Antara Vaksin dan Obat (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan sudah dijelaskan tentang vaksin serta implikasi penggunaannya.
Sebagai tambahan informasi, pada rentang 1850 – 1940, sebelum dunia kenal program vaksinasi, British Association for the Advancement of Science melaporkan bahwa terjadi penurunan 90% penyakit pada anak-anak dipicu oleh peningkatan sanitasi dan kebersihan lingkungan.
Pada 1945, otoritas medis AS mencatat penurunan angka kematian sebesar 95% akibat penyakit menular pada anak-anak (seperti: difteri, pertusis, demam berdarah dan campak) secara alami, jauh sebelum vaksinasi massal dimulai.
Bahkan laporan WHO menyatakan tingkat kematian dan penyakit pada dunia ketiga tidak memiliki kaitan langsung dengan program vaksinasi. “Yang berhubungan secara langsung justru sanitasi yang layak, kebersihan serta praktik diet.”
Kesimpulannya, tidak ada kaitannya antara vaksinasi dengan penurunan penyakit menular. Faktor kebersihan dan makanan yang justru punya kaitan yang erat.
Bahkan penelitian yang diterbitkan oleh British Medical Council di tahun 1950, menyatakan bahwa vaksin tidak menjamin imunitas terhadap penyakit tertentu. Meskipun vaksin menstimulasi produk antibodi, tidak ada bukti yang menunjukkan terjaminnya kekebalan tubuh.
Seorang ilmuwan sekaligus aktivis anti vaksin terkenal dari Universitas Comenius, Bratislava – Dr Viera Scheibner – menyatakan; “Sejak pergantian abad, jurnal-jurnal medis telah menerbitkan banyak artikel tentang vaksinasi yang dapat memicu anafilaksis.”
Anafilaksis sendiri merupakan reaksi alergi yang tergolong berat karena bisa mengancam nyawa penderitanya, hanya dalam hitungan detik atau menit setelah terpapar.
Lebih lanjut Scheibner menambahkan: “Saya tidak akan menggunakan kata imunisasi pada proses vaksinasi. Seolah-olah vaksin mengimunisasi seorang. Nyatanya tidak.”
Kenapa Scheibner demikian keukeuh menyatakan hal tersebut?
Selidik punya selidik dalam semua vaksin terkandung racun berbahaya seperti merkuri, aluminium, formaladehyde, phenoxyethanol (zat anti beku) hingga adjuven squalene yang justru dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh seseorang sehingga rentan penyakit. Walaupun respons-nya pada tiap orang akan berbeda.
Lantas, jika bukan vaksin apa solusinya untuk menangani penyakit?
Ya obat.
Meskipun sama-sama punya efek samping seperti halnya vaksin, namun collateral damage-nya jauh lebih terukur.
Dalam mengatasi masalah COVID-19 di negaranya, China terbukti sukses mengendalikannya dengan bantuan obat dan bukan vaksin.
Setidaknya Prof Didier Raoult dari Aix-Marseille Université, Marseille, Perancis yang merupakan salah satu dari 5 ilmuwan teratas dunia tentang penyakit menular menganjurkan demikian.
Ada banyak alternatif obat yang bisa digunakan.
Salah satu obat yang bisa dipakai adalah Chloroquine atau Plaquenil yang harganya murah meriah dan biasanya dipakai untuk mengatasi demam malaria. Pada pertengah Februari 2020, uji klinis di lembaganya telah mengkonfirmasi kemanjuran obat tersebut.
Bahkan ilmuwan China telah mengujicobakan pada lebih dari 100 pasien COVID-19 dan hasilnya cukup menggembirakan. Komisi Kesehatan Nasional China kemudian merekomendasikan penggunaan Chloroquine dalam mengobati pasien Corona.
Selain itu ada lagi obat lainnya, seperti yang pernah saya ulas, yang namanya Interferon Alpha 2B (baca disini).
Obat dari Kuba tersebut sedikit diketahui dunia akibat embargo AS pada negara sosialis tersebut. Padahal efektivitas obat dalam menangani COVID-19 sudah nggak perlu diragukan.
Sasus yang beredar, bahwa perusahaan patungan China dan Kuba telah memproduksi obat tersebut di China dengan harga murah alias versi generiknya.
Obat sederhana lainnya adalah mentholatum alias mentol yang biasa digunakan untuk mengurangi gejala flu, dengan cara menggosokkannya ke daerah sekitar hidung.
Tahu medicated oil, kan? Obat gosok ini sebenarnya berfungsi sebagai disinfektan dan mencegah kuman memasuki jalur pernafasan, termasuk virus Corona.
Bahkan yang lebih spektakuler, Dr Raoult merekomendasikan kepada para pasien COVID-19 untuk tidur sambil duduk sampai mereka sembuh. Ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan keluar dari paru-paru. Metode ini pernah sukses pada penyembuhan flu Spanyol yang melanda dunia di tahun 1918.
“Bukankah belakangan ada pernyataan resmi dari badan kesehatan dunia WHO bahwa beberapa obat tersebut nggak efektif dalam menangani Corona, bang?”
Saya hanya ketawa. “Memang benar bahwa mereka secara masif mengkampanyekan tentang rendahnya efektivitas penggunaan obat-obatan alternatif tersebut. Yang paling sering mereka nyatakan adalah obat-obatan tersebut sangat berbahaya. Tujuannya apalagi selain nakut-nakutin?”
Jangan percaya hal tersebut. Tidak satupun dari produk tersebut yang mengancam keselamatan jiwa. Satu hal yang peerlu diingat, China telah berhasil mengatasi COVID-19 dengan menggunakan beberapa obat yang sederhana dan relatif murah tersebut.
Kenapa WHO tetap berkeras mengkampanyekan hal tersebut?
Yang namanya WHO, seperti pernah saya ulas sebelumnya, bukan lembaga yang bebas kepentingan. Justru sarat kepentingan. Kepentingan siapa? Yah tentu kepentingan sang Dirjen Tedros. Dan kita sama-sama tahu siapa yang ada dibelakangnya. (baca disini)
Ini perlu dilakukan sebagai bentuk represi yang dilakukan oleh media mainstream atas arahan WHO, agar program vaksinasi global bisa jalan sesuai rencana.
“Adakah jongos yang tidak melakukan perintah tuannya?”
Lagian saya kasih berita bagus: selain obat, peneliti China, Kuba dan Rusia tengah mengembangkan vaksin yang akan segera siap dalam waktu dekat. Vaksin ini akan mengatasi tidak hanya satu untaian virus Corona, tetapi genom dasar COVID-19.
Dengan aplikasi vaksin tersebut, diharapkan mutasi virus Corona yang menakutkan, tidak akan terjadi.
Apakah aman? Sudah tentu ini aman untuk digunakan, karena tujuannya bukan untuk bisnis melainkan untuk kemanusiaan. Jadi bukan untuk cari untung.
Berbeda dengan Big Pharma yang tujuannya cari untung, vaksin tersebut akan tersedia dengan biaya murah meriah yang bisa dipakai ke seluruh dunia.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Mirip sekali dengan film Contagion dimana obat2an alternatif disanggah oleh pemerintahan.
Tulisan di bagian penutup sangat melegakan. Terima kasih buat ulasannya bang.