Tentang Literasi


510

Oleh: Ndaru Anugerah

Literasi sedang ramai diperbincangkan oleh khalayak umum. Dikatakan bahwa literasi Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan negara lainnya.

Sebenarnya: apa relevansi fakta tersebut dengan konteks kehidupan kita?

Mari kita membahasnya.

Literasi secara definitif adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses baik membaca maupun menulis.

Jadi tahapan literasi adalah, orang bukan saja membaca tapi diharapkan paham terhadap materi yang disajikan dalam tulisan tersebut. Setelah paham, maka dia akan mengolah informasi tersebut apakah membawa manfaat atau tidak. Setidaknya bagi dirinya sendiri.

Tahap tertinggi dari literasi adalah kemampuan menulis.

Kok bisa?

Karena dalam bahasa, membaca adalah kemampuan reseptif yang sifatnya pasif. Sementara menulis adalah kemampuan produktif yang bersifat aktif.

Nggak mungkin seseorang ujug-ujug bisa menulis tanpa adanya pengetahuan dasar yang dimilikinya, minimal kosakata. Dan kosakata tersebut hanya bisa yang didapatnya dari kegiatan membaca.

Berdasarkan definisi tersebut, maka berapa sebenarnya kemampuan literasi siswa Indonesia?

Merujuk pada hasil yang dirilis oleh OECD lewat program PISA-nya, maka Indonesia memiliki peringkat PISA terbaru di tahun 2018 yang lalu, dengan level yang cukup menguatirkan. Peringkatnya hanya mampu berada di posisi 74 dari 79 negara yang disurvei.

Dalam aspek literasi, kemampuan yang didapat oleh siswa Indonesia, hanya memiliki skor 371. Padahal skor rata-rata anggotanya adalah 487. Artinya, kemampuan literasi siswa Indonesia masih dibawah rata-rata kemampuan literasi masyarakat dunia.

Hal ini ditegaskan kembali oleh Yuri Belfali, selaku Head of Early Childhood and Schools OECD, yang mengatakan bahwa, “Kemampuan baca siswa Indonesia berada dalam kelompok kurang, bersama dengan negara-negara seperti Saudi Arabia, Maroko, Kosovo, Republik Dominika, Kazakhstan dan Filipina.” (3/12)

Dengan hasil ini, apa yang bisa disimpulkan?

Pertama, karena ini merupakan program assessment yang digelar oleh OECD, maka bisa dipastikan ada yang salah dalam proses pembelajaran yang telah berlangsung selama ini.

Apa itu?

Bisa jadi materi yang disampaikan saat pembelajaran sudah jadul alias nggak kekinian.

Bisa juga karena metode pembelajaran yang digunakan bersifat teacher-centered alias guru cuap-cuap mlulu di depan kelas, dan siswa hanya bisa bengong dengerin ocehannya.

Dan hal tersebut dapat memicu kebosanan tingkat dewa dalam diri siswa. Kalo sudah bete maksimal, mungkinkah materi yang diajarkan oleh guru akan nyantol ke otak para murid?

Hal lain yang mungkin terjadi, karena selama ini para guru kurang bisa merangsang kemampuan bernalar siswa yang distimulus lewat kemampuan literasinya. Dan ini dapat terlihat dari soal guru yang diberikan saat ulangan.

Pertanyaan yang diberikan pasti seputar: siapa, dimana atau kapan saja, yang jawabannya gampang banget ditemukan di bacaan tersebut.

Kalopun ada pertanyaan yang sifatnya analitis (semisal pertanyaan yang dimulai dengan mengapa atau bagaimana) jumlahnya amat langka.

Berdasarkan laporan PISA tersebut, maka perlu evaluasi proses pembelajaran yang diharapkan mampu mendongkrak skor assessment di tiga tahun berikutnya.

Dan yang kedua, merujuk pada data tersebut bisa dikatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia belum punya skill literasi yang cukup mumpuni. Miris, mengingat literasi adalah life-skill yang sangat dibutuhkan di abad 21.

Konsekuensinya berdampak luas.

Misalnya kalo dapat berita yang sedikit ‘spektakuler’ saja di medsos, asal ada instruksi viralkan dari tokoh agama, maka tanpa pikir panjang langsung disebar. Padahal beritanya biasanya hoax. Jadi kusut masalahnya, rugi buat diri sendiri juga rugi bagi orang lain.

Jangan heran pula berita bohong menemukan ladangnya di negeri ber-flower ini, gegara literasi yang minim tadi.

Apa cuma itu?

Tentu tidak Rudolfo…

Tahu yang namanya penipuan di dunia maya alias cybercrime yang belakangan makin banyak? Masalahnya apalagi kalo nggak dipicu karena minimnya literasi digital.

Di dumay ngaku-ngaku lulusan Harvard berprofesi manager, eh tahunya hanya tukang kredit panci. Parahnya, orang yang percaya pada hal yang sifatnya maya, nggak sedikit.

Karena apa? Literasi yang harusnya mampu mengasah kemampuan bernalarnya, justru nggak bisa diandalkan. Yang ada jadi korban penipuan deh.

Bicara jujur, kemampuan literasi sebenarnya pintu masuk untuk memasuki abad 21. Tanpa kemampuan literasi yang baik, muskil seseorang akan bisa survive di era disrupsi ini.

Kalo sudah begini pertanyaannya: akankah kita jadi pemenang apa malah jadi pecundang dalam kompetisi digital yang serba butuh pemikiran kritis ini?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!