“Bang, kenapa FPI nggak dibubarin pemerintah, seperti HTI?” demikian pertanyaan seorang aktivis kampus beberapa waktu lalu. Rada bingung ngejawabnya. Tapi kalo nggak dijawab, dia-nya makin penasaran. Pikir-pikir, saya kasih jawabannya lewat tulisan ini.
Pas pilkada DKI tahun lalu, kita masih ingat tentang OKE-OCE. Betul, program unggulan gabener tercinta yang entah apa maksudnya. Sampai kemudian seorang teman kasih bocoran. “Oke-Oce itu cuma kedok. Fokus pada huruf O-nya. Itu simbol yang berarti koin, ada 2 sisi pada satu mata uang yang sama.”
Baru belakangan saya ngeh, kalo ternyata itu dijadikan simbol perlawanan, bahwa yang menyokong sang gabener di lapangan adalah 2 kekuatan, PKS dan HTI. Walaupun terlahir dari ibu yang beda, tapi organisasi mereka sami mawon. Ujung-ujungnya dagangan khilafah.
Cuma bedanya yang satu ambil jalan parlementer, dengan membentuk parpol. Itulah PKS. Nah yang satunya lagi ambil jalur ekstra-parlementarian alias jalur kekerasan. Itulah HTI. Maka tak heran, dibanyak negara, terutama negara-negara Arab, HTI dilarang karena beberapa kali terlibat usaha kudeta.
Sadar nggak punya kekuatan senjata, mereka mencoba mendekati TNI/Polri sebagai pihak yang punya akses bedil. Maka jangan heran, kalo kasus di TK Kartika di Probolinggo bisa terjadi. Ada nuansa, aparatnya telah disusupi paham HTI. Tujuannya cuma satu, manakala waktunya siap, mereka akan dipakai untuk memuluskan jalan kudeta.
Ketika PKS berkuasa pada era Pepo, HTI-pun minta akses kepada saudara tirinya itu. Salah satunya akses komunikasi. Tak aneh kalo PKS ngotot minta jatah menteri kominfo, dengan target utama membuat pasukan siber yang tangguh. Nggak aneh kalo pasukan kampret di dumay sulit dikalahkan. Mereka udah kuasai medan duluan, bro.
Di lapangan, aksi sel-sel HTI nggak kalah seru. Mereka menginfiltrasi dan mengambil alih tempat strategis dari mulai mushollah, mesjid sampai kampus. Bahkan MUI juga nyaris mereka kuasai.
Pola yang mereka kembangkan ada banyak, tapi 2 yang menonjol.
Pertama, mereka melakukan dekonstruksi pemikiran pada pihak yang tidak sejalan dengan agenda mereka. Ikatan-ikatan sosial dan budaya yang telah lama mengakar di Indonesia, diporak-porandakan dengan seruan bid’ah dan kafir. Ajaran demokrasi dituding bid’ah dan neraka adalah ganjarannya.
Selaras dengan itu, pada aksi lapangan, tema yang diusung kalo nggak anti Ahmadiyah, anti Syiah, pelarangan pendirian gereja, isu kebangkitan komunis, serbuan TK Aseng, pemimpin kapir atau nggak yah isu pribumi-non pribumi.
Kedua, kepada yang sejalan, mereka melakukan persuasi utamnya ulama-ulama sinetron yang bisa dijadikan ikon bagi perjuangan mereka. Ulamanya akan jadi tenar sekejab karena dikarbit sama HTI, nah HTI diuntungkan karena konten ideologi mereka bisa disampaikan oleh ulama sinetron tersebut.
Dan kedua cara itu dilakukan dengan nyaris sempurna. Karena hampir tak terendus oleh publik, bahwa HTI adalah dalang dari semua gerakan tersebut di lapangan. Modusnya sama, cari ulama atau organisasi yang sudah dikuasai pucuk pimpinannya.
Jadi klop kalo saat demo 411, kok demo buruh bisa digelar disaat yang bersamaan. Coba lihat siapa ketua organisasi serikat buruhnya?
Apa cuma buruh? FPI salah duanya.
Bagi HTI, FPI tak lebih sebagai gerombolan preman berjubah yang terlihat sangar, tapi nggak ada konten ideologinya. “Yang beginian, cocok untuk dipakai sebagai boneka,” pikir HTI.
Mulai-lah langkah pedekate digelar. Sang gabener yang dijadikan medianya, dengan sowan dan membungkuk serta mencium tangan Bibib, saat bertandang ke mabes Petamburan saat pilkada DKI. Seketika luluh-lah hati Bibib, tak kalah sang gabener berniat menjadikannya sebagai pemimpin ummat Islam.
Cita-cita yang selama ini diidam-idamkannya. “Tak dinyana, akhirnya kesampaian juga,” pikir Bibib.
Proses karbitisasi-pun dimulai. Pada setiap demo togel berjilid bak sinetron, nama Bibib makin membesar. Klimaksnya dengan menjadikan sang Bibib sebagai Singa Allah. Tak pelak, ini membuat sang Singa mulai besar kepala, dan terlanjur percaya kalo dia adalah Singa Allah beneran.
Tanpa sadar, Bibib hanyalah alat yang dipakai HTI untuk mencapai tujuan utama mereka. Bagi HTI, Bibib bukan orang yang sulit dibuang ketika sudah tidak dibutuhkan. Cuma sebatas tisu, nggak lebih. Udah dipake, trus dibuang. Yang penting usahanya sukses.
Namun satu kelemahan HTI, kurang selektif memilih orang. Bibib bukan-lah nabi, apalagi rasul. Tentu banyak lemahnya. Salah satunya urusan syahwat. Dan om Tito sangat tahu hal ini.
Begitu kasus chat sex bersama neng Firza yang membelitnya, sang Bibib-pun kontan hijrah ke Saudi bersama keluarga. Seribu alasan dibuat, dari mulai umroh sampai studi S3.
Mungkin kalo sekedar kasus penodaan Pancasila atau penistaan agama lain, dia masih berani menghadapi. Tapi kalo soal sex, mau dibawa kemana tuh muka? Masa baginda doyan sex??
Sungguh kasihan hidupnya kini. Terkatung-katung tak jelas ujungnya. Hanya kalo orang minta restu jelang pilkada atau pilpres, ramai-ramai dia dicari. Tapi kalo sudah nggak ada kepentingan, tak ada yang mendekati. Mirip-mirip dukun, sebenarnya.
Bukan itu juga yang membuatnya sakit. Saat ia mengeluarkan seruan kepada laskar FPI untuk tidak bersikap terhadap capres/cawapres sebelum Ijtimak Ulama II, eh laskar kampret malah teriak-teriak ganti presiden di Milad FPI ke-20 minggu lalu (19/8). Sungguh atit rasanya hati ini…
Jadi tahu kan, kenapa FPI nggak dibubarin sama Pakde?
Saya pribadi jadi iba melihat sang Singa Allah dalam pelariannya. Saya memposisikan diri saya saat menjadi dirinya. Tentu hidup tak tenang, makan tak enak, tidur-pun tak nyenyak. Apalagi kalo teringat bayang-bayang neng Firza. Bisa panas dingin dibuatnya menahan rindu…
Semoga Bibib cepat sadar dari maboknya. Kalo sebenarnya dia tak lebih hanya dimanfaatkan oleh HTI doang.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments