakil ketuanya. (https://aljamiah.or.id/index.php/AJIS/article/download/58102/388)
Kelak dari jaringan DDII inilah muncul 2 tokoh utama JI, yaitu Sungkar dan Bashir.
Setidaknya dalam sebuah wawancara dengan Nida’ul Islam (1997), Sungkar begitu memuji sosok Kartosuwirjo. Selain itu, Sungkar bercita-cita untuk menjatuhkan rejim Soeharto lewat Quwwatul Musallaha alias kekuatan militer. Artinya memang ada ikatan ideologis antara DDII dan DI/TII. (https://apjjf.org/site/change_display_type/list_details/site/show_list/id/257)
Karena cita-cita negara Islam yang dianutnya, pada 1967 Sungkar dan Bashir mendirikan stasiun radio di Solo. Selanjutnya mereka membuka sekolah Islam di Ngruki dan makin radikal dalam menolak konsepsi negara Pancasila ala Orba. Nggak aneh jika di tahun 1975, stasiun radio-nya ditutup oleh rejim Orba karena dianggap subversif.
Sebagai ‘hadiah’ Sungkar dan Bashir ditangkap pada November 1978 dan didakwa telah menjalin hubungan dengan Haji Ismail Pranoto selaku komandan senior DI di Jawa Barat yang belakangan mendirikan Komando Jihad (Komji).
Kenapa gerakan mereka menjadi lebih gampang dibredel semasa Soeharto berkuasa? Ya karena AS berkepentingan untuk menjaga Soeharto sebagai ‘boneka-nya’ di Indonesia tetap berkuasa, sehingga kepentingan eksploitasi hasil alam di Indonesia bisa terus terjaga dengan aman. (https://core.ac.uk/download/pdf/127608754.pdf)
Lagian seperti saya pernah ulas, bahwa sejatinya kelompok Masyumi adalah mesin perang elite global yang akan digunakan untuk menghajar rejim yang tidak sejalan dengan kepentingan Washington. (baca disini dan disini)
Apa mungkin Soeharto yang jadi rejim boneka AS kala itu, dijatuhkan karena nggak sejalan dengan Washington?
Bagaimana kaitan Sungkar dan Bashir pada pembentukkan Jammah Islamiyah?
Pada bagian kedua saya akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments