Sejarah Sedang Dibuat
Oleh: Ndaru Anugerah
“Akankah hegemoni AS akan semakin kuat pasca pandemi C19 berakhir?” tanya seseorang melalui salah satu akun media sosial.
Saya akan coba menjawabnya.
Pasca berakhirnya perang dunia kedua, dunia mengalami fase perang dingin (cold war) antara AS dan Uni Soviet. Kedua kekuatan ini yang akhirnya membentuk kekuatan global yang bernama bipolar.
Namun setelah tembok Berlin ambruk di tahunn 1989 dan juga Uni Soviet, maka otomatis supremasi AS nggak ada yang melawan. AS jadi satu-satunya negara adikuasa di dunia. (https://scholar.princeton.edu/sites/default/files/gji3/files/introduction_unipolarity.pdf)
Hegemoni AS sebagai satu-satunya kekuatan dunia tanpa tandingan diperkuat peranannya oleh kelompok konservatif di Washington yang bercokol di Partai Republik. Seiring naiknya George W Bush, disusunlah garis-garis besar haluan politik LN AS yang bernama Project New American Century.
Singkat cerita, mimpi menjadikan AS sebagai imperium dunia diwujudkan dengan konsep unipolar. Inilah yang menjadikan AS sebagai kekuatan polisi dunia dalam mempertahankan hegemoni globalnya. (https://abcnews.go.com/Nightline/story?id=128491&page=1)
Dengan skenario PNAC yang dikembangkan AS, maka otomatis semua kekuatan di dunia dihadapkan pada dua pilihan: menjadi sekutu atau menjadi musuh? Termasuk Uni Eropa yang selama ini tunduk pada dikte kebijakan Washington dalam menyukseskan agenda globalisasi yang diusung AS.
Otomatis harapan AS selepas pandemi usai, cengkraman tangan mereka akan lebih kuat lagi pada negara-negara di dunia, seiring kebangkrutan ekonomi secara massal yang melanda masyarakat dunia. Bukankah lembaga Bretton Woods ada dalam kontrol mereka?
Apakah ini akan berjalan sesuai rencana?
Menariknya, saat pandemi C19 melanda Eropa, Joseph Borrell selaku Kepala Urusan LN Uni Eropa justru mengatakan hal yang berbeda.
Pada pertemuan dengan para dubes Jerman Borrell mengungkapkan: “Analisa telah lama berbicara tentang akhir dari sistem yang dipimpin AS dan kedatangan abad Asia. Ini sekarang sedang terjadi di depan mata kita.” (https://infobrics.org/post/30967)
Ini cukup menarik mengingat Uni Eropa merupakan pendukung globalisasi, namun Borrell justru memprediksi bahwa akhir pandemi C19 akan menggeser pusat kekuatan dunia dari Barat ke Timur. Sehingga bisa dikatakan bahwa pandemi nggak lain merupakan katalis yang mempercepat proses tersebut.
Lalu apa maksud ‘abad Asia’?
Ini istilah yang dikeluarkan oleh Standard Chartered Plc, untuk menggambarkan bahwa China, India, Jepang, dan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030 nanti alias abad ke 21. (https://infobrics.org/post/30967)
Borrell menambahkan untuk dapat keluar dari masalah setelah pandemi, nggak ada pilihan lain selain blok 27 negara tersebut berkolaborasi dengan China. “Kami membutuhkan strategi yang lebih kuat untuk Tiongkok, yang juga membutuhkan hubungan yangv lebih baik dengan negara-negara Asia yang demokratis.”
Ternyata Borrell nggak sendirian.
Ketua Bank Dunia yang baru – Carmen Rainhart – mengatakan, “Tanpa melodramatik, C19 ibarat paku terakhir dalam peti mati globalisasi. Krisis 2008-2009 memberi pukulan berat pada globalisasi, seperti halnya Brexit, seperti halnya perang dagang AS dan China, tetapi C19 membawanya ke tingkat yang baru.” (https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-05-21/reinhart-says-pandemic-is-last-nail-in-globalization-s-coffin)
Bahkan Macron dalam sebuah postingan di Facebook sempat berujar: “Eropa membentang dari Lisbon hingga Ural. Karenanya kami berusaha mengembangkan hubungan Perancis dan Rusia dalam rangka restrukturisasi multilateral antara Uni Eropa dan Rusia.” (https://tass.com/world/1074276)
Jadi kalo bisa disimpulkan bahwa sekutu AS-pun mulai mengakui bahwa sekarang sedang terjadi pergeseran pusat kekuatan dunia dari Barat ke Timur, sehingga Uni Eropa nggak punya pilihan lain selain memulihkan hubungan dengan China dan Rusia atau jatuh bersama-sama dengan AS.
Bahkan jaringan media mainstream sekelas The Economist (14/5) mulai menyangsikan eksistensi globalisasi pada salah satu analisanya dipicu oleh pandemi C19. (https://www.economist.com/leaders/2020/05/14/has-covid-19-killed-globalisation)
Ada lagi yang berpendapat bahwa akhir globalisasi sudah dekat, karena globalisasi tengah menuju ICU alias ruang gawat darurat. (https://foreignpolicy.com/2020/03/09/coronavirus-economy-globalization-virus-icu-realism/)
Apakah skenario kejatuhan AS akan berjalan sesuai rencana?
Entahlah. Yang jelas hegemoni AS yang selalu mengedepankan kekerasan militer dan kekuatan sanksi ekonomi kepada negara-negara yang tidak mau tunduk pada arahan Washington, tengah mendapatkan tantangan serius seiring pandemi C19.
Bagaimana kondisi di AS saat ini?
The Fed memprediksi angka pengangguran di AS akan mencapai 25% dalam waktu dekat. (https://www.reuters.com/article/us-usa-fed/the-u-s-needs-more-fiscal-help-to-fight-coronavirus-fed-officials-say-idUSKBN22O3CO)
Angka kemiskinan juga menukik tajam di angka 29,9% dengan kondisi bahwa warga AS tidak aman pangan, sehingga pemerintah harus menyediakan persediaan makanan yang cukup selagi penerapan lockdown. (https://www.povertyusa.org/facts)
Dengan semua kondisi tersebut, akan berat langkah AS dalam mempertahankan hegemoninya. “Jalan sendirian aja sudah sempoyongan, gimana mau ngurusin orang lain, coba?”
Akankah AS menyerah? Disinilah menariknya.
Karena Frank Knight pernah mengatakan, “Always history is being made.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments