Dalam perjalanan pulang, ternyata ada pesan WA masuk. Ternyata dari kolega di 98. Pesannya cukup singkat: “Akan ada kejutan.” Gile..cuma 3 kata. Irit bingits, pikirku. Terpaksa berpikir keras, kira-kira apa maksud pesannya, setelah saya reply tuh pesan nggak juga dibalasnya.
Tak dinyana, ternyata kejutannya memang warbiyasah…
“Saya memutuskan dan telah mendapatkan persetujuan dari Koalisi Indonesia Kerja bahwa yang akan mendampingi saya sebagai calon wakil presiden 2019-2024 adalah Prof. Dr. Ma’ruf Amin,” begitu kata Jokowi di Restoran Plataran, Jl. HOS Tjokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat.
Jujur, saya bingung tujuh keliling. Apa hitungannya memilih pendamping yang boleh dikatakan bukan sosok yang selama ini diharapkan publik. Padahal sehari sebelumnya, saya dapat konfirmasi, kalo pak Mahfud adalah cawapres definitif. Kenapa bisa begini?
Untuk bisa menjawab langkah zig-zag pakde, memang tak mudah. Serba dadakan. Serba impromptu. Tapi saya akan coba analisa, kenapa ini bisa terjadi.
Pertanyaan sederhana adalah: kenapa Pakde pilih pak Ma’ruf?
Setidaknya ada 2 alasan utama. Pertama, pakde butuh dukungan keras dari NU pada pilpres mendatang. Kedua pilpres 2019 memang sudah tercium akan adanya bahaya disintegrasi bangsa, dengan dibakarnya konflik berbau SARA.
Bagaimana hitungannya?
Untuk alasan pertama, saya mendapat bocoran, kalo konflik horizontal akan menemukan momentumnya pada pilpres 2019 mendatang. Apa lagi kalo bukan dipicu mesin “koin” penggerak konflik horizontal di pilkada DKI, yaitu: PKS dan HTI.
Dengan massa sekitar 2 jutaan, HTI akan mati-matian melawan Pakde untuk menuntaskan dendam kesumatnya. Selama periode presiden sebelum pakde, belum ada yang berani usak-usik HTI. Kecenderungannya malah merangkulnya untuk mendapatkan dukungan. Lha ini, malah dibubarin?
Kalo anda jadi kader HTI, kebayang bagaimana sakitnya. Dan rasa sakit ini hanya akan terbayar, jika rejim yang membubarkan organisasi mereka harus ditumbangkan. Lebih jauh lagi, sistemnya harus diganti dengan Khilafah, alias negara Islam.
Dan upaya ini sudah tercium oleh pihak istana. Tak heran kalo belakangan, Pakde makin erat dengan kalangan Islam abangan, kaum santri, Nahdatul Ulama. Hanya NU yang bisa menghadang gerakan masif kaum Khilafah yang berada dibalik tagar #2019gantipresiden.
Namun masalah kian runyam. Karena dengan dipilihnya pak Mahfud, NU terindikasi akan terbelah dua. Ada yang pro, namun banyak yang kontra. Walaupun, secara naluriah, Mahfud adalah orang Madura. Dan selaku orang Madura, ke-NU-annya memang tak perlu diragukan lagi. Bahkan ada pemeo, kalo orang Madura tuh agamanya NU, dan bukan Islam.
Tokoh yang kontra bukan diluar koalisi, tapi justru ada di dalam koalisi pakde. Terbilang, tokoh PBNU Said Aqil Siradj menolak ke-NU-an Mahfud. Alasannya karena belum pernah menjabat sebagai pengurus organisasi yang berafiliasi ke NU semisal PMII dan IPNU. “Kedekatan Mahfud dengan NU hanya sebatas kultural,” begitu kilahnya.
Tak kalah seru, ketua PBNU Robikin Emhas juga menyatakan, “Warga Nahdliyin tak memiliki tanggung jawab moral untuk memenangkan Jokowi di pilpres 2019 jika cawapres yang dipilih bukan berasal dari kalangan NU.”
Tambah kusut masalahnya..
Belum lagi dengan Cak Imin yang sudah berkali-kali ngancam untuk mau dijadikan cawapres Pakde. Kebayang gak, kalo misalnya yang terpilih adalah Mahfud? Akan ada kemungkinan cak Imin keluar dari koalisi Pakde, dan poros ketiga yang tidak diharapkan, bukan nggak mungkin terbentuk. (baca disini)
Sementara oposisi kian bersatu, tapi dikubu pakde, konflik sesama kader NU malah kian meruncing. Padahal NU dengan ormasnya sekelas Banser dan Ansor, adalah ujung tombak yang diharapkan utuk menghadang aksi para pengasong Khilafah di akar rumput, terutama pada gelaran pilpres 2019 mendatang.
Agak pusing memutuskannya. Namun demi keutuhan bangsa, langkah menelan pil pahit-pun harus diambil. Keputusan final, dipilihlah Kyai Ma’ruf, agar konflik di tubuh NU tidak berkepanjangan. Toh, pak Ma’ruf masih orang NU juga plus bisa ngayomin karena cukup ditua-kan.
Saya sangat memahami langkah sulit yang harus diambil pakde, walaupun ujungnya mengorbankan kedekatannya dengan sosok Mahfud. Namun yakinlah, bahwa hitungan politik, pakde sudah kantongi. Tugas kita hanya mengkonsolidasikan diri, guna melawan dan melibas para pengasong Khilafah yang sudah sibuk bergerilya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
makasih admin artikelny sangat membantu