Sugar Daddy


504

Saat berjalan-jalan bersama keluarga pada akhir pekan lalu di sebuah shopping center yang terletak di bilangan Jakarta Selatan, saya melihat seorang lelaki paruh baya, yang tengah berjalan dengan seorang wanita muda. Saya awalnya berpikir, mungkin si wanita muda tersebut adalah anaknya.

“Bukan pa, itu bukan anaknya. Itu mah sugar daddy,” demikian ungkap istriku. “Coba perhatikan caranya memperlakukan si ‘anak’? Mana ada bapak yang suka mengumbar kemesraan kek cium-cium tangan segala di muka publik?” tambahnya lagi.

Istilah sugar daddy sebenarnya bukan istilah baru dalam ragam kehidupan kita. Kalo dulu dikenal dengan istilah ‘om senang’, ‘hidung belang’, ‘kucing garong’, dan lain sebagainya. Nah sekarang, seiring dengan perkembangan jaman, istilah itu bertransformasi menjadi sugar daddy. Tapi hakikatnya ya sama aja: SELINGKUH.

Mengapa term ‘selingkuh’ bisa terbentuk? Karena tidak adanya karakter dasar pada diri seseorang. Yang pertama ketidak-jujuran dan yang kedua keegoisan.

Pertanyaan selanjutnya, dimana karakter seseorang dapat dibentuk? Keluarga salah satunya. dan yang paling utama adalah di sekolah.

Sebuah karakter dapat terbentuk sejatinya melalui proses yang panjang. Jadi tidak instan.

Bermula dari pikiran, perasaan dan perilaku yang diulang-ulang lewat pembiasaan (habit), maka kemudian timbullah yang namanya kepribadian (personality). Nah kepribadian yang mengalami tempaan berupa penguatan (enforcement), seperti preventif dan represif, hasilnya akan membentuk yang namanya karakter.

Jadi, butuh keseriusan untuk membentuk pendidikan karakter yang baik. Dan guru-gurulah yang jadi ujung tombak proses character building di sekolah. Karena guru adalah ujung tombaknya, konsekuensi logisnya, kesejahteraan mereka harus diperhatikan, selain skill yang kudu terus ditingkatkan.

Pemerintahan Jokowi sangat berkepentingan dalam pembentukkan SDM yang handal semisal pendidikan karakter, karena SDM adalah aset bangsa yang utama.

Konsekuensinya, dana APBN pada sektor pendidikan yang lumayan menyedot keuangan negara, terpaksa digelontorkan.Tercatat Rp.444,1 trilyun sudah disediakan. Angka yang fantastik. Diharapkan feed back yang salah satunya berupa pembentukkan karakter, dapat segera terealisasi.

Namun apa hasilnya?

Pendidikan bukannya maju, eh malah mundur ke belakang. Pendidikan karakter yang kerap didengang-dengungkan, masih jauh panggang dari asap. Tolak ukurnya sangat sederhana: budaya nyontek masih merajalela. Semua sibuk mengejar nilai dan prestasi sendiri-sendiri. Akibatnya budaya saling sikut-pun kerap dipertontonkan di muka publik.

Kenapa itu semua bisa terjadi? Ya karena pendidikan karakter-nya nggak jalan alias cuma sebatas jargon.

Guru yang seharusnya digadang-gadang sebagai agent of change, malah sibuk ngitungan tunjangan yang akan diterima tiap bulannya dari pemerintah. Seolah tunjangan itu adalah hak yang harus diterimanya semata. Ramai-ramai pada lupa berjamaah bahwa dengan tunjangan yang wah, seharusnya etos kerja dan kompetensi harus ditingkatkan. Bukan malah buat kredit Avan*a.

Yang terjadi kemudian, para guru malah berpikiran pragmatis. Masalah kerjaan, sebodo amat, yang terpenting adalah dapat duit. Titik. Lupa kodratnya sebagai pendidik.

Bahkan parahnya lagi, banyak guru yang terpapar radikalisme, malah menularkan virus tersebut dikalangan peserta didiknya. Alih-alih memberikan pendidikan karakter, malah pendidikan ala ISIS yang kemudian diterapkan.

Trus, kalo sudah begini, kita bisa apa?

Semoga bisa menjadi kado mawas diri bersama, terutama untuk para pendidik di negeri tercinta. Bahwa masa depan bangsa ini, sepenuhnya ada dipundakmu, wahai guru.

Selamat hari guru…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!