Kode Nuremberg Jadi Rujukannya
Oleh: Ndaru Anugerah
“Apa tanggapan Abang terhadap program vaksinasi global?” tanya seorang netizen ditengah liburan yang saya jalani bersama keluarga.
Seperti saya pernah ungkapkan berulang-ulang, kalo vaksinasi wajib itu apa urgensinya? Apakah kita akan mati kalo nggak divaksinasi?
Sebaliknya kita wajib tanya balik: apakah vaksinasi itu aman jika diterapkan dalam tubuh kita? Lalu apakah vaksinasi itu efektif dalam memutus mata rantai si Kopit?
Sejauh ini banyak penelitian telah mengungkapkan bahwa vaksin mengandung bahan beracun yang berbahaya bagi tubuh manusia. Apalagi bila pengembangannya terburu-buru seperti saat ini, dengan menerapkan Operation Warp Speed ala Trump pada Big Pharma. (baca disini, disini dan disini)
Lantas, adakah hak kita untuk menolak program vaksinas wajib?
Anda pernah dengan Kode Nuremberg?
Kode Nuremberg merupakan kode etik dasar yang dibuat untuk melindungi Hak Asasi Manusia setelah PD II. Kode tersebut dibuat, setelah Karl Brandt melakukan pemaksaan terhadap warga Yahudi pada masa PD II. (https://media.tghn.org/medialibrary/2011/04/BMJ_No_7070_Volume_313_The_Nuremberg_Code.pdf)
Pada saat ini, Kode Nuremberg masih berlaku, dimana pada tataran teknis semua hal yang berkaitan dengan kesehatan manusia, memerlukan persetujuan sukarela dari seseorang. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199711133372006)
Jadi, apapun yang berpotensi menimbulkan risiko penderitaan fisik dan mental, kematian atau bahkan mendatangkan cacat pada manusia, jelas dilarang oleh Kode Nuremberg tersebut.
Dengan kata lain, program vaksinasi wajib, jelas melanggar Kode Nuremberg tersebut.
Memangnya ada yang memaksakan untuk program vaksinasi wajib? Saya ungkapkan beberapa contohnya.
Komisaris Kesehatan Negara Bagian Virginia, Norman Oliver, mengatakan bahwa dia bermaksud untuk mengamatkan vaksinasi massal terhadap penduduk negara bagian Virginia, begitu vaksinnya telah tersedia. (https://www.wric.com/news/virginia-news/virginia-commissioner-of-health-plans-to-mandate-coronavirus-vaccinations-once-available-to-public/)
Bahkan Departemen Kesehatan Masyarakat Massachusetts mengamanatkan kepada semua siswa sekolah untuk divaksin flu paling lambat di akhir Desember nanti. (https://www.mass.gov/news/flu-vaccine-now-required-for-all-massachusetts-school-students-enrolled-in-child-care-pre)
“Persyaratan vaksin ini penting untuk dilakukan dalam mengurangi penyakit flu dan dampak lain dari penyakit pernafasan selama pandemi C19,” kurleb begitu penyataannya.
Padahal, menurut penelitian yang diterbitkan pada jurnal Clinical Infectious Diseases, anak-anak yang divaksinasi flu, akan berisiko 4 kali lebih besar untuk tertular saluran infeksi pernafasan lainnya, termasuk si Kopit. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3404712/)
National Geographic selaku media mainstream, dalam salah satu ulasannya beberapa hari yang lalu bahkan menyatakan bahwa vaksin bagi si Kopit, bisa dijadikan program yang bersifat wajib. (https://www.nationalgeographic.com/science/2020/08/how-coronavirus-covid-vaccine-mandate-would-actually-work-cvd/)
Dikalangan saintis-pun sudah punya suara yang sama akan perlunya vaksinasi wajib bagi si Kopit. Arthur Caplan selaku ahli Bioetika dari Universitas New York bahkan menyatakan bahwa kebijakan vaksinasi massal bisa saja diterapkan di AS, dan bisa juga diberlakukan oleh pihak lainnya (semisal pemerintahan negara lain, pemberi kerja dan lainnya). (https://www.cnbc.com/2020/08/01/who-should-get-the-coronavirus-vaccine-first-its-a-tricky-question.html)
Ini jelas melanggar Kode Nuremberg yang dijunjung tinggi dalam melindungi HAM seseorang. Mana bisa program vaksinasi tersebut dibuat wajib?
Kalo ini dipaksakan, lantas apa bedanya dengan kelakuan Nazi Jerman yang mengharuskan para Yahudi Eropa untuk mengenakan bintang Daud berwarna kuning saat berinteraksi di ruang publik?
Ini perlu menjadi tekanan, mengingat kita saat ini tengah digiring ke arah sana (bukan saja di AS), dimana vaksinasi merupakan program yang wajib diikuti oleh setiap orang dalam mengakhiri pandemi si Kopit. (baca disini)
Mengutip apa yang dikatakan aktivis HAM Evelyne Shuster, “Kode Nuremberg itu memerlukan persetujuan sukarela dari subyek manusia. Dan ini nggak bisa dipaksakan dengan cara apapun.” (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM199711133372006)
Dengan kata lain, kita menghormati hak seseorang untuk divaksinasi. Silakan saja untuk divaksinasi.
Namun dilain pihak, kita juga harus mau menghormati hak orang lain yang tidak mau divaksinasi.
Semoga tulisan ini dapat menjawab pertanyaan yang diberikan diawal.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Setuju. Vaksinasi covid global adalah pelanggaran terhadap Kode NUremberg 2 yang memang dirancang untuk menghindari terulangnya kejahatan kemanusiaan ala Hitler dimasa PD II dengan alasan percobaan medis.
Vaksinasi covid adalah kejahatan kemanusiaan dan genosida global. Harus dihukum!!!