Bola Liar Pasien Nol


513

Bola Liar Pasien Nol

Oleh: Ndaru Anugerah

Saat melakukan penyelidikan terkait penyebaran penyakit AIDS di Los Angeles dan San Francisco pada dekade 1980an, para peneliti dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menggunakan notasi huruf O merujuk pada kata outside.

Artinya, kasus tersebut ada kemungkinan berasal dari luar (outside) negara bagian California.

Namun, peneliti lain salah mengartikan huruf O tersebut, dan justru menamainya dengan istilah nol. Sejak saat itu, istilah pasien nol mulai ramai digunakan sebagai istilah medis.

Pasien nol sendiri mengacu pada seseorang yang terinfeksi suatu penyakit yang tetapi justru menunjukkan sedikit atau sama sekali tidak ada gejala penyakit. Dan parahnya, pasien nol justru biasanya menginfeksi orang lain.

Pasien nol perlu diketahui untuk menjawab pertanyaan seputar: bagaimana, kapan dan mengapa wabah bisa terjadi di suatu wilayah, sehingga diharapkan jelas akar masalah dan cara pengangannya kelak.

Hari ini, netizen dan pakar kesehatan China ramai-ramai mendesak otoritas AS untuk segera merilis informasi kesehatan dan infeksi dari delegasi militer AS yang datang ke Wuhan saat Olimpiade Militer (CISM) ke-7 pada Oktober silam.

“Ini perlu dilakukan untuk mengakhiri dugaan tentang personil AS yang membawa COVID-19 ke China saat event olahraga militer tersebut digelar,” demikian cuitan mereka melalui twitter.

Selidik punya selidik, heboh tentang pasien nol tersebut dihembuskan oleh George Webb – seorang jurnalis investigasi di Washington DC – yang mengklaim bahwa nama pasien nol tersebut telah dikantonginya, yang bernama Maatje Benassi.

Siapa Maatje Benassi?

Dalam sebuah laporan oleh situs resmi Departemen Pertahanan AS pada 25 Oktober 2019, Maatje Benassi merupakan seorang serdadu wanita (52 tahun) berpangkat Sersan yang ikut berpartisipasi dalam lomba balap sepeda 50 mil di event CISM Wuhan, Oktober silam.

Menariknya menurut Webb, bahwa bio-lab militer AD di Fort Detrick yang menangani organisme penyebab penyakit tingkat tinggi seperti Ebola, telah ditutup karena fasilitas dan sistem manajemen yang tidak memenuhi syarat.

Konon cuitan Webb tersebut menguatkan dugaan bahwa benar Fort Detrick-lah tempat pembuatan virus COVID-19 yang selanjutnya lewat tangan serdadunya dibawa ke China saat momen CISM digelar di Wuhan.

Li Haidong, seorang profesor studi AS di Institute of International Relations, China Foreign Affairs University mengatakan kepada Global Times (24/3) tentang perlunya AS dalam menanggapi bola liar terkait pasien nol kasus COVID-19.

Ini dirasa perlu, sehingga keraguan publik akan asal virus yang ditenggarai oleh Trump sebagai virus China tersebut, dapat segera terjawab.

Sebelumnya, pada Maret yang lalu, Zhao Lijian seorang diplomat asal China sempat berkicau dan mengungkapkan kecurigaannya pada asal virus COVID-19 yang diduga justru berasal dari AS, yang kemudian dibawa oleh delegasi militer AS saat CISM Wuhan berlangsung.

Wajar publik internasional curiga mengingat ketidakjelasan AS dalam merespon tuntutan masyarakat China yang selama ini justru dikambing hitamkan sebagai pengimpor COVID-19 ke seluruh dunia.

Ini diperkuat dengan stigma yang diberikan oleh Trump bahwa COVID-19 adalah virus (asal) China.

Sebagai gambaran, dalam event CISM tersebut, China selaku tuan rumah berhasil menjuarai turnamen dengan 133 medali emas, 64 medali perak dan 42 medali perunggu.

Posisi kedua ditempati oleh Rusia dengan 51 medali emas, 53 medali perak dan 57 medali perunggu.

Sedangkan posisi ketiga diambil oleh Brazil dengan 21 medali emas, 31 medali perak dan 36 medali perunggu.

Dimana posisi AS yang telah mengirim 172 serdadu pada ajang CISM tersebut?

Posisinya melempem, karena tidak berhasil menggondol 1-pun medali emas pada ajang tersebut.

Ini jadi aneh. Bukankah selama ini AS dianggap salah satu negara yang memiliki kekuatan militer terbaik di dunia? Kok 1 emas-pun gagal didapatkan?

Apakah AS terlalu sibuk untuk menggelar ‘operasi senyap’ ketimbang mengincar medali emas dalam ajang CISM tersebut?

Entahlah…

Setidaknya menurut analisa saya, AS nggak akan mungkin berani merilis temuan tersebut.

Padahal sesuai SOP-nya, seorang prajurit yang akan mengikuti pertandingan olahraga harus diuji minimal dengan menggunakan tes darah PCT alias Procalsitonin untuk mengetahui apakah sesorang positif terinfeksi bakteri atau penyakit yang bisa menular?

Kenapa sekedar mengeluarkan hasil PCT-nya saja, kok susahnya minta ampun?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Bos ini ada yg ga match sama tulisan anda di nusantaratv.com sepertinya, jumlah personel militer amerika pada ISMC di wuhan itu 369 atau 200 orang?

error: Content is protected !!