Menghempas Ikhwanul Muslimin


521

Menghempas Ikhwanul Muslimin

Oleh: Ndaru Anugerah

Tunisia, Januari 2011. Arab Springs melanda negara ini, dengan tergulingnya Presiden Zine El Abidine Ben Ali dan dirinya dipaksa hengkang ke Arab Saudi. (https://www.bbc.com/news/world-africa-12195025)

Cui bono?

Tentu saja koalisi AS dan sekutunya yang memang punya rencana atas revolusi warna di jazirah Arab tersebut. Selain itu, anda jangan lupa bahwa ada lagi proxy yang kerap mereka gunakan untuk melancarkan agenda tersebut, yaitu: Ikhwanul Muslimin.

Nggak aneh jika selepas Ben Ali, IM (lewat tangan kadernya: Rached Ghannouchi) yang berkuasa di Tunisia, dengan menguasai parlemen dan membentuk pemerintahan baru. (https://www.counterextremism.com/content/muslim-brotherhood-tunisia)

Nyatanya, dibawah rezim yang baru, Tunisia justru makin blangsak. Korupsi meraja lela, pengangguran kian bertambah, dan mengakibatkan rakyat Tunisia tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kalo sudah urusan menyangkut perut, kita bisa menduga apa yang selanjutnya terjadi, bukan?

Dan benar saja.

Pada Juni 2021 yang lalu, ribuan warga Tunisia ambil bagian dalam protes yang menyerukan pembebasan parlemen dari anasir partai Ennahda, yang nggak lain IM cabang Tunisia. “Mereka yang menyebabkan Tunisia menderita,” begitu kurleb teriakan mereka. (https://english.alarabiya.net/News/north-africa/2021/06/05/Thousands-of-Tunisians-protest-against-Muslim-Brotherhood-Ghannouchi)

Bukan itu saja, pemimpin partai Tunisia Abir Moussi bahkan menuduh kalo IM menerima dana asing dan memiliki hubungan derat engan organisasi teror. (https://english.alarabiya.net/News/north-africa/2021/06/05/Thousands-of-Tunisians-protest-against-Muslim-Brotherhood-Ghannouchi)

Bahkan Moussi menyerukan agar IM ditetapkan sebagai organisasi teroris di Tunisia, layaknya yang diberlakukan di Arab Saudi, Mesir, Suriah dan UEA. (https://www.washingtonpost.com/world/2021/07/27/tunisia-gulf-information-campaign/)

Karena desakan yang kian intens, maka presiden Moncef Marzouki yang dapat dukungan dari Ennahda, dipaksa lengser dan lari minta suaka ke Perancis.

Lantas siapa yang pegang kendali di Tunisia saat ini?

Dialah Kais Saied yang saat ini menjabat sebagai presiden di negara tersebut. Saied termasuk pemimpin bertangan besi, karena setelah dirinya menjabat, surat penangkapan internasional atas diri mantan presiden Marzouki, langsung ditandatanganinya pada 4 November lalu. (https://www.reuters.com/world/tunisia-issues-international-arrest-notice-against-former-president-marzouki-2021-11-04/)

“Marzouki adalah pengkhianat yang mencari perlindungan di LN dan mengancam kedaulatan Tunisia,” ungkap Presiden Saied seraya meminta Menhak Leila Jaffel untuk membuka penyelidikan atas kejahatan Marzouki. (https://www.africanews.com/2021/10/15/tunisia-s-president-says-critics-plotting-against-state/)

Bukan itu saja karena Saied juga membekukan sementara badan legislatif (parlemen) dan memecat PM Tunisia Hichem Mechichi pada 25 Juli silam. (https://www.nytimes.com/2021/10/10/world/middleeast/tunisia-arab-spring-anniversary.html)

Sebagai gantinya, Saied mengangkat PM wanita pertama di Tunisia, Najla Bouden Romdhane. (https://www.aljazeera.com/news/2021/9/29/tunisia-president-picks-romdhane-new-prime-minister)

Ke depannya, Saied berencana mengadakan dialog nasional agar situasi kondusif dapat dicapai, selain menjamin kebebasan demokratis bagi segenap warga Tunisia sesuai konstitusi.

“Langkah-langkah luar biasa ini diputuskan guna menyelamatkan negara dan rakyat kami,” ungkap Saied pada sebuah postingan video. (http://www.news.cn/english/2021-11/05/c_1310291122.htm)

Lalu bagaimana dengan nasib Marzouki yang kini mendekam di Perancis?

Berbicara kepada Al Jazeera TV yang merupakan corong IM Global, Marzouki menegaskan bahwa dirinya nggak terkejut atas surat penangkapan yang dibuat Presiden Saied. (https://www.france24.com/en/africa/20211104-tunisia-issues-international-arrest-notice-against-former-president-marzouki)

“Itu gerakan kudeta,” ungkap Marzouki seraya meminta Presiden Perancis Macron untuk tidak mendukung rezim diktator di Tunisia. (https://english.ahram.org.eg/News/426934.aspx)

Bagaimana Marzouki bisa mengatakan itu kudeta, mengingat pendukung Saied jauh lebih banyak ketimbang pendukung dirinya? (https://www.africanews.com/2021/10/04/tunisians-rally-in-tunis-to-back-president-saied/)

Yang tak kalah penting, warga Tunisia sudah muak dengan kepemimpinan gaya partai Ennahda, yang kerap mengeksploitasi agama untuk melanggengkan kekuasaannya. Dan ini dengan mudah terlihat pada aksi warga Tunisia yang merusak kantor-kantor partai Ennahda saat berdemonstrasi. (https://www.reuters.com/world/africa/protests-across-tunisia-covid-19-surges-economy-suffers-2021-07-25/)

Dengan kata lain, warga Tunisia kini telah merasa bebas dari pemerintahan Islam (ala IM) yang menindas, karena nyatanya mereka nggak mendapatkan keuntungan apa-apa setelah partai Ennahda memegang kendali kekuasaan sejak revolusi Melati pada 2011 silam. (https://www.bbc.com/news/world-africa-15487647)

Baguslah kalo akhirnya mereka sadar.

Namun ada 2 pekerjaan besar yang harus dilakukan Presiden Saied saat ini.

Pertama soal tuntutan rakyat akan: pemberantasan korupsi, harga pangan yang murah dan juga tersedianya lapangan pekerjaan. Ini nggak mudah untuk dilakukan mengingat Tunisia saat ini menghadapi krisis keuangan yang menjulang setinggi langit.

Bahkan miliaran utang jatuh tempo pada musim gugur tahun ini, bagaimana cara mengatasinya? (https://www.reuters.com/world/africa/now-charge-tunisian-president-faces-looming-fiscal-crisis-2021-08-17/)

Kedua, upaya pemberantasan anasir Ennahda di Tunisia, juga nggak mudah untuk dilakukan, karena mereka telah menginfiltrasi ke pasukan keamanan dan peradilan. (https://www.al-monitor.com/originals/2018/12/tunisia-ennahda-political-assassinations-french-president.html)

Belum lagi dukungan yang mungkin saja diberikan Perancis kepada tokoh oposisi Tunisia guna mengoyak pemerintahan Saied. Kalo nggak, ngapain juga seorang Marzouki ‘ditampung’ sama Macron?

Terlepas dari semua itu, Erdogan kini hanya bisa gigit jari saat melihat sekodannya di Tunisia dipretelin sama Presiden Saied dan kekuatan rakyat. Padahal ambisinya untuk menjadi Khalifah sudah amat besar.

Mungkin Erdogan kini harus bertanya: “Apakah berikutnya giliran saya?”

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!