Yang Penting Rencana Jalan
Oleh: Ndaru Anugerah – 22042024
Apa yang paling suka dari kartel Ndoro besar?
Sifat muka tembok-nya. Nggak peduli orang mau bersuara apa, asal mereka punya rencana, maka rencana tersebut pasti digelar juga. Walaupun itu terkesan tidak masuk akal.
Pada Juni 2008 silam, badan pangan dunia (FAO) menggelar KTT di Roma yang menyiasati skenario krisis pangan. Berbagai ekonom dan politisi kelas dunia berkumpul karena menurut prediksinya bakal ada kelangkaan pangan dan kelaparan yang dipicu oleh gagal panen global.
Kok bisa gagal panen?
Karena adanya kerusakan iklim yang dipicu oleh pemanasan global. Dan ini berada di luar kendali para pembuat kebijakan global.
Solusinya?
FAO akan membentuk World Food Programme (WFP) yang akan menyalurkan bantuan pangan ke sejumlah kantong daerah terdampak. Setidaknya itu solusi yang ditawarkan panel ahli di KTT FAO yang berlangsung di Roma. (https://www.fao.org/3/i0291e/i0291e00a.pdf)
Lantas dimana muka temboknya?
Berbeda dengan pendapat para pakar di FAO, kenyataannya produksi biji-bijian global yang dijadikan sumber bahan pangan utama, justru mengalami peningkatan produksi di tahun 2008. (https://openknowledge.fao.org/items/f87982d1-1b4f-4fe7-86bd-09a543c966ac)
Dengan meningkatnya produksi pangan global, logikanya akan ada peningkatan pasokan bahan pokok pangan, donk? Lalu kenapa FAO berkeras bahwa akan ada skenario kelangkaan pangan akibat perubahan iklim?
Bukankah itu muka tembok namanya?
Nggak hanya itu, berdasarkan skenario FAO, maka akan ada konsekuensi dari kelangkaan pangan tersebut, yakni kenaikan harga bahan pangan di pasaran. Kemana logikanya, coba?
Terserah mau protes apa, toh nyatanya, kenaikan harga pangan tetap terjadi. Hanya saja penyebabnya bukan karena kelangkaan pangan, tapi karena kenaikan harga bahan bakar dan juga kebijakan lokal yang dibuat (salah satunya naiknya harga pupuk) yang secara nggak langsung memicu kenaikan harga pangan.
Karena faktor-faktor itulah, maka harga pangan melonjak tajam. Sementara itu, kebijakan lokal justru mempersulit kondisi para petani, utamanya dalam menutup biaya produksi mereka. Akibat kebijakan yang nggak pro-petani tersebut, maka petani dipaksa ‘hengkang’ dari lahannya.
Siapa juga yang cape-cape usaha di ladang, tapi hasilnya malah tekor?
Nggak hanya skenario kelangkaan pangan yang akan digelar, sebab akan ada skenario lainnya yang menunjang. Salah satunya krisis air bersih.
Berdasarkan data yang dirilis PBB, sekitar 15% populasi global tidak memiliki akses ke air bersih. Lumrah jika ada sekitar 6 ribu anak meninggal setiap harinya, karena terinfeksi penyakit yang berkaitan dengan air bersih. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/4375409.stm)
Apakah krisis air memang beneran terjadi, anda bisa baca ulasan saya beberapa tahun yang lalu agar paham duduk masalahnya. (baca disini dan disini)
Anda perlu tahu bahwa kartel Ndoro besar telah menguasai kepemilikan atas utilitas air publik termasuk pengelolaan limbah. Ada sederet nama anda temukan disana, dari mulai Suez, Veolia, Thames Water hingga RWE-AG Jerman.
Untuk Suez dan Veolia saja, mereka telah berhasil menguasai sekitar 70% sistem air yang telah diprivatisasi di seluruh dunia. (https://www.suez.com/-/media/suez-global/files/publication/rapport/suez-synthesis-altermind-geoffron-report-feb2021-en.pdf)
Bagaimana mereka bisa menguasai pangsa pasar privatisasi air global?
Karena ada endorsement dari Bank Dunia. Modus yang biasanya dijalankan adalah saat suatu negara berniat mengajukan pinjaman ke World Bank, maka salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah privatisasi perusahaan penyedia air bagi masyarakat. Kalo persyaratan ini nggak dipenuhi, maka otomatis pinjaman nggak akan cair. (http://www.globalpolicy.org/socecon/bwi-wto/wbank/2004/01waterpriv.htm)
Masalahnya, kartel Ndoro besar terkenal merusak ekosistem, termasuk ekosistem air. Alih-alih menguasahakan air bersih bagi warga global, nyatanya mereka malah merusak ekosistemnya. (http://www.indiaresource.org/issues/water/2003/privatewaterpublicmisery.html)
Pasar air minum kemasan yang telah dikuasai oleh kartel yang sama (dari mulai Coca-Cola, Danone, Nestle dan PepsiCo), juga nggak kalah set. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya bekerja sama dengan perusahaan penyedia air bersih, sebab mereka juga terkoneksi dengan perusahaan agribisnis-bioteknologi yang terlibat dalam produksi industri makanan.
Teknisnya begini: air keran yang disediakan oleh Suez, misalnya, dibeli oleh Coca-Cola untuk diproses menjadi air bersih siap santap yang ada di fasilitas air keran dan juga air dalam kemasan yang bakal dijual ke masyarakat. Setidaknya itu yang terjadi di Amrik sana. Jadi siapa yang mendapat untung dari penjualan air bersih tersebut? (http://www.sfgate.com/cgi-bin/article.cgi?file=/chronicle/archive/2007/02/18/EDG56N6OA41.DTL)
Mungkin kalo cuma cuan yang jadi target, kita bisa mahfum.
Masalahnya, pada banyak kasus, perusahaan penyedia air bersih berkontribusi terhadap menipisnya air tanah yang merugikan masyarakat lokal dalam mengakses air layak konsumsi. Kasus perusahaan Coca-Cola di India salah satu yang bisa dijadikan rujukan. (http://www.indiaresource.org/news/2004/1020.html)
Bukan hanya tidak menyisakan sumber air minum bagi masyarakat lokal, perusahaan penyedia air bersih juga kerap membuang air limbahnya ke sungai, termasuk ke Sungai Gangga.
Walhasil air tanah yang harusnya bisa dikonsumsi, jadi tercemar dan nggak layak konsumsi. Saat masyarakat India ingin mengonsumsi air kemasan produk Coca-Cola, nyatanya produk tersebut mengandung pestisida (DDT) tingkat tinggi. Sungguh sial, bukan? (http://www.indiaresource.org/news/2003/4725.html)
Singkatnya, skenario kelangkaan air bersih memang bukan hal yang bisa disepelekan, mengingat ada kartel Ndoro besar yang bermain di sana. Ke depan, sumber-sumber air bersih di banyak tempat akan makin banyak dikuasai kartel sang Ndoro, karena memang ada cetak biru krisis air global. Silakan cek sumber air yang ada di tempat anda, siapa yang menguasainya?
Aliasnya, alih-alih mendapatkan air bersih dari perusahaan sang Ndoro besar, yang didapat masyarat malah racun.
Nggak peduli orang mau teriak apa, yang penting rencana bisa berjalan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments