Bersiap Menyambut Transformasi Pangan (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan kita telah mengulas bagaimana transformasi pangan bisa dieksekusi secara perlahan demi mewujudkan pola makan berkelanjutan.
Salah satunya adalah dengan memusnahkan hewan ternak yang dianggap berkontribusi secara signifikan terhadap pemanasan global dengan GRK yang dihasilkan. Dengan demikian, nasib peternakan ke depannya sudah tergambar akan seperti apa. (baca disini)
Sekarang kita mau gali lebih dalam tentang rencana transformasi pangan ini.
Anda tahu bahwa yang mendorong perubahan pola pangan global adalah FAIRR initiative yang isinya koalisi lembaga keuangan papan atas dunia, dari mulai BlackRock hingga JPMorgan. Dan lembaga-lembaga keuangan ini juga terkenal korup.
Ambil contoh skandal pajak kepemilkan ganda atas saham (cum-ex) yang dilakukan BlackRock pada tahun 2016 silam yang menyebabkan pihak kepolisian Jerman menggrebek kantornya yang ada di negara tersebut. (https://www.dw.com/en/german-police-raid-blackrock-offices/a-46182751)
Atau JPMorgan yang dipaksa membayar denda oleh pengadilan sebesar kurleb USD 920 juta di tahun 2020 silam, atas kejahatan illegal trading yang dilakukannya demi mendapat cuan besar. (https://www.washingtonpost.com/business/2020/09/29/jpmorgan-settlement-spoofing/)
Jadi kalo lembaga keuangan yang tergabung dalam FAIRR Initiative, selain terkenal karena ketenarannya, terkenal juga karena kasus korupsinya. Ini adalah fakta.
Dan target kedua mereka selain peternakan, tentu saja pertanian.
Berdasarkan dictum berkelanjutan yang dicetuskan oleh Club of Rome di tahun 1974 silam, sang Ndoro besar menyatakan akan perlunya rencana induk guna menciptakan pembangunan berkelanjutan dengan sumber daya yang terbatas. (https://web.archive.org/web/20080316192242/http:/www.wiseupjournal.com/?p=154)
Apa yang dimaksud dengan frase ‘rencana induk’?
Tentu saja Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) yang berisi 17 tujuan yang hendak dicapai, guna mewujudkan tatanan dunia baru.
Nah, jika kita mau telisik, terutama pada tujuan kedua dari SDG tersebut, maka kita akan temukan kalimat: “Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan nutrisi serta mempromosikan pertanian berkelanjutan.” (https://www.globalgoals.org/goals/2-zero-hunger/)
Jadi sistem pertanian harus diubah guna mengakhiri bahaya kelaparan. Itu kalimat singkatnya.
Dan jika kita sandingkan dengan agenda yang diusung COP27, G20 atau WEF sekalipun, maka sudah pasti sistem pertanian status quo yang dipersalahkan atas pemanasan global. Bukan saja CO2, pertanian juga berkontribusi terhadap gas metana dan nitrogen yang disebut sebagai GRK.
Terus solusinya apa?
Pertanian juga perlu diubah. Transformasi, istilah yang kerap mereka pakai.
Padahal, semua asumsi tersebut hanyalah pemodelan dengan menggunakan simulasi komputer yang sama sekali nggak bisa diverifikasi kebenarannya. (baca disini dan disini)
Bagaimana mungkin IPCC mengatakan bahwa jika kita tidak menghentikan kenaikan suhu global sebesar 1,5⁰ Celcius di atas level di tahun 1850, maka pada tahun 2050 dunia akan kiamat. Darimana logikanya pernyataan itu? (baca disini)
Kembali ke laptop.
Rencana mengubah pertanian saat ini sudah banyak dokumen yang bertebaran. Salah satunya dokumen yang dirilis oleh COP27 di Mesir, baru-baru ini.
Dikatakan bahwa untuk mengubah pola makan diperlukan upaya dari mulai menurunkan pola konsumsi daging, mengembangkan tanaman alternatif hingga …. mengurangi ketergantungan pada gandum, jagung, beras dan kentang. (https://cop27.eg/assets/files/days/COP27%20FOOD%20SECURITY-DOC-01-EGY-10-22-EN.pdf)
WEF juga melakukan upaya serupa dalam rangka menyukseskan pergeseran pola pangan, salah satunya dengan mempromosikan diet protein dan daging, dan beralih ke vegetarian, karena dinilai lebih berkelanjutan. (https://www.weforum.org/agenda/2022/10/vegan-plant-based-diets-sustainable-food/)
Ketimbang makan daging hasil peternakan, WEF malah mempromosikan daging sintetis hasil laboratorium, semisal Impossible Food yang didanai oleh Bill Gates. (https://www.weforum.org/agenda/2020/10/will-we-eat-lab-grown-meat-world-food-day/)
Padahal jelas-jelas test laboratorium yang dilakukan menunjukkan bahwa daging sintetis yang diproduksi dengan menggunakan kedelai transgenik dan bahan lainnya, sangat jenuh dengan kandungan glifosat yang tentu saja dapat menyebabkan kanker. (https://www.momsacrossamerica.com/gmo_impossible_burger_positive_for_carcinogenic_glyphosate)
Selain itu, WEF juga getol mempromosikan diet pengganti protein dengan mengkonsumsi protein yang didapat dari serangga.
Jadi makan kecoa akan lebih baik ketimbang makan daging sapi, selain murah toh khasiatnya juga sama. plus ramah lingkungan alias berkelanjutan. (https://www.weforum.org/agenda/2021/07/why-we-need-to-give-insects-the-role-they-deserve-in-our-food-systems/)
Dan upaya dalam memerangi pola makan masyarajat global saat ini, bukanlah kaleng-kaleng, apalagi hanya sebatas tataran wacana.
Di Belanda misalnya, PM Mark Rutte yang merupakan contributor WEF telah membentuk Menteri Khusus Lingkungan dan Nitrogen, yang diketuai Christianne van der Wal. Dari Namanya saja anda sudah tahu apa yang bakal ‘dibasmi’ kementerian ini. (https://www.fas.usda.gov/data/netherlands-government-presents-national-program-reduce-nitrogen-greenhouse-gas-emissions)
Apa program van der Wal dalam waktu dekat?
Menutup secara paksa sekitar 3000 peternakan sapi atau sekitar 30% peternakan yang ada di seantero Belanda. Kalo tetap ngotot, maka akan ada upaya pengambilalihan. (https://www.theguardian.com/environment/2022/nov/30/peak-polluters-last-chance-close-dutch-government)
Di Jerman, pasokan daging diperkirakan akan menipis secara nasional pada beberapa bulan ke depan, karena rencana pemerintah untuk memangkas jumlah ternak dalam rangka mengurangi emisi GRK. (https://www.rt.com/business/566815-german-producers-meat-shortages/)
Sedangkan di Kanada, pemerintah Trudeau berencana mengurangi penggunaan pupuk pada pertanian dalam rangka net zero carbon. (https://www.bloomberg.com/news/articles/2022-07-27/trudeau-spars-with-farmers-on-climate-plan-cutting-fertilizer-grain-output)
Sekali lagi saya katakan bahwa rencana ini bukan kaleng-kaleng, karena sudah dieksekusi oleh para-alumni Davos yang kini berkuasa di banyak negara. Bayangkan kalo semua rencana-rencana tersebut dieksekusi dengan sukses, apa dampaknya bagi pertanian dan peternakan?
Apa anda pikir ini nggak akan menimpa Planet Namek tercinta?
Jadi transformasi pangan dengan cara mengubah pola makan, merupakan sebuah keniscayaan yang cepat atau lambat akan terjadi.
Masalahnya, siapkah anda?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments