Inspirasi Camara (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
- Eksekusi Event 201 dalam bentuk skenario plandemi Kopit digelar secara global dan masif (https://www.centerforhealthsecurity.org/our-work/exercises/event201/)
Ditengah penerapan lockdown yang menghancurkan sektor perekonomian global, tetiba WEF meluncurkan ide The Great Reset, sebagai solusi atas masalah yang disebabkan oleh plandemi Kopit. (https://www.weforum.org/agenda/2020/08/building-blocks-of-the-great-reset/)
Lewat The Great Narrative yang diusungnya, WEF berkilah bahwa jurang kemiskinan yang disebabkan plandemi Kopit dan juga bencana iklim berupa pemanasan global, hanya bisa ditanggulangi oleh sistem perekonomian baru, dimana kepemilikan pribadi tidak lagi bisa diakomodir.
Inclusive capitalism adalah solusi bagi masalah kemiskinan ini. (https://www.acton.org/publications/transatlantic/2019/11/12/inclusive-capitalism-why-not-simply-capitalism)
Pertanyaan sederhana: bagaimana seorang Klaus Schwab dan kartel Ndoro besar bisa punya ide dasar untuk mewujudkan sistem stakeholder capitalism, mengingat ini bukan konsep yang jatuh dari langit?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah inspirasi dari Dom Helder Camara.
Siapakah beliau?
Secara umum, Dom Helder Camara dikenal sebagai imam Katolik yang punya nama julukan Uskup Merah, yang mendukung ide-ide sosialisme untuk bisa diterapkan dalam hidup menggereja. (https://www.irishtimes.com/news/brazil-s-red-bishop-helder-camara-champion-of-the-poor-dies-aged-90-1.221816)
Awam mengenalnya sebagai Uskup Agung Brazil yang mendukung konsep Teologi Pembebasan.
Anda mungkin tahu ungkapan, “When I feed the poor, they call me a saint, but when I ask why the poor are hungry, they call me a communist.” Itu adalah ungkapan yang keluar dari mulut Camara di decade 1970an.
Apakah Camara merupakan sosok sosialis tulen sehingga mendukung ide-ide sosialisme?
Sepertinya nggak.
Di tahun 1934, Camara merupakan tokoh terkemuka dalam gerakan fasis di Brazilia yang berafiliasi dengan Benito Mussolini. Nama organisasi yang diikutinya adalah Acao Integralista Brasileira (AIB). (https://www.corrispondenzaromana.it/international-news/helder-camara-a-lifetime-of-working-against-the-church-from-the-inside-and-they-want-to-beatify-him/)
Menjadi masuk akal jika AIB sebagai organisasi yang diikutinya, kemudian kerap membentuk kelompok-kelompok paramiliter yang secara aktif menyerang kaum ‘kiri’ yang ada di jalanan Brazilia pada dekade 1930an.
Sebagai pastor muda di Brazilia, karir Camara cukup moncer dengan menduduki posisi puncak di AIB dengan menjadi sekretaris pribadi Plinio Salgado yang merupakan pendiri AIB, beberapa tahun kemudian.
Jadi awalnya Camara merupakan kader gerakan fasis di Brazilia, dan bukan kader ‘kiri’.
Baru di tahun 1946, haluan politiknya berubah secara drastis dan menjadi kiri yang progresif revolusioner.
Di tahun 1947, Camara dinominasikan sebagai Asisten Jenderal Aksi Katolik Brazilia yang menganut paham Marxisme-Leninisme.
Selain itu, Camara juga aktif pada Juventude Universitaria Catolica (JUC) yang berhaluan sosialis. (Luiz Alberto GOMES DE SOUZA, A JUC. Os estudantes católicos e a política, Editora Vozes, Petrópolis 1984, p. 156)
Nggak hanya itu, saat revolusi Kuba berkecamuk, JUC juga menyatakan mendukung aksi yang diambil Castro.
Bahkan faksi JUC yang bernama Acao Popular (AP) secara terang-terangan mendefinisikan dirinya sebagai kaum sosialis dan mendukung sosialisasi alat-alat produksi. (Haroldo LIMA e Aldo ARANTES, História da Ação Popular. Da JUC ao PC do B, Editora Alfa-Omega, São Paulo 1984, p. 27-28)
Dengan semua track record tersebut, masuk akal jika kemudian Camara terpilih sebagai Uskup Agung Olinda dan Recife yang terletak di Timur Laut Brazilia dari tahun 1964-1985, karena dinilai memiliki keberpihakan pada kaum tertindas.
Apa yang membuat sosok Camara banyak dikenal adalah karena kontribusinya pada Gerakan Teologi Pembebasan, yang diusung oleh pastor Gustavo Gutierrez asal Peru. “Tuhan lebih mengasihani orang miskin,” begitu kredo yang mereka usung.
Gerakan ini mengklaim bahwa peran gereja Katolik harus diperbaharui agar dapat mengusung spirit pembebasan bagi kaum tertindas, utamanya yang ada di Dunia Ketiga.
Jadi, sah-sah saja jika gereja melegitimasi aksi kekerasan dalam rangka menumbangkan rezim diktator yang bertindak sewenang-wenang pada kaum misqueen.
Bahkan beberapa anggota teologi pembebasan kedapatan bergabung untuk ikutan angkat senjata pada gerakan Sandinista dan kelompok Marxis lainnya yang ada di Amerika Latin pada dasawarsa 1970an. (https://www.jstor.org/stable/25675733)
“Gereja harus fokus pada pembebasan masyarakat miskin di negara berkembang. Kalo perlu dengan paksaan, guna mendistribusikan kembali kekayaan yang dimiliki para kaum berpunya,” ungkap Gutierrez.
Dengan demikian teologi pembebasan menghendaki penghapusan situasi tidak adil yang berlaku saat ini, dan membangun ‘masyarakat yang berbeda’. Apa maksudnya frase tersebut? (https://www.academia.edu/8268272/GUSTAVO_GUTI%C3%89RREZ_The_Father_of_Liberation_Theology)
Dalam menanggapi ini, seorang rekan Camara, pastor Leonardo Boff dari Brazilia menyatakan secara gamblang, “Yang kami usulkan adalah marxisme, yang mengusung materialisme historis yang tertuang dalam teologi.”
Singkatnya, yang dianjurkan teologi pembebasan adalah reformasi tanah secara radikal dengan cara mengambil tanah dari para tuan tanah dan memberikannya kepada para petani miskin.
Jika kita rangkai, maka apa yang diusung oleh teologi pembebasan adalah distribusi aset dari kaum berpunya kepada kaum papa. Bukankah redistribusi aset merupakan tema yang diusung oleh inclusive capitalism yang diusung oleh kartel Ndoro besar? (baca disini dan disini)
Satu yang pasti, bahwa gerakan teologi pembebasan banyak mempengaruhi gerakan massa yang ada di Amerika Latin, Asia hingga Afrika. Bahkan gerakan semisal ANTIFA, BLM hingga gerakan hijau lainnya, semua terinspirasi pada teologi pembebasan.
Siapa yang mendanai gerakan tersebut? Bukankah kartel sang Ndoro besar juga? (baca disini dan disini)
Lantas bagaimana ide sosialisme bisa diterapkan oleh Klaus Schwab sebagai ketua genk Davos?
Pada bagian kedua kita akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments