Bisnis Kebencian (*bagian 1)


521

Apa kejahatan manusia yang mula-mula? Hasad alias sifat iri (baca disini). Iri dapat dimanifestasikan dalam beberapa bentuk sifat manusia, salah satunya rasa benci. Inilah yang terus melekat dalam diri manusia hingga kini.

Terima atau tidak, ada kelompok tertentu yang sengaja mengeksploitasi kebencian dalam diri manusia, untuk memperoleh keuntungan. Inilah yang kemudian melahirkan bisnis kebencian.

Namun, mengingat banyaknya informasi yang akan saya bagikan, maka tulisan ini terpaksa saya break ke dalam dua bagian. Harapannya pembaca akan memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif.

Pada bagian pertama, saya akan mengulas bisnis kebencian pada era kolonialisme. Dan pada tulisan kedua nanti, saya akan bahas tentang bisnis kebencian yang dikembangkan oleh kelompok yang modern.

Goyang mang…

Pada masa penjajahan, adalah fakta bahwa penjajah itu tidak serta merta 100% hengkang dari negara yang dijajahnya begitu negara terjajah memproklamasikan kemerdekaannya. Tidak sama sekali. Mereka masih meninggalkan jejak, berupa sistem pengkelasan dalam masyarakat.

Apa tujuannya? Tak lain adalah warisan yang kelak akan bisa mereka ‘gunakan’ seandainya mereka bisa menjajah kembali wilayah yang pernah mereka taklukkan. Tentu saja dengan mengadu domba kelas-kelas yang sudah mereka ciptakan, dengan sentimen-sentimen tertentu. SARA misalnya.

Kasus klasik yang bisa kita pelajari adalah Rwanda.

Awalnya Rwanda adalah negara bekas jajahan Belgia. Saat menjajah negara ini, Belgia membagi kelas-kelas dalam masyarakat Rwanda. Ada suku Hutu, ada suku Tutsi. Hutu merupakan bangsa pribumi yang kulitnya lebih berwarna hitam, agak pendek, hidungnya besar dan agak pesek.

Sementara suku Tutsi dipandang lebih tinggi eksistensinya oleh orang-orang Belgia, dengan perawakan kulit yang lebih terang, langsing, serta bentuk hidungnya yang lebih mancung. Bukan giginya yang mancung, ya…

Satu hal yang pasti, bangsa Belgia sengaja memilih orang-orang Tutsi untuk menjalankan roda pemerintahan ketimbang orang-orang Hutu. “Orang Hutu cocoknya jadi kerja kuli saja,” demikian ujar orang-orang Belgia saat itu.

Perlakuan inilah yang kelak mendatangkan rasa iri dan kecemburuan yang berkepanjangan pada orang-orang Hutu terhadap suku Tutsi. Kecemburuan itu memang sengaja dibiakan oleh kolonial Belgia. Kelak Belgia punya kepentingan terhadap Rwanda, tinggal sentil pakai sentimen SARA, dan dalam sekejap api kebencian akan menemukan salurannya.

Dan kejadian yang diharapkan sungguh terjadi berpuluh-puluh tahun kemudian setelah Belgia hengkang dari Rwanda, tepatnya di tahun 1994. Saat itu para milisi Hutu mengadakan pembunuhan massal untuk membantai kaum Tutsi yang mereka anggap sebagai cockroach, alias kecoa.

Kejadian dipicu oleh tewasnya presiden Rwanda yang kebetulan berasal dari suku Hutu, karena pesawatnya dirudal oleh kelompok tak dikenal. Mulailah hoaks bekerja, dengan mengatakan bahwa suku Tutsi-lah yang merudal pesawat sang presiden, karena nggak rela presidennya dari suku Hutu.

Tambah sedikit provokasi berbau SARA lewat media radio, suku Hutu yang sebenarnya sudah memendam bara dendam terhadap suku Tutsi, akhirnya meledakkan amarahnya pada suku Tutsi. Suku Hutu beramai-ramai turun ke jalan dengan membawa parang dan senjata yang entah di-suppy oleh siapa. Pembantaian-pun tak bisa dielakkan.

Tercatat sekitar 250 ribu jiwa suku Tutsi melayang karena genosida tersebut.

Peristiwa pembantaian tersebut sebenarnya merupakan perang asimetrik yang dijalankan di bumi Rwanda oleh pihak yang sengaja’bermain di air keruh’ . Pada lain kesempatan saya akan mengulasnya.

Sementara itu, di bagian bumi yang lain, tepatnya di Malaysia, sistem pengkelasan dalam masyarakat-pun terjadi. Saat era kolonialisme, Inggris sengaja menempatkan orang Melayu pribumi dan juga orang India di sektor pertanian dan perkebunan yang identik dengan pekerjaan kasar.

Lain cerita dengan nasib yang didapat oleh orang-orang suku Tionghoa di Malaysia yang justru ‘diarahkan’ ke sektor perdagangan. Ngurusin bidang yang jauh lebih banyak cuan-nya ketimbang kerja kuli di pertanian/perkebunan.

Sontak perlakuan ini menimbulkan kesenjangan ekonomi. Orang-orang Melayu pribumi dan orang-orang keturunan India, jauh lebih miskin kondisinya ketimbang warga etnis Tionghoa. Sedikit demi sedikit, jurang konflik yang terjadi sana kian melebar akibatnya sistem yang dibuat bangsa Inggris.

Dan puncak dari kecemburuan sosial tersebut terjadi saat pemilu 1969 usai digelar di Malaysia. Singkat kata terjadi kerusuhan berbau rasial yang menyasar penduduk etnis Tionghoa.

Alasannya sederhana. Namun jadi meriah lewat sentuhan provokasi berbau SARA, Warga Melayu mayoritas yang notabenya penduduk miskin, menganggap etnis China telah memonopoli perekonomian di Malaysia.

“Karena mereka kami jadi kere permanen,” begitu ujar mereka kurang lebihnya. Walhasil, korban kerusuhan lumayan banyak, mencapai 184 orang.

Kasus kerusuhan itu sendiri mirip-mirip kerusuhan Mei 1998 yang pernah terjadi di Jakarta. Siapa bermain? Tentu kelompok-kelompok tertentu yang punya kepentingan. Mau saya ulas, takut nanti saya diserbu sama penggemar Upin Ipin. “Lagian saya nggak lagi bahas soal kerusuhan di Malaysia.”

Berkaca pada kedua kasus tersebut, kita bisa simpulkan bahwa bisnis kebencian memang sungguh ada dan menggiurkan. Terutama menyasar negara-negara yang kaya akan hasil alamnya. Logikanya sederhana, apa mungkin serigala saling cakar-cakaran kalo nggak ada daging untuk diperebutkan.

Pada tulisan kedua saya akan bahas siapa pemain di bisnis kebencian saat ini. Dan sadar ataupun tidak, kadang kita mudah termakan hasutan mereka. Ironisnya ‘mereka’ sungguh bekerja disekitar kita.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!