Adu Strategi China dan AS
Oleh: Ndaru Anugerah – 28012025
Bagaimana respon AS dan China dalam menanggapi usulan transisi ke energi hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, sesuai yang dideklarasikan oleh COP?
Saya pernah bahas, bahwa sebenarnya transisi ke energi hijau hanyalah omon-omon semata. Nyatanya Uni Emirat Arab yang jadi tuan rumah COP 28, justru nggak pernah punya niatan untuk mengalihkan energi berbahan bakar fosil ke energi terbarukan. (baca disini)
Begitu juga dengan kedua besar negara, AS dan China. Transisi energi itu hanya omon-omon saja buat mereka.
Cuma memang ada bedanya cara mereka melanggengkan penggunaan energi fossil fuel di negaranya masing-masing.
Di China, misalnya, negara berperan aktif dalam mendanai perusahaan penghasil energi berbahan fosil secara intensif. Menjadi masuk akal jika emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan China 2 kali lipat dari produksi GRK AS. (https://www.climate.gov/news-features/climate-qa/does-it-matter-how-much-united-states-reduces-its-carbon-dioxide-emissions)
Selain itu, karena mendapat endorsement dari negara, maka institusi-institusi penghasil energi dari China terus berkembang dengan pesat dalam menopang industri mereka. (https://www.iea.org/commentaries/china-s-evolving-footprint-in-global-energy-development-finance)
Jadi kalo China mencoba mem-branding diri mereka dengan menghasilkan banyak kendaraan ‘hijau’, nyatanya semua energi dalam menghasilkan produk tersebut berasal dari energi kotor yang sudah pasti berbahan bakar fosil. Itu hanya pencitraan.
Lantas bagaimana dengan AS?
Sebenarnya 11-12 dengan China. AS juga tengah mengembangkan sektor energi kotor mereka. Itu realita yang nggak bisa dipungkiri.
Hanya saja, dalam upaya mengembangkan energi fossil fuel, AS rada keteter karena adanya campur tangan dari China.
Maksudnya bagaimana?
Secara diam-diam, ternyata China mendanai berbagai organisasi lingkungan yang beroperasi di AS, guna menghalangi upaya AS dalam mengembangkan energi berbahan fosil.
Nah, berdasarkan informasi, uang yang mengalir dari Tiongkok tersebut digunakan LSM lingkungan untuk mengganggu rencana besar AS dalam mengembangkan energi berbahan fosil. Bisa dengan aksi demonstrasi, memblokir jalan hingga aksi mural.
Point yang mau disampaikan adalah bahwa AS nggak konsisten dalam mendukung upaya transisi ke energi terbarukan. (https://apnews.com/article/shell-shareholders-meeting-climate-change-protesters-954a449614b32ef23fd9bfc00efde599)
Dan upaya yang dibesut China pada AS, nggak hanya terjadi belakangan ini, karena sasus beredar sudah terjadi sejak lama, dan terus meningkat dari tahun ke tahun ikhwal pendanaannya. (https://naturalresources.house.gov/news/documentsingle.aspx?DocumentID=415189)
Bukan saja LSM yang China danai, tapi juga perusahaan konsultan dan berbagai yayasan, yang kerja utamanya adalah menghalangi proyek infrastruktur pengembangan energi di AS. (https://freebeacon.com/energy/group-led-by-ex-ccp-officials-is-quietly-funding-us-govt-climate-research-filings-show/)
Dengan adanya skema tersebut, menjadi masuk akal jika beberapa kelompok lingkungan, langsung melejit di AS karena adanya aliran dana dari Tiongkok.
Defiance Climate salah satunya, yang merupakan salah satu LSM lingkungan hidup paling agresif dan tumbuh pesat di AS.
Berdasarkan datanya, LSM ini disinyalir telah mendapatkan aliran dana dari Oil and Gas Action Network yang didukung oleh yayasan energi yang berpusat di China. (https://www.washingtonexaminer.com/policy/energy-and-environment/3277061/billionaire-democrats-fuel-climate-activists-arrested-dc/)
Dengan dukungan finansial yang mumpuni, siapa juga yang nggak bisa langsung meroket?
Bukankah uang bisa menyulap keadaan dengan secepat kilat?
Lalu bagaimana dengan upaya yang dilakukan China pada AS? Apakah sudah ada yang membuahkan hasil?
Ambil contoh sederhana adalah upaya yang dilakukan Greenpeace pada proyek infrastruktur energi AS yang bernama Dakota Access Pipeline (DAP). Setelah menggelar aksi unjukrasa dan juga memainkan opini di media sosial, Energy Transfer perusahaan yang mengelola proyek tersebut merasa terpojok dan terpaksa menunda proyek.
Akibatnya, perusahaan disinyalir menderita kerugian hingga ratusan juta dollar.
Ujung-ujungnya, pihak perusahaan terpaksa menuntut ke pengadilan atas ulah yang dilakukan Greenpeace pada proyek yang dirasa merugikan mereka. (https://www.nytimes.com/2024/08/20/climate/greenpeace-dakota-access-lawsuit-slapp.html)
Coba anda pikir, dengan semakin banyaknya gerakan protes dari organisasi lingkungan yang dibiayai Tiongkok, bukankah upaya AS untuk mengembangkan energi mereka menjadi begitu mahal dan ruwet?
Di sisi yang lain, China dengan leluasa terus memperluas proyek-proyek infrastruktur energi mereka dengan kecepatan yang luar biasa, tanpa halangan yang berarti. (https://www.brookings.edu/articles/how-do-china-and-america-think-about-the-energy-transition/)
Jadi apa yang bisa disimpulkan dari adu strategi China versus AS?
Bahwa upaya transisi energi, hanyalah bualan semata. Nyatanya kedua negara adidaya tersebut secara diam-diam terus mengembangkan proyek energi kotor yang diklaim tidak ramah lingkungan penyebab pemanasan global.
Apa sebab mereka terus mengembangkan energi berbahan fosil?
Karena energi hijau yang diklaim terbarukan, nggak akan bisa menggantikan fossil fuel dalam menyediakan energi bagi manusia. Itu hanya omong kosong belaka. (baca disini, disini dan disini)
Jika kedua negara tersebut terus mengembangkan energi berbahan bakar fosil, lantas kenapa kita terus ngotot beralih ke energi hijau?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)