Pelajaran dari Kuba


512

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa kegemaran Kuba sebagai sebuah negara sosialis?

Mungkin kalo negara lain hobi ekspor demi mendapatkan dollar, tapi Kuba punya kegemaran yang sangat berbeda. Hobi mereka justru: ekspor revolusi.

Setidaknya begitulah doktrin kuat yang dianut oleh rezim mendiang Fidel Castro.

Nggak satu dua kali Kuba coba mengekspor revolusi yang dimilikinya ke banyak negara, baik itu di negara Amerika Latin maupun negara di benua hitam, Afrika. Ada yang berhasil, dan tak sedikit yang gagal. Yah, namanya juga usaha.

Satu yang pasti, AS sebagai negara yang berkepentingan menjaga backyard-nya dari rongrongan kaum revolusioner, cukup terganggu dengan ulah Kuba. “Ganggu mlulu, jadi pusing pala Barbie.”

Sebagai imbalannya karena sering ekspor revolusi, Kuba akhirnya mendapatkan bonus dari negeri Paman Sam tersebut.

Di tahun 1981, CIA dengan bantuan militer AS melancarkan operasi senyap melawan Kuba dengan melepaskan virus demam berdarah ke Kuba. Setidaknya begitu isi laporan CIA yang belakangan dipublikasi.

Operasi yang berkaitan dengan MK/NAOMI project tersebut menggunakan nyamuk aedes yang telah dimodifikasi secara genetik di fasilitas bio-militer Angkatan Darat AS, Fort Detrick -Maryland.

Adapun tempat yang dijadikan sasaran uji coba sebelum virus siap dipakai adalah Avon Park, sebuah kawasan kumuh sekitar 170 mil dari Miami.

Akibat serangan biological warfare tersebut, sebanyak lebih dari 340 ribu orang Kuba terinfeksi, dengan tingkat penularan yang sangat cepat. Bahkan pernah mencapai 11 ribu orang hanya dalam sehari.

Tercatat dalam periode Mei hingga Oktober 1981, 158 orang meregang nyawa, dan 101 diantaranya adalah anak-anak.

Castro bereaksi keras dengan menuding CIA dibalik serangan biologis tersebut. Namun, Ronald Reagan justru membantahnya dengan berkata, “Ah, tuduhan Castro lebay karena tanpa bukti sama sekali.” Lha gimana bisa ada buktinya, wong nyamuk tersebut dilepas lewat udara?

Namun kalo sekedar menuduh tanpa bukti, repot juga. Karena toh tuduhan tidak akan membuahkan solusi yang dibutuhkan Kuba saat itu.

Puter-puter otak, Castro mulai mengerahkan para ahli bioteknya terbaiknya guna mengatasi masalah tersebut. Setelah dipikirkan masak-masak, Castro kemudian mendirikan Front Biologis tepat ditahun yang sama.

Teknisnya, para ahli biotek Kuba sebanyak 6 orang dikirim ke Finlandia untuk bertemu dengan dokter Kari Cantell. Konon katanya, dokter Cantell telah sukses mengisolasi interferon dalam tubuh manusia di tahun 1970an.

Namun sang dokter enggan mematenkannya, demi alasan perkembangan medis.

“Kalo mau mengembangkan dunia medis, silakan kita saling berbagi terobosan karena pengetahuan itu prinsipnya saling melengkapi bukan untuk dimonopoli,” begitu kurleb alasannya.

Interferon sendiri adalah sinyal protein yang diproduksi dan dilepaskan oleh sel-sel yang ada ditubuh kita sebagai respons terhadap masuknya infeksi. Nah interferon ini ibarat motivator yang mendorong sel-sel disekitarnya untuk meningkatkan sistem pertahanan anti-virus.

Singkat cerita, setelah 12 hari berguru pada dokter Cantell, para ahli biotek Kuba kembali ke tanah air mereka dengan ilmu yang baru didapat, guna menghasilkan interferon dalam jumlah besar.

Dan setelah 45 hari berkutat dalam laboratorium, mereka berhasil menghasilkan interferon Kuba generasi pertama, yang kualitasnya telah dikonfirmasi oleh laboratorium Cantell di Finlandia.

Ajaibnya, saat Cantell kembali ke Kuba pada tahun 1986, ternyata Kuba telah berhasil mengembangkan rekombinan jenis baru pada manusia yang diberi nama Interferon Alfa 2B.

Inilah obat anti-virus yang dipakai dalam mengentaskan wabah demam berdarah di Kuba pada tahun 1981.

Dan sesuai prinsip dokter Cantell, Kuba pun enggan mematenkan obat antivirus buatan mereka. Karena medis seyogyanya bukan dilandasi motif cari untung semata, tetapi yang terpenting adalah aspek kemanusiaan.

Kalo dipikir-pikir, Kuba memang bangsa yang tangguh. Bayangkan, ditengah embargo AS pada Kuba atas akses teknologi, peralatan, bahan, keuangan dan bahkan pertukaran pengetahuan, ternyata mereka masih bisa berinovasi dengan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia.

Bisa dibayangkan jika obat Interferon Alfa 2B tidak ditemukan, bukan nggak mungkin wabah COVID-19 di Wuhan bisa jadi mimpi buruk bagi China.

Setelah sukses yang diraih China dalam menanggulangi wabah COVID-19, akankah Indonesia mengambil langkah serupa dengan menggandeng Kuba atau China dalam mengentaskan masalah?

Better late than never, kan?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!