Suksesnya Revolusi Warna


517

Susksesnya Revolusi Warna

Oleh: Ndaru Anugerah

Pemilu parlemen di Kyrgyzstan telah digelar pada 4 Oktober silam dan menetapkan Sooronbay Jeenbekov selaku presiden terpilih.

Namun itu nggak berlangsung lama karena hasil pemilu digugat oleh oposisi yang menuding bahwa hasilnya telah dimanipulasi. Dan ujung-ujungnya Jeenbekov didesak untuk mengundurkan diri oleh kelompok oposisi.

Setelah tekanan massa berlangsung beberapa hari dan kubu oposisi berhasil menduduki gedung-gedung pemerintahan, maka Jeenbekov ambil sikap.

“Saya tidak ingin ada pertumpahan darah. Karenanya saya memilih untuk mundur dari jabatan saya,” ungkap Presiden Sooronbay Jeenbekov (15/10). (https://tass.com/world/1212435)

Selanjutnya, PM Sadyr Zhaparov diangkat jadi ‘penggantinya’ dari kubu oposisi.

Sebenarnya ada apa di Kyrgyzstan, sehingga kelompok oposisi menggugat hasil pemilu?

Anda masih ingat, apa yang biasa terjadi saat pemilu berlangsung dan berujung pada pergantian rejim? Tepat sekali. Revolusi warna. (baca disini)

Dan saat ini, moment tersebut berlangsung di Kyrgyzstan. (https://sputniknews.com/asia/202010051080676891-protesters-broke-into-area-of-parliament-and-presidential-administration-in-kyrgyzstan/)

Apa yang terjadi saat ini di Kyrgyzstan, bukanlah kejadian lepas. Sebelumnya ada kejadian serupa di Belarusia. (https://www.npr.org/2020/08/16/903036245/one-week-after-election-belarus-sees-giant-protests-against-europe-s-last-dictat)

Dan ada satu lagi di Nagorno-Karabakh. Namun di NK, sifatnya provokasi dan bukan memakai pola menggugat hasil pemilu seperti yang terjadi di Belarusia dan Kyrgyzstan.

Siapa yang hendak diprovokasi? Tentu saja Rusia.

Siapa yang melakukan provokasi? AS dengan memakai tangan Azerbaijan selain memprovokasi Armenia.

Sialnya, Rusia nggak terpancing dengan provokasi murahan yang digelar AS pakai tangan ‘orang’ lain. (baca disini)

Lantas kenapa Kyrgyzstan perlu digelar revolusi warna?

Kyrgyzstan merupakan bekas wilayah Soviet yang saat ini merupakan anggota CSTO (Collective Security Treaty Organization) alias aliansi militer antar negara-negara bekas pecahan Soviet yang berpusat di Rusia. (https://en.m.wikipedia.org/wiki/Collective_Security_Treaty_Organization)

Ngapain juga dibentuk CSTO? Dalam rangka mengimbangi kekuatan NATO di wilayah bekas pecahan Soviet tersebut. (https://russiancouncil.ru/en/analytics-and-comments/analytics/how-to-stop-nato/)

Jadi, dalam kaca mata AS, CSTO jelas ancaman. Dan namanya ancaman harus dieliminasi sedini mungkin sebelum membesar, bukan? Nggak aneh kalo AS akan menggunakan segenap sumberdayanya untuk mewujudkan rencana tersebut pada wilayah bekas pecahan Soviet.

Namun, kalo untuk mengadakan konfrontasi militer secara langsung, bayarannya terlalu mahal. Udah gitu, nggak ada jaminan bakal berhasil juga.

Satu-satunya cara yang ‘relatif murah’ namun punya daya rusak besar adalah dengan menggunakan kekuatan proxy-nya yang ada di bekas wilayah Soviet tersebut.

Dan ini yang sedang terjadi di Kyrgyzstan, dimana kubu oposisi (baca: LSM binaan Barat) telah mendapatkan sokongan dana jumbo untuk menggelar revolusi warna guna menumbangkan rejim Jeenbekov yang pro-Kremlin.

Adalah dubes Inggris untuk Kyrgyzstan (Charles Garrett) yang kemudian ditunjuk sebagai eksekutor-nya oleh donatur tetap revolusi warna, George Soros. (https://balkanvest.online/chestnut-garrett/)

Apakah langkah ini efektif? Sangat.

Demi menghindari perang saudara antara kubu petahana dan oposisi, makanya Presiden Jeenbekov memilih untuk mundur dari jabatannya. Padahal, bisa-bisa saja Jeenbekov pakai kekuatan militer untuk ‘menghajar’ para demonstran, tapi toh itu tidak dilakukan. “Taruhannya terlalu besar.”

Kyrgyzstan merupakan daerah yang oleh Rusia disebut sebagai Sphere of Influence alias lingkup pengaruh yang bisa menghubungkan China, Iran dan Rusia selain kaya SDA. (https://www.axios.com/russia-unrest-kyrgyzstan-belarus-nagorno-karabakh-69f87a67-7419-4295-a7bd-d2bd4648717a.html)

Nggak heran bila AS punya kepentingan untuk mengerahkan jaringan intelijennya guna memastikan situasi di sana ‘aman terkendali’.

Kalo nggak, ngapain juga AS bangun pusat pelatihan militer di kota Osh (Kyrgyzstan) senilai hampir USD 40 juta di tahun 2010 silam? (https://jamestown.org/program/us-assists-kyrgyzstan-in-constructing-anti-terrorist-center-in-batken/)

Dan kehilangan pengaruh pada kawasan tersebut, jelas merupakan pukulan tersendiri bagi Rusia karena dapat membawa implikasi jangka panjang.

Maksudnya?

Bayangkan jika rejim pengganti Jeenbekov nanti adalah rejim pengekspor teroris regional. Maka akan dengan mudahnya para jihadis tersebut dikerahkan ke kawasan lembah Fergana yang kerap bergejolak dengan basis agama.

Atau misalnya, para teroris yang ada di kawasan Uighur di China, kemudian ditampung di wilayah Kyrgyzstan sebagai daerah penyangga.

Apa nggak kacau skenario-nya buat keamanan regional Rusia ke depannya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!