Upaya Menerjang Tembok
Oleh: Ndaru Anugerah
Di akhir masa jabatannya, pak Beye menandatangani Peraturan Pemerintah No.77 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Inti dari PP tersebut adalah pembelian saham Freeport Indonesia (FI) oleh pemerintah bisa dimulai pada Oktober 2015.
Artinya, si uncle dikasih mandat untuk ambil alih FI. Nggak aneh jika kemudian si uncle punya rencana matang buat akuisisi FI secara bertahap. (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150526141301-85-55754/jokowi-mau-kuasai-freeport-as-diyakini-takkan-tinggal-diam)
Rencananya, FI akan diubah statusnya dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai imbalan atas perpanjangan izin ekspor. Dan yang paling mendasar adalah soal kepemilikan saham dimana FI wajib menjual 51% sahamnya ke Republik Wakanda. Padahal sebelumnya saham milik Republik Wakanda hanya 9,36% saja. (http://www.thejakartapost.com/news/2017/02/24/jokowi-warns-freeport.html)
Lantas apa beda KK dan IUPK? Sangat hakiki perbedaannya.
Kalo KK statusnya perjanjian adalah kontrak, sedangkan IUPK status perjanjiannya adalah izin. Dengan demikian, dalam kontrak posisi kedua pihak adalah ‘sejajar’, sementara dalam perijinan posisi salah satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya. Kalo dikasih ijin ya syukur, kalo nggak dikasih ijin ya jangan marah. (https://finance.detik.com/energi/d-3428820/kontrak-karya-dan-iupk-jadi-akar-masalah-freeport-apa-bedanya)
Belum lagi soal pajak. Kalo dalam KK, status bayar pajak sudah ditentukan dari awal ikhwal nominalnya. Nah kalo IUPK statusnya prevailing alias mengikuti aturan perpajakan yang berlaku saat itu alias fluktuatif. Iya kalo turun, nah kalo naik apa nggak pusing bayar pajaknya?
Masalahnya, untuk ambil alih FI nggak semudah membalikkan telapak tangan. Pertama karena Freeport merupakan salah satu perusahaan tambang milik AS yang mengelola tambang terbesar di dunia. Dan kedua FI merupakan simbol ‘pengaruh’ imperialisme ekonomi AS di Republik Wakanda. (https://en.tempo.co/read/news/2017/02/22/056848966/Freeports-Gold-Mine-in-Papua-Largest-in-the-World)
Kalo anda tahu siapa pihak ‘sesungguhnya’ yang menguasai Freeport (dari mulai James R. Moffett hingga Stephen Siegele), maka anda akan tahu bahwa Freeport adalah usaha milik sang Ndoro besar. Dengan kata lain, mengusik FI sama saja mengusik bisnis sang Ndoro.
Pasalnya, menurut Reuters, si uncle nggak mempertimbangkan konteks geopolitik dalam menelorkan kebijakan strategis. Yang ada di kepalanya hanya pertimbangan ekonomi semata. “Yang penting bawa keuntungan buat negara, itu bakal saya kerjakan. Titik.” (https://www.reuters.com/article/us-pence-asia-indonesia-idUSKBN17F0K1)
Nggak salah memang. Namun nyatanya, sebuah kebijakan strategis yang dibuat suatu negara, wajib melihat konteks geopolitik bukan?
Belum lagi pada saat awal-awal kepemimpinannya, si uncle udah ngajak duel raksasa Big Tech Google, buat bayar denda senilai kurleb 1 trilyun rupiah. Apakah si uncle paham atas konsekuensi yang bakal terjadi karena mengusik kenyamanan bisnis sang Ndoro besar? (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3353032/jika-google-tak-bayar-pajak-tahun-ini-bakal-kena-denda-400)
Maka harus ada peringatan dari sang Ndoro besar, agar si uncle nggak bisa seenak jidat dalam mengeluarkan kebijakan, khususnya yang bisa menabrak kepentingan sang Ndoro di Republik Wakanda.
Jadi hanya peringatan lho ya, bukan upaya kudeta.
Maka disuruhlah Carl Icahn selaku pemilik saham ketiga terbesar di Freeport, untuk ‘menyuruh’ Trump bertindak. Ini nggak sulit untuk dilakukan, mengingat Icahn adalah stafsus presiden Trump. (https://finance.detik.com/energi/d-3427109/freeport-staf-khusus-trump-pemegang-saham-terbesar-kami)
Disusunlah rencana agar si uncle mendapat ‘pelajaran’ yang berharga. Dan pelajaran itu didapat saat gelaran pilkada Jekardah di 2017. Ini dianggap momen yang pas, mengingat si Ahuy adalah ‘anak emas’ si uncle. Kehilangan sosok orang yang ‘disayangi’, tentu akan sangat membekas, bukan?
Siapa eksekutor lapangannya? Nggak lain adalah para laskar yang selama ini dijadikan proxy AS di Indonesia. Penyandang dananya, macam-macam, dari mulai rekanan Trump hingga sang mantan yang hobi ‘berkicau’. Tentu saja semua atas komando sang Ndoro. (https://www.globalresearch.ca/the-threat-to-indonesian-democracy-in-the-new-gilded-age-of-donald-trump/5595002)
Walhasil digelarlah operasi senyap buat menjatuhkan si Ahuy dalam gelaran pilkada Jekardah, dengan menggiring tema besar berjudul blasphemy.
Sesuai skenario, si Ahuy-pun terjungkal dari gelaran pilkada berdasarkan proses quick-count yang dilakukan 3 lembaga survei kredibel di Republik Wakanda, saat pemungutan suara baru saja usai. (https://pilkada.tempo.co/read/867599/ahok-djarot-kalah-pilkada-dki-ini-analisis-pakar-statistik)
Dan hanya berselang beberapa jam setelah hasil quick-count dinyatakan, Wapres AS Mike Pence tiba di Republik Wakanda untuk kunjungan perdananya. (https://www.matamatapolitik.com/pemilihan-dan-alternatif-jakarta-terhadap-kebijakan-kepada-kaum-muslimin/)
Selain bertemu dengan si uncle, Pence juga mengunjungi Masjid Raya yang ada di Jekardah. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39651273)
Apa pesan ‘tersirat’ yang dibawa Pence?
Pertama Pence mau ucapin terima kasihnya atas kerja keras para proxy-nya di Republik Wakanda dalam menyukseskan agenda sang Ndoro besar dalam menjungkal ‘anak emas’ si uncle.
Kedua mau kasih tahu si uncle, untuk tidak coba-coba kembali mengusik ketenangan bisnis sang Ndoro besar di Republik Wakanda, kalo mau posisinya ‘aman’ alias nggak terjungkal dari singgahsananya, layaknya si Ahuy.
Dan pelajaran di tahun 2017 sungguh membekas di hati si uncle. Ini dapat terlihat bagaimana sikap luwesnya dalam ‘melayani’ kepentingan sang Ndoro di Republik Wakanda selepas peristiwa tersebut. (https://www.cnbcindonesia.com/opini/20180919095932-14-33761/jalan-panjang-ri-jadi-tuan-rumah-sidang-imf-wb-2018)
Pragmatis, bukan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments