Ketika Goyangan Makin Sulit


520

Hari ini, LSI (Lingkar Survei Indonesia) mengadakan polling untuk menghitung angka elektabilitas paslon capres-cawapres. Hasilnya Jokowi-Ma’ruf unggul atas pasangan Prabowo-Sandi dengan 52,2% lawan 29,5%.

Bukan itu saja, “Jokowi telah mencapai magic number di atas 50%” dengan unggul di lima dari enam daerah kantong pemilih.

Secara singkat dapat dikatakan, sangat sulit untuk mengalahkan petahana dalam pilpres mendatang. Kalo pakai cara konvensional, dijamin barisan kampret akan tewas berjamaah dengan suksesnya di 2019 nanti. Dan para kampret sadar diri akan kondisi ini.

Mulai-lah cara-cara ‘smart’ dijalankan.

“Kamera satu, action…”

Dimulai dari PKS yang kasak-kusuk tentang pentingnya penetapan NTB sebagai daerah bencana nasional. “Jokowi jangan bisanya pencitraan doang. Ada musibah kok malah diem-diem bae,” begitu teriak partai Kardus.

Gayung bersambut, partai Kardus cabang Cikeas nggak mau ketinggalan. Lewat Andi Arief, ngetwitnya nggak kalah vocal. “Maaf, untuk perkawinan putranya saja Jokowi bisa berpindah kantor sementara di Solo, masak untuk bencana besar Lombok tidak dilakukan.”

Point-nya sama aja, menuntut untuk menetapkan Lombok sebagai daerah bencana nasional.

Coba kita ikuti pola pikir para kampret.

Dengan menetapkan NTB/Lombok sebagai daerah bencana nasional, maka kerja pemerintah pusat akan terbelah dan tidak fokus lagi. Akan ada travel warning yang dikeluarkan. Apa dampaknya, bule-bule bukan hanya tidak pergi ke Lombok, tapi juga enggan ke Bali.

Siapa yang bisa tanggungjawab kalo kondisi Bali aman, lha letaknya kan berdekatan sama Lombok?

Dari satu dampak, akan timbul efek domino. Pariwisata ambruk, dan ekonomi daerah itu sekejap lumpuh. Nasional akan kena imbasnya juga.

Dari bencana alam, masalah bergeser ke ranah ekonomi.

Masalah tidak berhenti sampai disitu.

LSM-LSM luar akan berdatangan ke Lombok, dari yang punya misi tulus membantu kemanusiaan, sampai yang punya misi ‘bulus’-pun bisa meluncur kesana. Siapa yang bisa jamin, kalo LSM sekelas White Helmets yang sukses menggoyang Suriah, tidak akan berkiprah disana?

Tambah satu lagi masalah yang muncul, yaitu keamanan nasional. Aliasnya dari hal yang sederhana, jadi kusut masalahnya. Dan itulah sasaran kampret yang utama.

Belum lagi kalo kita lihat dari sisi Jokowi. Bisa rugi bandar. Tahun politik, yang seharusnya bisa dijadikan momen untuk konsolidasi, bisa tinggal kenangan karena sibuk ngurusin Lombok. Padahal, masalah Indonesia bukan cuma Lombok.

Dan diakhir cerita, para kampret bin kardusiyah bisa tertawa sukses melihat kondisi yang dialami pakde.

Pertanyaannya sebenarnya sederhana: apa Lombok perlu penetapan status bencana nasional?

Status bencana nasional terakhir kali di keluarkan Indonesia saat mengahadapi Tsunami di Aceh tahun 2004, silam. Kala itu, pemda Aceh benar-benar lumpuh total menghadapi korban tewas yang mencapai lebih dari 200 ribu jiwa plus kerugian material senilai 49 trilyun.

Mau nggak mau, pemerintah pusat harus turun tangan dikarenakan status bencana nasional memang layak disematkan, yaitu: pertama pemda sudah tak berdaya, kedua tidak adanya akses terhadap sumberdaya nasional, dan terakhir ada regulasi yang menghambat penyaluran bantuan.

Coba kita lihat ketiga syarat tersebut.

Apa pemda sudah tak berdaya? Walaupun bekerja dibawah tenda, nyatanya pemda masih bisa bekerja menjalankan fungsi pemerintahan, kok. Coba dilihat, apakah di Lombok aktivitas pemerintahan lumpuh? Kan nggak juga…

Masalah akses, pemerintah pusat toh sudah mengirim bantuan lewat kementerian yang ada, dari mulai Kemensos hingga Kemenkes. Bukan itu saja, dana bencana senilai 4 trilyun juga sudah siap digelontorkan pemerintah.

Dan yang terakhir, apa ada regulasi yang menghambat penyaluran bantuan? Wong kita punya regulasi kedaulatan berupa dana cadangan penanggulangan bencana, yang bisa dicairkan kapan saja, alias dana siap pakai.

Dapat disimpulkan, ulah penyematan status “bencana nasional” adalah akal-akalan para kampret bin kardusiyah untuk menggoyang pemerintahan Jokowi. Tak heran pakde tak bergeming terhadap nyinyiran tersebut.

Pakde sadar bahwa ini tahun politik. Dan diktum yang berlaku, siapa yang pegang setir, dia-lah yang pegang kendali. Mana bisa, yang pegang setir malah diatur sama yang disetirin? Mang lu pikir pakde banci kaleng, pret?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!