Namanya Emily Wilder
Oleh: Ndaru Anugerah
Apakah media mainstream berdiri pada posisi yang netral terhadap konflik Israel-Palestina baru-baru ini?
Nggak juga.
Kalo anda ikuti ulasan saya tentang media mainstream, pasti anda tahu akan ada bias media jika menyentuh masalah sensitif. Termasuk konflik Israel-Palestina. (baca disini)
Wajar saja, karena yang punya media mainstream, juga terkoneksi erat dengan kartel sang Ndoro besar. (baca disini)
Emily Wilder contoh terbaru tentang adanya bias media tersebut.
Siapa dia?
Emily Wilder adalah seorang Yahudi AS yang lulus dari Universitas Stanford tahun lalu. Dia memulai karirnya di bidang jurnalistik dengan bergabung pada Associated Press pada 3 Mei 2021 silam.
Nggak butuh lama untuk mengakhiri karirnya di AP karena setelah 16 hari bekerja, dirinya dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja. Dan parahnya memo pemecatan tersebut dibagikan secara online. (https://twitter.com/suhaunah/status/1395479074450022401)
Kebayang, gimana malunya si Wilder?
Lantas, kenapa dirinya dipecat?
Karena dinilai terlalu vocal dan memiliki pandangan yang dianggap pro-Palestina. “Saya dipecat karena pandangan saya atas pendudukan Israel atas Palestina,” ungkapnya. (https://www.middleeasteye.net/news/associated-press-reporter-fired-pro-palestine-views)
Dan parahnya perusahaan nggak kasih klarifikasi ikhwal postingan mana yang dianggap telah melanggar kebijakan perusahaan.
Semua bermula saat Wilder update status di Twitter. “Obyektivitas berubah-ubah dalam kami melaporkan berita. Kami kerap menggunakan istilah Israel tapi nggak pernah Palestina, dan istilah perang ketimbang pendudukan,” begitu kurleb-nya. (https://twitter.com/vv1lder/status/1394073763289829378)
Sebuah postingan yang normatif karena mempertanyakan adanya bias media pada konflik Israel dan Palestina, bukan?
Namun, masalah nggak sesederhana harapan Wilder.
Sebuah kelompok yang menamakan diri Stanford College Republicans kemudian membagikan foto-foto masa lalu Wilder saat berkuliah.
Saat itu, ada foto Wilder sedang terlibat unjuk rasa untuk mengkritik pendudukan Israel, selain saat Wilder ikut ambil bagian pada demonstrasi pro-Palestina yang ada di New York.
Kelompok tersebut juga kasih caption bahwa Wilder adalah pemimpin kelompok pro-Palestina, Suara Yahudi untuk Perdamaian (JVP) dan Mahasiswa untuk Keadilan di Palestina yang mereka klaim terkoneksi dengan Hamas.
Dengan adanya foto-foto dirinya bertebaran di dunia maya, maka nggak butuh waktu lama untuk AP ambil tindakan terhadap Wilder.
Menanggapi pemecatan Wilder, jubir AP mengatakan, “Setiap jurnalis AP harus bertanggungjawab atas pelaporan berita tentang konflik Israel-Palestina dengan mengedepankan azas keadilan dan kredibilitas serta nggak berpihak pada salah satu pihak di ruang publik.”
Ini jelas aneh, mengingat kantor AP di Gaza sebelumnya telah dibom oleh Israel. Lantas, kalo jurnalis AP mempertanyakan arogansi Israel, salahnya dimana? (https://apnews.com/article/israel-middle-east-business-israel-palestinian-conflict-fe452147166f55ba5a9d32e6ba8b53d7)
Atas kebijakan aneh yang dibuat AP, netizen dan aktivis jurnalisme mulai mengecam ikhwal pemecatan Wilder.
Misalnya twit yang disampaikan oleh Prof. Jay Rosen selaku pakar jurnalisme dari Universitas New York, “Jadi AP memecat seorang reporter muda karena ambil bagian dalam Mahasiswa untuk Keadilan di Palestina saat berkuliah? Dan AP yang sama yang kantornya dibom oleh pasukan Israel?” (https://twitter.com/jayrosen_nyu/status/1395576329844756486)
Masa gegara pernah ikutan demo, terus seseorang dipecat tanpa ada pembelaan? Fair-nya dimana?
Kasus Wilder hanyalah satu dari banyak kasus lainnya tentang bias yang dilakukan oleh media mainstream terhadap masalah konflik Israel-Palestina.
Dan kita wajib kritis pada media mainstream, mengingat saat pandemi ini, mereka jugalah yang punya peran dominan dalam menyebar propaganda takut pada masyarakat agar wabah Kopit akan terus ada selamanya. (baca disini dan disini)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments