Kisah Para Pencemooh


513

Kisah Para Pencemooh

Oleh: Ndaru Anugerah

Herd immunity nggak akan bisa diterapkan di Indonesia, beda dengan di Swedia yang masyarakatnya bisa lebih tertib aturan,” begitu ungkap seseorang di wall facebook dalam menanggapi postingan seorang lainnya. Benarkah?

Dengan model pertanyaan yang sama, strategi lockdown atau apapun itu yang membuat orang tetap dirumah memang bisa menahan laju penyebaran virus secara temporal. Namun ketika lockdown diangkat, apa ada jaminan tidak peningkatan tajam dan angka kematian bakal berkurang?

Ini artinya tidak ada jaminan untuk tercipta kondisi aman begitu lockdown-nya diangkat, bukan?

Padahal orang sudah ingin kembali kerja. Padahal anak-anak sudah ingin sekolah. Padahal resesi ekonomi sudah terbayang di depan mata. Padahal jumlah pengangguran makin banyak. Lalu apa solusinya? Apa akan dikurung selamanya sampai terciptanya vaksin C19 yang handal?

Kita sudah tahu, bahwa vaksin C19 dengan kondisi layak pakai nggak akan pernah tercipta. (baca disini)

Di Swedia, ribbers (para pencemooh) juga sangat banyak saat awal-awal pemerintah tidak menetapkan status lockdown. Ada sekitar 2300 akademisi yang memaki-maki pemerintah habis-habisan karena menolak lockdown yang dianjurkan WHO. Belum lagi media mainstream Barat. (https://www.france24.com/en/20200415-swedish-coronavirus-model-under-fire-as-deaths-rise)

Namun keputusan untuk tidak memberlakukan lockdown akhirnya diambil pemerintah Swedia, setelah mendapat dukungan dari sejumlah akademisi dan profesional terkemuka. (https://www.dailymail.co.uk/news/article-8235979/UKs-coronavirus-crisis-peaked-lockdown-Expert-argues-draconian-measures-unnecessary.html)

Dr. Knut Wikkowski menyatakan, “Keputusan untuk lockdown akan membuat masalah C19 lebih buruk dari sebelumnya baik dalam jangka pendek apalagi jangka panjang, mengingat korban jiwanya akan relatif sama diakhir cerita.” (https://21stcenturywire.com/2020/05/01/epidemiologist-dr-knut-wittkowski-lockdown-has-no-benefit-only-negative-effects/)

Menurut ilmuwan top di negara tersebut, Swedia kini tengah menyongsong status herd immunity. “Swedia mengikuti ilmu epidemiologi nyata dengan memakai akal sehat.” (https://21stcenturywire.com/2020/04/18/sweden-vs-covid-19-why-natural-herd-immunity-matters-and-why-lockdown-doesnt-really-work/)

Dan sekarang, WHO pun memuji langkah yang diambil pemerintah Swedia dalam menangani pandemi C19 (tanpa lockdown), sebagai langkah yang cukup sukses. (https://nypost.com/2020/04/29/who-lauds-sweden-as-model-for-resisting-coronavirus-lockdown/)

Jadi menurut WHO, Swedia-lah yang bisa mencapai kondisi normal baru (dengan terbentuknya kekebalan kawanan), dan bukan kebijakan karantina atau lockdown yang bersifat reaksioner bin jadul ala abad pertengahan yang justru banyak dipakai oleh mayoritas negara di dunia.

Dengan kata lain, kebijakan karantina yang diterapkan seperti menerapkan jarak sosial, menutup toko dan kantor, meliburkan sekolah sampai memakai aparat keamanan untuk menghukum warga yang bandel saat melanggar aturan, jelas nggak produktif.

Dan apa yang diraih oleh Swedia jelas bukan mengada-ada, karena memang ada rujukan datanya. Berdasarkan data sementara worldometer, ada sekitar 3698 angka kematian (18/5). Sementara pada tahun 2018, ada sekitar 6997 total kematian akibat penyakit pernafasan di Swedia. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/sweden/)

Aliasnya lebih banyak angka kematian akibat penyakit pernafasan, dibanding angka kematian akibat Corona. Saya yakin data di Indonesia dan banyak negara lainnya juga memiliki track record yang kurleb sama. Kalo begitu kejadiannya, ngapain karantina atau lockdown yang diambil?

Ini berarti, kehidupan sosial dan ekonomi nasional Swedia sama sekali nggak terkena dampak atas pandemi palsu C19 tersebut. Just the way it should be.

Bisa ditebak, apa yang selanjutnya ‘diramalkan’ bakal terjadi di negara-negara Eropa (termasuk Swedia) oleh media mainstream Barat? Gelombang kedua. (https://www.standard.co.uk/news/uk/boris-johnson-reluctant-ease-covid19-lockdown-second-peak-a4418411.html)

Tentang ini saya pernah bahas. (baca disini)

Isu gelombang kedua adalah upaya BG yang diikuti oleh banyak negara sebagai justifikasi langkah lockdown sampai terciptanya vaksin virus Corona. (https://www.mirror.co.uk/news/world-news/bill-gates-warns-could-18-21855292)

Bahkan saking kesalnya, Prof. Hugh Pennington selaku pakar mikrobiologi Skotlandia mengatakan, “Gelombang kedua itu tidak mungkin terjadi. Lagian, saya tidak yakin darimana ide gelombang kedua tersebut berasal?” (https://www.pressandjournal.co.uk/fp/news/politics/scottish-politics/2175148/coronavirus-second-wave-of-deadly-virus-described-as-very-unlikely-by-expert/)

“Kalo anda menyamakan gelombang kedua kasus flu musiman dengan kasus C19, jelas anda salah kaprah. Sejauh ini saya belum melihat bukti yang mendukung gagasan akan ada gelombang kedua pada C19,” tambahnya.

Jadi clear ya masalahnya…

Lagian, ngapain juga mengkiblat ke WHO dengan menerapkan karantina atau lockdown? Sebagai gambaran yang berbeda, saya coba ambil contoh Inggris.

Menurut Dr. Johan Gieseck, Inggris awalnya akan menerapkan langkah yang sama yang diambil Swedia dengan mengembangkan herd immunity. Tapi Boris Johnson mendapatkan tekanan kuat dari oposisi setelah Prof. Neil Fergusin dari Imperial College memaparkan akan ada 500 ribu kematian di Inggris bila tidak menerapkan lockdown. (https://www.dailymail.co.uk/news/article-8164121/Professor-predicted-500-000-Britons-die-coronavirus-accused-having-patchy-record.html)

Dengan pemodelan ‘nakut-nakutin’ yang diberikan Prof. Ferguson, singkat cerita jadilah Inggris dalam kondisi parah seperti sekarang ini.

Padahal kalo dipikir, siapa Prof. Neil Ferguson?

Prof. Michael Thrusfield dari Universitas Edinburgh mengatakan bahwa Prof. Ferguson sebelumnya berperan dalam pemodelan yang mengarah pada pemusnahan lebih dari 6 juta hewan selama wabah kaki dan mulut di tahun 2001, yang membuat banyak pedesaan Inggris hancur secara ekonomi. (https://www.dailymail.co.uk/news/article-8164121/Professor-predicted-500-000-Britons-die-coronavirus-accused-having-patchy-record.html)

Kok rekomendasi pemodelan yang diberikan Prof. Ferguson bisa ngaco?

“Perhatikan kemana uang mengalir.”

Memang siapa yang pendonor terbesar kedua Imperial College, selain Bill Gates? Hingga akhir tahun 2018 saja, Gates Foundation telah memberikan dana hibah kepada Imperial College sebesar USD 185 juta. (https://www.ukcolumn.org/article/who-controls-british-government-response-covid19-part-one)

Setelah tahu itu semua, kita kini bisa balik bertanya: adakah bukti yang membantah bahwa ide lockdown nggak lain adalah akal-akalan BG dan kroninya untuk berjualan vaksin diakhir cerita?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Bang, hati2.. kadal gurun sekarang mulai menyerang pemerintah dengan tagar “Indonesia terserah” ..

error: Content is protected !!