Rencana Sih Boleh-Boleh Saja
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada sebuah konpers secara daring, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan bahwa Juli 2021, semua sekolah harus sudah membuka belajar tatap muka. (https://nasional.kontan.co.id/news/nadiem-makarim-semua-sekolah-wajib-sudah-belajar-tatap-muka-pada-juli-2021)
Apa alasan utamanya?
Karena sudah sesuai dengan SKB 4 Menteri serta program vaksinasi guru, dosen dan tenaga kependidikan yang rencananya akan rampung pada akhir Juni 2021 mendatang.
“Kalo sudah divaksin (guru dan tenaga kependidikan), maka pembelajaran tatap muka bisa diselenggarakan,” ungkap Nadiem. Jadi ‘asumsinya’, kekebalan kawanan sudah terbentuk dengan adanya program vaksinasi.
Lalu apa syarat pembelajaran tatap muka bisa diselenggarakan?
Prokes sudah pasti harus dilakukan dan juga wajib memenuhi daftar periksa dari instansi yang berwenang. Kapasitas belajar juga nggak boleh melebihi 50% sehingga berakibat proses pembelajaran online tetap harus dilakukan bagi siswa yang bersekolah saat itu.
Dan yang paling penting kata mas menteri bahwa ketentuan belajar tatap muka siswa ada di tangan orang tua. “Jadi ortu bisa memilih apakah anaknya bersekolah secara offline atau justru online,” tambahnya.
Dengan skenario ini, sama saja kasih anak kecil untuk ambil keputusan penting. Yang ada kemudian, keputusannya nggak terbentuk malah mereka saling gontok-gontokan satu sama lain menanggapi polemik proses belajar.
Mana ada masyarakat disuruh buat keputusan penting yang seharusnya jadi porsi pemerintah? Seharusnya pemerintah buat regulasi yang memfasilitasi warganya untuk dapat belajar secara offline, bukan malah lepas tangan kek gini.
Kenapa ini wajib saya tekankan?
Karena, skenario yang mungkin terjadi saat pembelajaran offline berlangsung adalah civitas akademika ada yang terpapar Kopit. Maka situasi panik nggak terhindarkan. Pelacakan bakal dilakukan secara masif guna mencegah terbentuknya klaster baru.
Misalnya, ada siswa atau guru yang tetiba terpapar Kopit setelah proses belajar di sekolah, maka semua siswa dan guru serta tenaga kependidikan yang bersinggungan dengan orang tersebut, wajib di test Kopit untuk memastikan dirinya aman atau justru terinfeksi.
Dua kemungkinannya. Pertama bakal butuh dana banyak untuk melakukan test Kopit, dan kedua orang akan trauma untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah. “Mending sekolah online saja, aman dan nggak ribet.”
Ini bukan mengada-ada.
Kasus di Jambi dimana sekolah mulai dibuka, kemudian dipaksa tutup kembali akibat munculnya klaster Kopit di lingkungan sekolah (3/5). (https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/05/01/klaster-sekolah-meluas-di-jambi-gugus-tugas-rekomendasikan-kbm-daring/)
Di Bandung juga mengalami kasus yang sama, jelang sekolah tatap muka di Juli 2021.
Dikatakan bahwa sebanyak 16 dari ratusan siswa dinyatakan positif Kopit seusai mengikuti masa orientasi sekolah yang telah berlangsung sejak 15 Maret 2021 silam.
Apakah siswa yang terpapar memiliki gejala? Justru nggak punya gejala alias asimtomatik. Dan penularan di lingkungan sekolah berawal dari satu siswa yang sakit kemudian menyebar ke siswa lainnya. (https://www.idntimes.com/news/indonesia/dini-suciatiningrum/3-klaster-sekolah-terjadi-jelang-mulainya-sekolah-tatap-muka-juli/5)
Belajar-pun dihentikan seketika.
Kasus di kota Padang, juga kurleb sama, dimana sekitar 43 siswa ditemukan positif Kopit dan dipaksa menjalani isolasi mandiri di sekolahnya. (https://regional.kompas.com/read/2021/03/27/132845078/43-siswa-sma-ini-positif-covid-19-berawal-dari-1-siswa-kehilangan-penciuman)
Di kota Tasikmalaya, kasus penularan Kopit ditenggarai bermula dari guru yang mengeluh ‘sakit’, meskipun proses pembelajaran tatap muka belum digelar. Jadi guru tersebut menggelar kegiatan bersifat terbatas yang tidak diikuti oleh seluruh staf, pengajar maupun siswa.
Setelah dilakukan test, maka didapati sebanyak 20 orang dinyatakan positif Kopit. Dan sekolah terpaksa ‘dliburkan’ karena adanya temuan tersebut. (https://www.tribunnews.com/regional/2021/03/15/muncul-klaster-covid-19-di-sekolah-tasikmalaya-berawal-dari-guru-yang-demam-kini-20-orang-terpapar)
Itu baru beberapa kasus yang saya sebutkan. Masih banyak kasus serupa kalo anda mencarinya.
Sekarang coba bayangkan, anda yang tadinya semangat menyekolahkan anak anda secara offline, kemudian mendapati salah satu kasus di atas pada sekolah tempat buah hati anda belajar, apa yang akan lakukan?
Lebih jauh lagi, apakah sekolah secara tatap muka bisa dijalankan secara optimal dibawah bayang-bayang ketakutan akan infeksi Kopit?
Silakan anda buat kesimpulan sendiri.
Sebagai penutup, coba anda baca analisa saya setahun yang lalu tentang bagaimana nasib sekolah ke depannya, agar anda tahu skenario-nya seperti apa. (baca disini dan disini)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments