Antara ORI dan BI
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, benarkah kalo Bank Indonesia bukan lagi milik Indonesia?” demikian isi pertanyaan dari seseorang nun jauh disana.
Saya coba jawab, mumpung ada kesempatan.
Mayoritas pemilik bank sentral di hampir seluruh dunia, adalah kelompok yang sama. Modus operandi yang mereka lakukan pun sama, yaitu dengan memakai nama negara bersangkutan biar sekilas kelihatan milik negara tersebut.
Contoh: Bank of England, Deutsche Bank, The Federal Reserve of America, Imperial Ottoman Bank dan masih banyak lainnya.
Bank of England, misalnya, adalah milik klan Rothschild setelah mereka berhasil memberikan dana talangan (bail out) kepada Inggris, saat negara tersebut mengalami krisis keuangan di tahun 1825.
Deutsche Bank yang punya aset sekitar Rp. 22.188 trilyun (2019), juga bukan milik negara Jerman, karena ada keluarga Siemens yang memilikinya. Kenal Ludwig Bumberger? Dialah pemilik bank sentral Jerman tersebut.
Bagaimana dengan The Fed? Sahamnya dimiliki oleh bankir swasta semisal: Citibank, Chase Manhattan, Chemical Bank, Morgan Guaranty Trust dan juga Manufacturers Hannover. Siapa pemilik bank-bank swasta tersebut, saya pernah mengulasnya. (baca disini)
Lalu bagaimana dengan Imperial Ottoman Bank yang ada di Turki. Ya, sami mawon.
Pemiliknya bukan kaum muslim Turki, melainkan Pereire bersaudara yang punya spesialisasi di bidang pertambangan. Meskipun disebut-sebut sebagai kompetitor Rothschild, ya sesungguhnya merekapun juga bagian dari klan tersebut.
Begitupun bank sentral lain, yang ada di kolong jagat. Kalo dirunut kepemilikannya, maka ada benang merahnya, yaitu klan Rothschild.
Kenapa klan Rothschild sangat tertarik pada penguasaan bank sentral?
Mungkin pernyataan Nathan Mayer Rothschild (1815) cukup masuk akal:
“Aku tidak peduli boneka apa yang ditempatkan di atas takhta Inggris untuk memerintah kekaisaran dimana matahari tidak pernah tenggelam. Orang yang mengontrol persediaan uang di Inggris-lah yang akan mengendalikan kerajaan. Dan saya-lah yang mengendalikan pasokan uang tersebut.”
Kembali ke laptop…
Bagimana dengan nasib bank sentral di Indonesia?
Bank sentral pertama di Indonesia, dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda, yang bernama De Javasche Bank pada tahun 1828. Lokasinya ada di Batavia alias Jakarta saat ini. Fungsinya nggak lain mencetak uang Gulden yang menjadi mata uang resmi di Belanda kala itu.
Baru setelah Indonesia merdeka, Bank Negara Indonesia (BNI) ditetapkan sebagai bank sentral di Indonesia sejak tahun 1946. Tugasnya mencetak Oeang Repoeblik Indonesia alias ORI.
Inilah mata uang pertama milik Indonesia, dengan standar emas. Setiap Rp.10 maka nilainya setara dengan 2 gr emas.
Sejak ORI dicetak oleh BNI, maka otomatis uang yang dikeluarkan oleh Belanda dan Jepang nggak berlaku lagi.
Cuma, BNI selaku bank sentral punya keterbatasan aset. Ini yang mengakibatkan peredaran ORI tidak bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Maka berdasarkan kesepakatan Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, De Javasche Bank yang berganti nama menjadi Bank Indonesia-pun kemudian mengganti peran BNI.
Itupun nggak gratis, karena merujuk kesepakatan KMB, maka seluruh hutang pemerintah Hindia Belanda akan ditanggung oleh Indonesia. Ada sekitar USD 4 milyar nilainya. Padahal saat proklamasi, Indonesia nggak punya hutang LN.
Dan ORI langsung diganti oleh Uang Bank Indonesia (UBI) sejak 1952.
Situasi ini terus berlanjut hingga Soekano kemudian menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia (1963-1965) dan memutuskan untuk keluar dari PBB, di Agustus 1965. Bahkan Soekarno lantang bersuara: “Go to hell with your aid!” kepada AS, IMF dan Bank Dunia saat itu.
Keberanian Soekarno memang layak diacungkan jempol, namun harus dibayar mahal dengan kudeta berdarah yang dilakukan terhadap dirinya di tahun 1966.
Bukan itu saja, utang luar negeri Indonesia yang hanya USD 6,3 milyar diakhir masa jabatan Soekarno (dengan USD 4 milyar adalah utang warisan Belanda), seketika melonjak menjadi USD 54 milyar saat Soeharto dilengserkan di tahun 1998 karena krismon.
Maka mau nggak mau, jurus dana talangan alias bail-out mulai dimainkan IMF kala itu sebagai lembaga Bretton Woods, dengan klan Rothschild dibelakangnya. (baca disini)
“Kalo mau dapat dana pinjaman untuk mengatasi krisis moneter, ya harus mau menandatangani letter of intent,” begitu kurleb-nya. Salah satunya yang terkait dengan peran bank sentral selain kebijakan keuangan lainnya.
Maka sebagai perwujudan letter of intent tersebut, pada tahun 1999, Bank Indonesia resmi dilepas dari Republik Indonesia. Gubernur BI bukan lagi bagian kabinet bentukan presiden, dan tidak lagi dibiayai dari APBN. Aliasnya ia tidak lagi akuntabel terhadap seluruh rakyat Indonesia.
Lantas BI itu sekarang punya siapa?
Ini yang masih disembunyikan status-nya berdasarkan UU No.23/1999, tentang Bank Indonesia. Jika milik negara, seharusnya bisa berupa BUMN, atau pembiayaan operasionalnya masuk APBN sehingga akuntabel terhadap pemerintahan RI.
Nyatanya kan nggak.
Satu yang pasti.
Berdasarkan UU No.7 tahun 2011 tentang mata uang, berlaku ‘kriminalisasi’ atas pemakaian mata uang lain sebagai alat tukar di Indonesia, dengan pengecualian atas mata uang tertentu. Apalagi valas yang dipakai sebagai alat pembiayaan internasional selain dollar dalam hal ini.
Dari pernyataan tersebut, kita bisa tarik kesimpulan bersama, siapa pemilik Bank Indonesia sesungguhnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments