Ketika China Siap Melawan
Oleh: Ndaru Anugerah
“Kenapa China yang sudah digebuk kirin kanan, depan belakang sama AS kok nggak balas melawan, yah?” begitu kurleb pertanyaan publik selama ini.
Lewat tulisan ini saya coba membahasnya.
China boleh dikatakan mengalami situasi dilema. Disatu sisi dia banyak menggantungkan bisnis-nya pada dunia Barat, tapi di sisi yang lain, AS selaku ‘pimpinan’ genk Barat terus menusuknya dari segala sisi.
Mau melawan, China pasti sudah berhitung pros dan cons-nya. Selama ini, ditahan saja lah. Sampai yang paling ekstrim adalah tuduhan Trump tentang virus Corona sebagai virus (yang berasal dari) China, toh Beijing masih bisa tahan diri.
Karena apa? Segala sesuatu pasti dihitung dengan matang, baik dan buruknya. Jadi kata reaksioner, nggak ada dalam kamus rejim sosialis.
Sebagai informasi, sejak rejim Bush, program containment alias pengepungan atas China secara masif digelar. Alasannya klasik, dimana Washington merasa takut ada saingan atas dominasi globalnya oleh China sebagai pendatang baru, seiring kebangkitan ekonomi China. (https://www.foreignaffairs.com/articles/china/2019-12-06/new-china-scare)
Program ini makin meningkat di era Obama, karena 60% pasukan militer AS dipindahkan ke Asia selain menciptakan program Pivot-Asia, dalam rangka mengisolasi China secara ekonomi. (http://www.fahamu.org/ep_articles/is-china-the-worlds-new-industrial-super-power-obamas-pivot-to-asia-and-the-military-encirclement-of-china/)
Apakah berhasil? Nggak juga. Karena China bukan musuh kaleng-kaleng bagi AS.
Nah terakhir, rejim Trump makin gila lagi serangannnya, dengan menjadikan China sebagai pesaing strategis, selain Rusia. Jadi bukan terorisme lagi jadi musuh utama bagi AS. Untuk sementara, fake enemy nggak dipakai dulu lah ya…
Bahkan setelah Huawei ‘dihajar’ beberapa tahun yang lalu, China masih bisa tahan diri. Sampai beberapa hari yang lalu, dimana AS kembali berencana menaikkan tarif impor atas produk China dari 10% menjadi 25% yang setara dengan USD 200 milyar nilainya, kalo itu diberlakukan. (https://www.reuters.com/article/us-usa-trade-china-notice/u-s-will-raise-tariffs-on-200-billion-worth-of-chinese-imports-federal-register-idUSKCN1SE1N6)
Rejim Tiongkok tampaknya mulai menerima kenyataan bahwa AS sudah bisa dikatakan musuh. Dengan kata lain, genderang perang berkepanjangan yang ditabuh AS sudah ‘resmi’ mendapatkan jawaban dari China. (http://www.globaltimes.cn/content/1149093.shtml)
“Lingkungan untuk pembangunan damai, telah dirubah oleh penindasan AS. Ini menjadi tantangan utama bagi pembangunan China. Karenanya, China perlu melepaskan ‘kekuatannya’ untuk menghancurkan kekuatan AS,” begitu bunyinya.
Apa implikasi dari kebijakan yang dibesut oleh rejim Trump tersebut?
Bisa dipastikan bahwa barang-barang dari China, bakal nggak laku di pasaran AS dengan tarif impor semahal itu. Aliasnya China dipaksa untuk cari pasar baru untuk memasarkan produknya.
Apakah China siap?
Dongguan selaku pusat manufaktur utama China (dikenal sebagai pabrik dunia), para produsen dan eksportir telah bersiap untuk eskalasi lanjutan yang dipicu AS. Artinya, mereka sudah punya skenario ‘terburuk’ yang akan dimainkan, seandainya AS tetap ngotot pada rencana semula.
Pernyataan ini ditekankan kembali oleh CH Kwok selaku GM Dongguan LC Technology Co, “Kesulitan yang kami hadapi, juga kelak akan AS alami, mengingat nggak mudah bagi AS untuk mencari pemain pengganti atas China (sebagai importir).”
Meskipun AS telah mengalihkan produksi mereka ke negara-negara seperti Bangladesh dan Vietnam, namun untuk bahan-bahan tertentu yang sifatnya ‘penting’, hanya China yang bisa menyediakan. Ujung-ujungnya, harga bakal terkerek naik lagi pasaran AS karena pakai bahan baku produk China.
Ini bisa terjadi karena memang sudah didisain sedemikian hingga oleh China. Jadi AS akan mati langkah atas strategi apapun.
Lain di China, lain pula di AS. Ditengah pemberlakuan lockdown, para petani dan kelompok bisnis di AS justru hancur minah nggak karu-karuan. “Kami membutuhkan resolusi, bukan eskalasi lanjutan,” demikian teriak mereka.
Bisa ditarik kesimpulan, bahwa sambutan ‘resmi’ China atas ajakan perang AS diambil semata-mata karena China sudah siap perang dalam arti sesungguhnya. Sudah diatas angin, bahkan. Ini karena secara ekonomi, China sangat mumpuni.
Bahkan aksi balasan tengah disiapkan Tiongkok.
China akan menempatkan perusahaan-perusahaan AS pada ‘daftar entitas yang tidak dapat diandalkan’ alias bakal ‘diboikot’. Siapa saja perusahaan-perusahaan yang ditarget China? Nggak main-main. Ada: Apple, Qualcomm, Cisco dan Boeing. (https://www.globaltimes.cn/content/1188491.shtml)
Ini diambil China sebagai aksi balasan atas pemblokiran AS untuk mengirimkan bahan pembuatan chip (semi konduktor) ke raksasa teknologi China, Huawei. (http://www.globaltimes.cn/content/1149093.shtml) Masalahnya, kalo nggak dijual ke China, siapa lagi yang mau nampung, Bambang?
Jadi makin seru aksi ke depannya. Minimal hegemoni AS akan ditantang oleh lawan yang seimbang.
Saran saya, siapin pop-corn banyak-banyak. Karena kalo ‘perang’ jadi digelar, kita juga harus mempersiapkan kemungkinan terburuk sebagai imbasnya.
“Mang lu pikir, barang impor China nggak banyak kita pakai sehari-hari? Kalo beneran perang, apa nggak rusak rantai distribusinya?”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments