Akrobat Partai Kardus


514

“Sebenarnya kenapa PKS nggak mau merapat ke kubu Jokowi? Toh mereka tahu kalo secara matematis kans BOSAN untuk menang di gelaran pilpres 2019 ibarat menangkap kentut,” demikian pertanyaan gundah seseorang yang entah siapa ke nomor WA saya.

Saya perlu klarifikasi. Selama hampir 5 tahun mereka tongpes berat ditangan pemerintah Jokowi. Tak merasakan kue kekuasaan, sungguh merana hidup mereka. Maklum saat Pepo berkuasa, adalah masa keemasan mereka untuk meneguk madu kekuasaan.

Jadi bukan nggak mau, tapi nggak bisa tepatnya. Bukan PKS yang menginginkan keputusan tersebut, tapi dari kubu pakde. Kenapa? Karena pakde sangat paham, gelombang Arab Spring yang terjadi di Timur Tengah, tak lain tak bukan, Ikhwanul Muslimin-lah salah satu faktor penyebabnya.

Dan kenapa mereka bisa berlaku demikian, yah tak lain karena mereka adalah proxy war alias boneka kepentingan AS untuk memecah dunia Arab demi sebuah rencana. Lain waktu saya akan ulas apa rencana itu. Tapi point-nya adalah, Jokowi cukup tau siapa lawannya.

“Yang ada Indonesia siap bubar kalo koalisi melibatkan para kampret di dalamnya.”

Menderita masa paceklik yang berkepanjangan, membuat partai ini terpaksa banting setir.

Maksudnya?

Ingat pas Ijtima Ulama I, dimana para PKS sangat ngotot menyodorkan nama Abdul Somad atau Salim Segaf Aljufri sebagai cawapres pendamping Om Wowo. “Awas kalo nggak diakomodir, ana bakalan cabut dukungan,” demikian ancam para kampret.

Tapi nasib berkata lain. Sandi-lah yang dipilih oleh Om Wowo sebagai pendampingnya.

Apa PKS tarik dukungan? Kan nggak juga. Karena apa? Mereka butuh fulus yang banyak buat biaya nyaleg para kadernya di pemilu 2019. Sandi yang sadar posisi, langsung menawarkan kardus ke pihak PKS. Tanpa pikir panjang, kardus-pun diembat dan tadaa.. sekejab jadilah mereka Partai Kardus Sandi.

Memang kekuatan fulus sungguh sangat maknyus, dan mampu membelokkan arah dukungan partai barokah tersebut.

Singkat kata, terikat perjanjian dengan fulus bin kardus, seketika Sandi digadang-gadang sebagai cawapres yang sangat Islami. Versi kampret tentunya.

Langkah pertama, biar terlihat mendapat dukungan ummat, PKS langsung menyematkan status santri pos islamisme kepada Sandi. Itu terjadi pada 10 Agustus yang lalu. Segala macam upaya dikerahkan terutama dengan dukungan tim siber petamburan untuk membentuk opini publik bahwa Sandi beneran santri.

Ini sebenarnya sebagai buntut nyinyiran dedengkot mereka – Hidayat Nur Wahid – yang protes terhadap dukungan Solidaritas Ulama Muda untuk Jokowi (Samawi). “Ah, masa tampang masih bau kencur dah dibilang ulama,” demikian kilahnya.

Maka jangan heran bila Sandi langsung dikarbit sebagai santri pos islamisme ala mereka. Apakah cukup? Tentu tidak. Tak lama berselang, PKS kembali membuat akrobat dengan menyematkan gelar Ulama honoris causa kepada Sandi. Udah mirip-mirip gelar akademik dari kampus.

Apa alasannya?

Sekali lagi, HNW berkilah, “Predikat ulama dilekatkan pada orang yang memiliki ilmu atau keahlian tertentu, dan tak selalu berkaitan dengan ilmu agama. Jadi dengan definisi ini, gak salah donk kalo Sandi juga ulama?”

Kalo HNW pingin buat definisi, yah memang hak dia. Tapi plis ya mbok yang cerdas dikit napah? Dengan definisi seenak jidat tersebut, maka sekelas Dimas Kanjeng juga akan digelari ulama. Kok bisa? Dimas Kanjeng kan, punya keahlian nipu. Mau protes?

Belum lagi sederet nama dari mulai John Lennon, Albert Einstein, Adolf Hitler sampai Stephen Hawking, semua rame-rame akan diberi gelar ulama oleh PKS. Kebayang gak jadinya gimana?

Apakah akrobat partai kardus cukup sampai disini? Kek-nya nggak deh..
Soal kalo kita ngeliat polanya, Agustus aja Sandi dah jadi Santri, September mendadak jadi Ulama. Trus Oktober pasti diangkat jadi Nabi dan November, kemungkinan jadi Tuhan.

Super sekaleehh…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!