Yogya Darurat Kampret


514

Dulu, apa yang terbesit dibenak kita saat mendengar kata ‘Yogya’? Segudang cerita nostalgia ada disana, dari mulai keramah-tamahan warganya, sampai makanan gudeg-nya. Ada rasa kangen, manakala kita mendengar kata itu. Serasa ingin balik lagi dan lagi.

Wajar kalo akhirnya ada lagu Yogyakarta yang sukses diusung oleh grup musik KLA Project. Karena memang Yogya demikian adanya, bukan sebatas kota, tapi ada segudang asa disana.

Namun seiring berjalannya waktu, predikat sebagai kota budaya-pun kini secara perlahan menemui ajalnya. Yogyakarta sudah masuk dalam kategori kota intoleran.

Predikat yang diberikan oleh Wahid Institute (kini Wahid Foundation) menempatkan kota Yogyakarta sebagai kota intoleran peringkat 2 di tahun 2014, dengan 21 kasus intoleransi serta pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun itu.

Tahun 2015, peringkatnya masih bertengger di posisi ke-4, dengan 10 kasus yang terjadi sepanjang tahun itu. Bahkan yang lumayan gres, laporan Setara Institute yang dirilis tahun lalu (2017) menempatkan Yogyakarta sebagai satu dari sepuluh kota intoleran di Indonesia, selain DKI Jakarta, Banda Aceh, Bogor, Cilegon, Depok, Banjarmasin, Makassar, Padang dan Mataram.

Capaian yang ‘warbiyasah’…

Bagaimana ini bisa terjadi?

Karena derasnya arus infiltrasi gerakan kelompok radikal ke mesjid-mesjid dan juga institusi-institusi pendidikan yang ada disana, semisal kampus dan sekolah. Aliasnya gerakan tarbiyah (pendidikan) adalah entry point-nya menurut suatu sumber. Dan kita tentu tahu, siapa dibelakangnya.

Militansi yang diusung oleh kelompok ini bukan main-main. Apa cirinya? Mereka kerap mengusung jargon “menegakkan syariat” sebagai sintesis atas permasalahan yang ada di kota Yogya. Selain itu mereka kerap menerapkan Islam secara leterlek dan berbau kearab-araban. Semua anggota musti pakai istilah Arab dalam konteks komunikasinya.

Seiring dengan masifnya gerakan tersebut di lapangan, akhirnya terbentuklah jaringan sosial yang menghubungkan simpul-simpul dari sekolah, kampus, hingga mesjid. Social network ini mutlak diperlukan untuk memobilisasi massa, selain untuk mencari dana dan menyebar propaganda.

Walhasil, terbentuklah jaringan kampret yang masif di Yogyakarta. Hal ini diperburuk oleh peran negara, dalam hal ini Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta, yang cenderung melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi intoleran yang diusung oleh para kampret.

“Ada aksi intoleran kok nggak ditindak serius, gimana akhirnya mereka nggak ngelunjak,” demikian kilah sebuah sumber.

Kasus terakhir, dimana mayat seorang (yang bernama Albertus Selamet Sugihardi yang beragama Katolik), yang ditolak untuk dimakamkan dengan prosesi doa, karena dianggap bisa memicu konflik. Bukan itu saja, nisan-nya yang menggunakan simbol salib, dipaksa oleh warga untuk digergaji.

“Tidak boleh ada doa di pemakaman dan tidak boleh ada simbol salib,” demikian ungkap ketua RT Desa Purbayan, Kota Gede, Yogyakarta (18/12). Akibatnya, salib yang telah disiapkan, terpaksa dipotong dan sisanya ditancapkan ke tanah dengan posisi sangat rendah.

Cukup?

Bahkan malamnya, saat keluarga yang berduka hendak melakukan doa arwah semacam tahlilan, wargapun menolaknya kembali. Terpaksa acara doa dialihkan ke gereja Santo Paulus Pringgolayan, Bantul, untuk mengantisipasi aksi yang tidak diinginkan. Sungguh miris kejadiannya.

Kasus Selamet mengajarkan kita satu hal. Di pilkada DKI saja, para kampret berani menggunakan dalil agama untuk sekedar mengintimidasi kaum se-iman untuk tidak memilih pemimpin ‘kafir’, nah apalagi sosok Selamet yang notabene-nya non-muslim alias auto-kafir?

Membayangkan kasus Selamet, membayangkan peta Indonesia ke depannya, seandainya para kampret berhasil memenangkan paslon yang mereka usung, kini. Seandainya mereka menang, bukan nggak mungkin aksi-aksi gila lainnya akan masif digelar.

Kalo kini hanya sebatas ocak-acik makam non-muslim, apa nggak mungkin aksi berikutnya saat mereka jumawa akan ‘memberangus’ orang yang tidak sepemikiran dengan mereka? Beda pemikiran, langsung pedang dicabut dan ditebas ke kepala. “Sling…klotok,klotok,klotok…”

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!