Bagaimana AS Memecah Tiongkok (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Sejak jatuhnya Uni Soviet di tahun 1991, kekuatan China terus melejit menggantikannya. Dan ini jadi tantangan tersendiri bagi AS sebagai pemegang kontrol hegemoni dunia. “Mana boleh dalam 1 hutan terdapat 2 raja?” Singkatnya, China harus diberangus layaknya Uni Soviet.
Bagaimana caranya?
Menarik untuk disimak pernyataan yang dikeluarkan oleh Prof. Luiz Alberto Moniz Bandera, “Operasi CIA berusaha melakukan hal sama ke China, seperti yang dulu mereka lakukan pada Uni Soviet selama perang di Afghanistan, dengan menggunakan kekuatan proxy seperti kelompok-kelompok teroris dan juga negara-negara boneka yang memelihara ide-ide pan Islam.” (https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-319-54888-3)
Apa peran penting proxy dan negara boneka bagi kepentingan AS? Untuk memecah China dari dalam supaya provinsi besarnya (seperti Xinjiang dan Tibet) dapat dijadikan proyek Balkanisasi selanjutnya dan menyebabkan China kolaps.
Yang kedua, wilayah-wilayah besar di China perlu didestabilisasikan, karena wilayah tersebut kaya akan sumber daya alam yang digunakan untuk mendukung perekonomian China.
Gak percaya?
Ambil contoh Xinjiang yang mayoritas wilayah merupakan gurun pasir dan dihuni oleh sedikit penduduk. Nyatanya, Xinjiang kaya akan bahan baku. 25% cadangan minyak dan gas China, sumbernya dari wilayah tersebut. Untuk batubara, bahkan menyumbang angka 38% bagi kebutuhan negara Tirai Bambu tersebut. (https://valeriaribeiroufabc.files.wordpress.com/2018/04/william-a-joseph-politics-in-china-an-introduction-second-edition.pdf)
Singkatnya Xinjiang sangat strategis bagi kepentingan China, selain sebagai penghubung China ke Asia Tengah hingga wilayah Mediterania. Bahkan China berambisi untuk menghubungkan kota Kashgar di Xinjiang dengan kota pelabuhan Gwadar yang ada di Pakistan sepanjang 1200 mil dalam jalur CPEC (Koridor Ekonomi China-Pakistan) sejak tahun 2013. (https://www.beltandroad.news/2020/06/29/usa-wants-to-destabilise-china-internally/)
Ngapain sih China perlu membentuk CPEC dengan Pakistan? Karena CPEC merupakan bagian dari mega proyek Belt & Road Initiative. Kelak proyek CPEC ini akan memacu perkembangan industri di Pakistan, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh AS sebelumnya di wilayah tersebut. (https://www.globalvillagespace.com/cpec-the-real-danger-is-uss-policies/)
Dengan dibangunnya Pakistan, maka secara geopolitik akan mampu melemahkan kekuatan AS di negara tersebut. Minimal, Pakistan yang awalnya pro AS kini bisa berpaling ke China. Inilah yang menyebabkan konflik perbatasan China – India bisa terjadi baru-baru ini. (baca disini dan disini)
Apakah cukup sampai Pakistan? Tentu tidak, Roberto.
Setelah Pakistan, maka China akan membangun jalur ekonomi dengan Iran, yang merupakan negara tetangga Pakistan, dengan menghubungkan Gwadar dan pelabuhan Chabahar yang ada di Selatan Iran. (https://thediplomat.com/2017/01/pakistan-and-china-dont-fear-chabahar-port/)
Ini bukan kaleng-kaleng, mengingat hubungan China, Pakistan dan Iran otomatis akan mampu mengurangi waktu dan jarak tempuh dalam pengiriman minyak dari Iran menuju China. Dari yang semula butuh waktu 2-3 bulan (karena harus melewati laut lepas) untuk tiba, kelak hanya butuh waktu beberapa hari saja.
Kok bisa? Karena adanya jalur pipa dari Xinjiang ke Gwadar, yang secara otomatis akan memotong jarak tempuh menjadi hanya sekitar 1600 mil saja jauhnya. (https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-319-54888-3)
Dengan adanya jalur pipa tersebut, selain memangkas jarak, maka akan dapat menghindari jalur Selat Malaka di lepas pantai Malaysia, dimana armada perang Angkatan Laut AS sengaja bercokol disana. “Minyaknya nggak dapat, yang ada ribut melulu sama AS,” begitu kurlebnya.
“Target China sebenarnya bukan hanya Asia Tengah tapi juga Timur Tengah, karena di wilayah tersebut terdapat cadangan minyak dan gas dunia yang cukup besar yang dibutuhkan oleh China dalam mengembangkan industrinya,” begitu ungkap Prof. Bandera.
Jika China dapat meningkatkan pengaruhnya di wilayah tersebut dengan cara menggelar proyek infrastuktur yang menguntungkan, maka ini akan dapat menempatkan China pada percaturan global yang sangat kuat. Dan ini otomatis akan menggeser peran penting pemerintahan Washington di pentas panggung global.
Nggak aneh AS terus-terusan mendengungkan tentang bahaya PERANGKAP HUTANG CHINA bagi pemerintahan Pakistan. Tujuannya apa? Agar proyek CPEC tersebut bisa tertunda, syukur-syukur bisa dibatalkan. (https://www.dailyo.in/politics/china-debt-trap-pakistan-cpec-imf-imran-khan/story/1/28759.html)
Apakah berhasil?
Nyatanya rakyat Pakistan malah menyukai hubungan erat dengan China. (https://www.scmp.com/week-asia/opinion/article/3019948/why-warmer-us-pakistan-relationship-win-china)
Sadar akan strateginya yang gagal maning, AS merubah taktik dengan menggunakan kekuatan proxy yang ada di China, khususnya di Xinjiang. Caranya? Dengan mendorong gerakan separatis yang ada di Urumqi, Xinjiang untuk bisa merdeka dari China. Targetnya adalah menahan ekspansi China lewat proyek BRI-nya.
Kalo sudah gerakan separatis (yang biasanya dengan dalih HAM dan revolusi warna), apalagi yang dipakai selain koneksi NED dan USAID? (baca disini, dan disini)
Maka, dibuatlah isu yang paling seksi untuk dimainkan yaitu HAM. Dihembuskanlah isu tersebut lewat media mainstream, dimana terdapat pelanggaran HAM yang sangat masif yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap masyarakat muslim Urumqi, sejak 2009 silam. Anda pasti masih ingat kasus Uyghur, kan? (https://www.cfr.org/backgrounder/chinas-repression-uighurs-xinjiang)
Apakah hanya koneksinya dengan Pakistan pada jalur CPEC, maka Xinjiang layak dipandang sebagai wilayah yang strategis secara geopolitik oleh China?
Bukan itu saja, pastinya. Pada bagian kedua nanti saya akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments