Saat Berhala Melanggengkan Dinastinya
Oleh: Ndaru Anugerah – 29102023
Apa yang menarik dengan pergelaran pilpres yang ada di Planet Namek kali ini? Status keterbelahan, dimana yang tadinya kawan menjadi lawan.
Pasca ditetapkannya anak Pak Lurah sebagai cawapres, beberapa pihak langsung bereaksi. Ada yang keras ada yang masih malu-malu untuk menyerang Pak Lurah dan keluarganya.
Tapi satu benang merah yang bisa ditarik: publik, secara khusus kaum intelektual, nggak suka dengan gaya main tunjuk sang anak untuk menjadi calon pemimpin negeri, dengan merekayasa lembaga negara. (https://news.republika.co.id/berita/s2o8z7330/front-mahasiswa-mk-permainkan-nasib-rakyat-melalui-putusan-sarat-kepentingan)
Mana ada ceritanya lembaga yang harusnya bertugas menolak atau menerima gugatan konstitusi, kok sekarang malah buat konstitusi baru dengan menambahkan klausul syarat cawapres pada salah satu pasal yang digugat? (https://nasional.tempo.co/read/1784996/pakar-politik-sebut-putusan-mk-karpet-merah-untuk-gibran-di-pilpres-2024)
Kenapa praktik ini bisa terjadi?
Karena adanya ‘praktik pemujaan berhala’ di Planet Namek yang dilakukan para pendukungnya.
Setelah sukses menapak pada periode pertama kepemimpinannya, nama Pak Lurah selalu diagung-agungkan sebagai sosok dewa alias berhala yang layak disembah karena kesempurnaannya.
Jika ada pihak yang nekat mencoba mengkritisi pak Lurah, langsung dicap sebagai kampret, kadrun dan sebagainya. Tanpa terkecuali.
Ini sangat lucu.
Sejak kapan di negara yang katanya demokratis, seseorang nggak boleh mengkritisi sosok pemimpin? Masa iya saat seorang pemimpin salah, kita nggak boleh ‘menyentil’-nya sama sekali?
Setahu saya, hanya di rezim otoriter sajalah, seseorang nggak bisa mengkritisi sang pemimpin. Ambil contoh di Korea Utara. Kalo anda nekat bersuara lantang mengkritisi seorang Kim Jong Un, maka bisa dipastikan nyawa anda taruhannya. (https://www.cfr.org/backgrounder/north-koreas-power-structure)
Meskipun sadar konsekuensinya, saya salah satu pihak yang kerap mengkritisi pak Lurah, utamanya di periode kedua kepemimpinannya. Puncaknya saat dirinya meloloskan Omnibus Law, yang saya pikir membuka kran ‘keuntungan’ bagi investasi sang Ndoro besar. (baca disini, disini dan disini)
Saat prediksi saya menemukan pembenarannya, saya hanya berpikir sederhana: Pak Lurah sudah sama gayanya dengan pemimpin rezim Orde Baru yang sangat anti kritik.
Sekali lagi, orang-orang dekat plus pendukung setianya yang memungkinkan hal itu terjadi. Mereka ramai-ramai menjadikan pak Lurah sebagai sosok berhala yang wajib disembah.
Dulu, saat seorang Benny Moerdani mengkritisi langkah yang diambil Soeharto ketika memberikan ruang bagi anak-anaknya untuk terjun ke bisnis dan pemerintahan, itu tandanya pak Benny peduli. Jadi sikap yang tepat, bukan malah mengkotakkan Benny yang sudah peduli dengan buka suara atas ketidakbenaran yang terjadi.
Belakangan, Soeharto sadar bahwa kritik yang dilontarkan Benny sebagai seorang ‘sahabat’-nya ternyata tidak berlebihan. (https://www.merdeka.com/histori/presiden-soeharto-tersinggung-ucapan-benny-moerdani-karir-sang-jenderal-pun-tamat.html)
Benar kata Lord Acton bahwa kekuasaaan itu cenderung korup. Apalagi sudah masuk periode kedua berkuasa. Makin menjadi-jadi saja tingkah pak Lurah yang sudah jumawa sebagai seorang Firaun baru di negerinya.
Dulu saat semua masih diam, saya yang pertama berkata secara gamblang bahwa ada niat dari pak Lurah untuk memperlama masa jabatannnya dengan isu 3 periode. “Itu bukan wacana tapi rencana,” begitu ungkap saya kala itu. (baca disini)
Tapi nggak ada yang percaya atas ucapan saya dengan segala argumentasi yang saya tuangkan.
Belakangan, apa yang saya katakan kembali terbukti benar. Bahwa isu 3 periode adalah benar adanya, dan itu atas keinginan pribadi pak Lurah. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231026062603-32-1016046/adian-megawati-tolak-permintaan-jokowi-presiden-tiga-periode)
Dan kini, saat dirinya merasa established, pak Lurah makin vulgar saja aksinya. Yang terbaru dengan menggoyang supremasi lembaga sekelas MK agar meloloskan anaknya untuk bisa berkontestasi sebagai cawapres digelaran pilpres 2024. (baca disini)
Kalo mau jujur, langkah ini bukan yang pertama dilakukannya.
Masih ingat ketika plandemi Kopit masih berlangsung di 2020 silam?
Ketika semua kepala daerah disuruh ikutan pemilu serentak di 2024 dengan alasan keamanan, tapi aturan tersebut tidak bagi ‘keluarga-nya’ yang saat itu malah diberikan hak khusus untuk tetap menggelar pilkada. (https://intisari.grid.id/read/032464445/kemenangan-gibran-di-pilkada-solo-disoroti-media-asing-indonesia-dikhawatirkan-menambah-klaster-baru-covid-19-karena-gelar-pilkada-di-tengah-pandemi?page=all)
Ini adalah cara-cara untuk melanggengkan kekuasaan lewat peran keluarganya. “Itu adalah upaya yang dilakukan pak Lurah untuk membangun dinasti politik-nya,” ungkap The Economist. (https://www.economist.com/asia/2023/10/26/jokowi-is-building-a-political-dynasty)
Lagian, bukankah sedari awal pak Lurah sudah punya komitmen untuk tidak mengajukan putranya untuk berkarir di dunia politik? Kenapa sekarang mencla-mencle?
Jawabannya: karena rumus kekuasaan itu kalo sudah duduk, pasti lupa berdiri.
“Bukankah yang memilih di pemilu nanti adalah rakyat, Bang? Bukankah dinasti hanya berlaku di negara yang menganut sistem Kerajaan,” ungkap seseorang.
Itu benar. Tapi siapa yang bisa jamin jika pemilu yang digelar kelak, tidak bebas kepentingan? Lha wong lembaga sekelas MK saja bisa diintervensi, apalagi sekelas pilpres?
“Keabadian kekuatan politik dan bisnis sebuah keluarga/dinasti, akan dapat mengacaukan konsep meritokrasi dan nilai demokrasi,” ungkap The Economist di tahun 2015 silam. (https://www.economist.com/leaders/2015/04/18/dynasties)
Ini yang menakutkan dari politik dinasti. Demi melanggengkan kekuasaan, semua cara akan ditempuh. Apapun itu.
Saat JFK terbunuh, dan anaknya ‘melanjutkan’ karir politik ayah dengan menjadi capres di tahun 1968, itu dinasti politik. Tapi itu bisa ditoleransi. Toh karir seorang Robert Kennedy memang mumpuni sebagai seorang politisi. Dan itu bukan instan. Ada prosesnya.
Bandingkan dengan anak pak Lurah yang karirnya dikarbit oleh sang ayah. Itupun masih minim pengalaman.
Mengutip kata mas Butet, “Baru 2 tahun (memimpin) kok dibilang pengalaman?”
Terlepas dari semua itu, menurut saya publik tidak akan mudah dibodohi dengan cara-cara tak patut yang diambil pak Lurah demi memuluskan langkah sang Putra Mahkota untuk melaju ke istana. Banyak penolakan terjadi di sana.
Percayalah deh!
Lagian, jika pak Lurah nekat ambil cara ‘smart’, apa iya lembaga pemantau pemilu sekelas Carter Center nggak akan ‘teriak’ karena hasil pilpres-nya nggak sesuai keinginan sang Ndoro besar? (https://adst.org/2020/01/origins-of-the-carter-centers-election-observation-work/)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments