Bicara soal HTI, tak lengkap rasanya tanpa ngebahas saudara tirinya. Karena kalo kita ingat logo OKE-OCE yang merupakan koin dengan huruf O, HTI disatu sisi, dan PKS di sisi yang lain. So, kali ini saya mau ngebahas PKS yang konon merupakan organisasi trans-nasional Ikhwanul Muslimin.
Ikhwanul Muslimin alias IM, adalah organisasi persaudaraan muslimin yang dibesut oleh Hasan Al Banna di Mesir pada tahun 1928. Bagi keluarga besar IM, yang terpenting adalah terwujud pemerintahan Islam dunia alias daulah islamiyah. Jangan heran kalo mereka bergiat mewujudkan cita-cita itu.
Bagaimana gerakan IM sampai ke Indonesia?
Pada dasawarsa 1970-1980an, pemerintah Orde Baru gencar melakukan operasi terhadap Komando Jihad yang melibatkan Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar. Wajar, karena target gerakan ini menyasar gereja, klub malam dan juga bioskop. Singkat kata, mereka berdua berhasil diciduk.
Sebenarnya apa tujuan mereka? Tak lain demi terbentuknya pemerintahan yang menjalankan syariat Islam. Dan ini jelas berlawanan dengan pakem pemerintah Orde Baru saat itu.
Namun, momen terciduknya mereka bukan berarti gerakan perlawanan mereka terhenti. Seiring di tetapkannya Pancasila sebagai azas tunggal pada UU Parpol dan Ormas, ekskalasi malah makin meningkat. Puncaknya adalah pemboman BCA Gajahmada pada Oktober 1984 dan juga Candi Borobudur pada 21 Januari 1985.
Sadar bahwa watak rejim Orba yang represif, maka gerakan perlawanan bernafas Islam harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi kalo tetap mau eksis. Solusinya? Untuk memecah kebuntuaan, muncullah gerakan tarbiyah alias gerakan dakwah di lingkungan kampus.
Jadi mereka tidak bicara politik secara vulgar melainkan melalui diskusi-diskusi dalam kelompok kecil. Dalam kelompok sel tersebut, disisipkanlah ideologi politik Islam.
Nah para pelopor gerakan tarbiyah adalah lulusan universitas-universitas di Timur Tengah, seperti: Salim Segaf Aljufri, Hilmi Aminuddin dan Abdullah Said Baharmus, yang belakangan dikenal sebagai penggagas PKS.
Untuk memperkuat basis gerakan, gerakan tarbiyah dipaksa sinkron dengan poros IM. Walhasil, sebagai kepanjangan tangan IM, proses islamisasi-pun akan dilakukan dengan 5 tahap. Pembentukkan (ta’sisi), Pondasi (tandzimi), Sosialisasi (sya’bi), Penetrasi (muasasi) dan Penguasaan (dauly).
Pada tahap pertama (ta’sisi) mereka membentuk gerakan dakwah dalam kelompok kecil (mihwar). Tahap ini sudah mereka dilalui. Selanjutnya, pembentukkan pondasi, dimana mereka mulai menyisir kader-kader tarbiyah yang potensial untuk membentuk pondasi organisasi yang kokoh. Tahap inipun juga sudah mereka lalui.
Tahap ketiga adalah sosialisasi, dimana mereka membentuk organisasi yang seolah-olah terbuka, namun dikaburkan motif gerakannya. Tahu bimbel Nurul Fikri? Nah itulah salah satu fase sosialisasi mereka. Dengan memberikan bimbingan buat calon mahasiswa untuk meraih PTN favorit, sesungguhya mereka sedang mencari kader potensial di dalamnya.
Diharapkan kader yang berhasil mereka ‘bimbing’, saat diterima di PTN favorit akan otomatis menjadi sel yang kelak akan mengambil alih kepemimpinan khususnya di kampus-kampus negeri ternama.
Saat sudah dirasa kuat, mereka melancarkan aksi ke tahap berikutnya, yaitu penetrasi alias muasasi. Di fase ini, kader-kader tarbiyah mulai terlibat dalam pemilihan parlemen mahasiswa dan secara sistematis mulai mengambil panggung kampus dari skup jurusan hingga universitas.
Pada Maret 1998, gerakan tarbiyah mulai berkonsolidasi sebagai respon atas kondisi politik saat itu, dengan membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia alias KAMMI. Kelak KAMMI lah yang mendorong terbentuknya Partai Keadilan sebagai kendaraan politik menuju terbentuknya daulah islamiyah.
Jadi jangan heran bila organisasi kemahasiswaan terutama kampus-kampus elit bergerak sesuai ‘pesanan’, yah karena mereka sesungguhnya adalah kepanjangan tangan PKS.
Jangan heran pula kalo PKS selalu mengidolakan sosok Erdogan, karena dia adalah pemimpin yang dianggap karismatik serta disokong penuh oleh gerakan IM di Turki. Sama saat Mesir dipegang oleh Mohammed Morsi, yang juga disokong oleh IM. Cuma, sial bagi Morsi karena harus digilas oleh rejim Abdul Fattah As-Sisi.
Perjalanan PKS menuju tahap terakhir bagi organisasi mereka yaitu penguasaan (dauly) sedang dalam proses. Dan bagi mereka, pantang berhenti sebelum daulah islamiyah terbentuk. Apes-nya pakde sudah mengendus gerakan trans-nasional ini. Sehingga, makin terjal jalan meraih cita-cita mereka.
Bagi PKS, rejim Jokowi bukan saja harus diganti sesuai gerakan tagar mereka, tapi juga harus dihabisi. Kok bisa? Mereka secara pragmatis akan berpikir, “Saudara tiri ane aja udah sukses dilibas sama pakde. Apa mungkin ane bakalan dibiarin hidup bebas?”
Maka meradanglah pasukan siber kampret binaan mereka untuk serta merta menyerang Jokowi. Libas atau terlibas, itu pertanyaannya. Dan ini akan menjadi sajian menarik diperhelatan pilpres 2019 nanti. Saran saya, banyakin cemilan. Karena ibarat sinetron Tersanjung, striping-nya bakal berjilid-jilid, bray…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments