Sejatinya Sama
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa yang bisa dipelajari dari plandemi Kopit?
Bagimana ketakutan demi ketakutan difabrikasi guna menyukseskan agenda besar yang bersembunyi di balik plandemi tersebut.
Sejak Maret 2020, selaku analis saya mengamatinya dengan jelas, bahwa rekayasa data dengan vulgar dipertontonkan hanya untuk menyatakan bahwa si Kopit adalah momok yang harus diwaspadai.
Contoh yang paling gamblang adalah saat jubir otoritas kesehatan di Italia yang mengatakan, “Cara kami menghitung kematian saat plandemi sangat mudah. Kami hanya menghitung semua orang yang meninggal di rumkit DENGAN Kopit, maka otomatis kematiannya dicatat KARENA Kopit.” (https://www.telegraph.co.uk/global-health/science-and-disease/have-many-coronavirus-patients-died-italy/)
Dengan skenario ini, maka jumlah kematian akibat si Kopit, langsung meroket setinggi langit di Italia sana. Jelas saja meroket, lha wong datanya dimanipulasi. Masa iya orang mati karena bunuh diri, lalu diuji posittif Kopit, terus status kematiannya diklaim karena Kopit?
Inilah yang melandasi para analis geopolitik sedunia untuk memberikan label plandemi pada si Kopit, alias pandemi yang direncanakan dengan baik. Lewat pembohongan publik yang dilakukan secara masif di banyak negara di dunia, walhasil plandemi ini bisa eksis hingga saat ini. (baca disini dan disini)
Dan inilah inti dari plandemi Kopit: KEBOHONGAN. Mereka sengaja memfabrikasi kebohongan lewat media mainstream yang mereka punya, agar agenda resetting dapat dijalankan sesuai rencananya.
Parahnya, alih-alih mengungkap kebohongan di balik plandemi, media alternatif (yang harusnya menjadi penyeimbang) malah larut pada permainan bertajuk Kopit.
“Kopit itu ada, buktinya semua negara (termasuk yang diklaim sebagai poros perlawanan) memberlakukan kebijakan yang sama,” begitu kurleb-nya kata para pengamat.
Jadi di mata mereka, si Kopit sungguh ada, hanya mungkin di dramatisir saja.
Lalu berhembuslah cerita tentang kebocoran lab yang menjadi tempat asal si Kopit, hingga hadirnya varian baru, guna memperkuat status plandemi.
Point yang mau disampaikan: plandemi ini adalah ancaman nyata dan semua harus terlibat untuk memeranginya.
Nggak aneh jika mereka (yang mengaku suara ‘alternatif’) menjadi permisif terhadap kebijakan turunan dari plandemi, dari mulai pakai masker, isolasi mandiri, hingga panggilan untuk melakukan enjus massal.
Padahal anda tahu rumusannya: yang asalnya BOHONG, pasti segala kebijakan derivatif-nya nggak layak untuk dirujuk, karena sudah pasti sarat dengan kebohongan juga. Buah jatuh nggak jauh dari pohon-nya, bukan?
Seharusnya, sebagai suara alternatif, tugasnya adalah mengkritsi segala kebohongan yang difabrikasi lewat plandemi ini, dan bukan menyokongnya.
Tetiba narasi media mainstream digeser ke arah konflik yang DIPAKSAKAN di Ukraina sana. Dan semua gamang dan malah terbelah suaranya antara kubu proponent dan opponent. Siapa mendukung siapa, layaknya pertandingan sepak bola.
Padahal ini bukan ajang Piala Dunia ataupun Premier League, dimana kita wajib dukung-mendukung salah satu dari dua kubu yang bertikai. Bukan, sekali lagi bukan itu.
Kalo mau kritis, pertanyaannya: ngapain konflik yang sebenarnya nggak perlu terjadi tersebut, justru malah dipaksakan untuk terjadi? Ada sebenarnya yang terjadi?
Bukankah dengan konflik yang dipaksakan tersebut, justru Rusia menyediakan karpet merah bagi agenda sang Ndoro besar untuk bisa dijalankan? (baca disini dan disini)
Sekali lagi, konflik di Ukraina, sejatinya sama saja dengan plandemi Kopit, dimana ada agenda tersebunyi dibalik 2 narasi tersebut. Kepentingan sang Ndoro besar-lah yang dilayani dari kedua kejadian tersebut. Dua sisi dari satu mata uang yang sama.
Dalam kaji geopolitik, anda jangan mudah terkecoh pada yang terlihat di permukaan, tapi pahami filosofi dasarnya. Kalo bicara plandemi, lihat apa yang ada dibaliknya. Begitu-pun dengan konflik di Ukraina, anda harus bisa menguak apa yang ada dibaliknya. Jangan main asal telan bulat-bulat menu yang disajikan.
Jika kemudian anda larut pada kubu pro dan kontra, pertanyaannya: layak-kah itu anda lakukan mengingat sang Bandar adalah pihak yang sama? Mana ada Bandar rugi dari permainan yang mereka gelar?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments