Nafsu Syahwat Pak Lurah
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, sesekali bahas dong gelaran pilpres 2024,” pinta seorang netizen.
Saya sudah katakan berkali-kali, bahwa gelaran pilpres 2024 yang bakal terjadi di planet Namek, saya enggan untuk mengulasnya.
Kenapa?
Itu hanya cerita sinetron yang sudah bisa ditebak ending-nya. Saya sudah bahas hal ini berkali-kali. (baca disini, disini dan disini)
Jadi, ketimbang bahas pilpres 2024 di Planet Namek, mending bahas sesuatu yang mendatangkan banyak manfaat bagi para pembaca setia ulasan saya. Coba jawab pertanyaan saya: jika GP, si Ayah atau Abas yang menang, apa untungnya buat anda?
Tapi saya nggak cukup tega membiarkan pertanyaan yang di alamatkan ke saya, tanpa ada jawaban. Saya beri jawaban, agar rasa kepo yang anda miliki bisa terpuaskan.
Sudah jadi rahasia umum jika Pak Lurah gerah dengan sosok Emak Ebong yang kerap memanggil dirinya sebagai petugas partai. Ini agak mengganggu eksistensinya.
Untuk memecah ‘bully yang diberikan’ pada dirinya, akhirnya pak Lurah menunjuk sosok LBP sebagai ‘bamper’. Jadi kalo partai banteng mau berurusan dengan pak Lurah, maka harus melalui LBP sebagai pintu masuknya. Dan ini ribet, sasusnya.
Dan rasa ‘gerah’ tersebut makin menjadi saat sang Putra Mahkota disidang oleh partai tempatnya bernaung, lantaran kedapatan medampingi relawan dirinya dan relawan pak Lurah untuk bertemu si Ayah di tempat dirinya memimpin. (https://news.detik.com/pemilu/d-6729839/gibran-dipanggil-dpp-pdip-usai-dampingi-prabowo-temui-relawan)
Ini jelas manuver maut, mengingat sang Putra Mahkota bisa menduduki kursi singgahsana karena jasa partai banteng. Lantas dimana etika politiknya, kok malah ‘mendukung’ Ayah yang merupakan capres dari partai lain? Mana sisi balas jasanya?
Konon pemanggilan yang terjadi di Mei silam, membuat marah istri Pak Lurah yang tidak terima anaknya ‘didamprat’. Singkat cerita sang istri mendesak pak Lurah untuk berkonflik dengan partai banteng. Caranya tentu saja mendorong sang anak untuk berkolaborasi dengan sang Ayah. (https://suaranasional.com/2023/10/15/tempo-bongkar-ada-peran-iriana-jokowi-majukan-gibran-jadi-cawapres/)
“jadi masuk akal jika pak Lurah menginginkan cawe-cawe politik pada gelaran pilpres mendatang. Apakah cawe-cawe yang dilakukannya itu nggak mempunyai maksud terselubung?” (https://www.cnbcindonesia.com/news/20230602174126-4-442577/jokowi-cawe-cawe-pilpres-2024-ternyata-ini-alasan-sebenarnya)
Setidaknya ada 2 keuntungan bila mendorong sang Putra Mahkota untuk maju mendampingi sang Ayah.
Pertama, nggak ada jaminan jika partai banteng bakal melindungi trah pak Lurah saat dirinya tidak lagi menjabat. Nah kalo tetiba dijerat kasus pasca lengser sementara nggak ada yang pasang badan, apa nggak kacau?
Dan alasan kedua, dengan menaruh sang Putra Mahkota duduk sebagai wakil sang Ayah, maka bila terjadi apa-apa dengan sang Ayah, bukankah sang wakil yang bakal ambil kendali pemerintahan?
Ini bukan mengada-ada, memgingat sang Ayah sudah 2 kali kena stroke. Bukankah stroke berikutnya bisa membuat dirinya kolaps alias meninggoy? (https://www.suara.com/kotaksuara/2023/10/13/153850/prabowo-pernah-2-kali-stroke-peneliti-iseas-khawatir-kekuasaan-malah-beralih-ke-gibran)
Namun bukan berarti posisi cawapres gratis. Sang Ayah sangat mengharapkan agar pendukung garis keras pak Lurah bakalan mendukung dirinya maju sebagai capres.
Simbiosis mutualisme-pun ada di sana.
Bukti yang paling konkret adalah dorongan relawan pak Lurah dalam mendukung sang Ayah. Apa iya dukungan relawan tanpa ada koordinasi dengan sosok pak Lurah? (https://news.republika.co.id/berita/s2jhh0484/ketum-projo-akui-dukung-prabowo-atas-arahan-presiden-jokowi)
Singkat cerita, lewat drama MK, sang Putra Mahkota bisa mengantongi tiket menjadi cawapres sang Ayah. Ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan, mengingat ada sosok sang Paman sebagai hakim ketua MK. Paman mana yang tega membiarkan keponakannya ada dalam ketidakpastian? (https://nasional.kompas.com/read/2023/10/19/15510021/anwar-usman-dan-4-hakim-mk-dilaporkan-lagi-atas-dugaan-pelanggaran-etik)
Namun di sini dilema muncul ke permukaan.
Tingkah pak Lurah yang memiliki syahwat untuk mendirikan dinasti politiknya di Planet Namek, justru mendapatkan tentangan dari sejumlah pihak yang cukup akrab dengan dirinya. (https://www.detik.com/sumut/berita/d-6995118/soal-gibran-maju-cawapres-ahok-gak-usah-coba-coba-deh)
“Masa posisi gubernur aja belum diraih sudah langsung naik jadi cawapres? Apa kata dunia?” begitu kurleb-nya.
Apakah niatan pak Lurah untuk mendirikan dinasti politik bisa terwujud?
Bagi saya, cawe-cawe pak Lurah justru akan memecah suara kubu nasionalis yang awalnya bulat mendukung GP.
2 hal yang mungkin terjadi: suara pendukung akan terpecah atau pendukung setia akan pilih golput gegara muak melihat tingkah pak Lurah yang sama perangainya dengan sosok eyang selaku penguasa Orde Baru. (https://kyotoreview.org/issue-24/duapuluh-tahun-setelah-rezim-suharto-politik-dinasti-dan-tanda-tanda-otoritarianisme-subnasional/)
Jika sudah begini, siapa pihak yang diuntungkan?
Prediksi saya, pilpres akan berlangsung 2 putaran. Dan memang ini skenario yang dimainkan untuk memberi karpet merah bagi alumni Davos School.
Alasannya?
Terlalu kentara jika pilpres langsung dimenangkan alumni Davos, padahal dalam setiap survei, dirinya selalu ada sebagai juru kunci. Yang paling masuk akal adalah memberikan sedikit drama sinetron pada gelaran pilpres kali ini agar ada pembenarannya.
Bukankah penduduk Planet Namek sangat mendambakan kehidupan yang penuh settingan ala sinetron?
Dan pak Lurah, secara sadar atau tidak, sebagai pihak yang membuka jalan bagi skenario sang Ndoro besar bisa dijalankan di Planet Namek.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Bang apa agenda goals utama dari sang ndoro besar ? Apa benar perbudakan dan penanaman chip?
bukannya arsyad rasyid timnya GP juga alumni davos
betul sekali yang anda katakan. arsyad rasyid adalah alumni Davos di tahun 2011 silam. (https://www.weforum.org/people/m-arsjad-rasjid-p-mangkuningrat)
tapi perlu dicatat, bahwa alumni Davos berkarir sesuai ‘bakat’-nya masing-masing. ada yanng jadi business man sekelas rasyid, ada juga yang jadi pemimpin ala macron. nah itu akan diendorse sesuai dengan bidangnya masing-masing. jadi saat seorang kader Davos tengah berupaya menjadi seorang presiden di Planet Namek, tentu saja ini jadi top priority yang harus dikejar. mengutip kata-kata Schwab, bahwa pembentukkan tatanan dunia baru akan memerlukan kader-kader utama mereka sehingga program tersebut lebih mudah digerakkan?