Skandal Kualanamu
Oleh: Ndaru Anugerah
Polda Sumut berhasil menggerebek lokasi layanan rapid test antigen yang ada di Bandara Internasional Kualanamu (27/4). Aksi tersebut dilakukan karena lokasi test Kopit tersebut menggunakan alat rapid test antigen dari proses daur ulang. (https://nasional.kompas.com/read/2021/04/28/13200421/penjelasan-kimia-farma-soal-alat-rapid-test-antigen-bekas-di-bandara?page=all)
Lantas penyedia layanan test Kopit tersebut berafiliasi pada perusahaan apa?
Kimia Farma, yang merupakan salah satu perusahaan farmasi milik negara alias BUMN.
Kasus tersebut bermula karena ada laporan dari masyarakat yang mengeluh karena banyak calon penumpang yang kedapatan positif Kopit dalam kurun waktu kurang lebih satu minggu. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210428132158-12-635885/antigen-bandara-kualanamu-diduga-bekas-pakai-ke-hidung-orang)
Timbul spekulasi. Jangan-jangan ada yang nggak beres terhadap proses test yang dilakukan?
Tanpa berlama-lama, penggerebekan dilakukan.
Hasilnya?
Brush yang telah dipakai, secara prosedural seharusnya dibuang. Ini nggak demikian adanya, karena malah didaur ulang untuk dipakai bagi orang lain yang akan melakukan test serupa.
Ini jelas merugikan orang yang menggunakan layanan rapid test antigen tersebut.
Pertama, mereka sudah bayar harga yang layak tetapi nggak mendapat layanan sesuai dengan uang yang telah mereka keluarkan. Kedua, hasil test-nya tidak representatif karena menggunakan barang bekas. Dan ketiga, mereka sangat rentang tertular virus dari pasien lain yang memang membawa virus.
Alih-alih takut kena Kopit, justru malah sebaliknya karena proses dan hasilnya nggak steril.
Apa nggak fatal?
Lalu, dalam sehari, ada berapa orang yang biasanya melakukan rapid test antigen tersebut?
Bervariasi, tapi secara rata-rata sekitar 100-200 orang, dengan biaya dipatok Rp. 200 ribu sekali test. (https://www.grid.id/read/042674389/untung-18-miliar-dari-penjualan-rapid-antigen-daur-ulang-di-bandara-kualanamu-5-tersangka-dapat-ancaman-pidana-10-tahun-penjara?page=all)
Dengan jumlah orang yang melakukan test sebanyak itu, maka sejak Desember 2020 silam, keuntungan yang didapat dari proses daur ulang alat tersebut mencapai Rp. 1,8 milyar.
Angka yang fantastik.
Lha itu baru satu spot Bandara. Pertanyaannya: apa praktik kecurangan tidak ada di tempat lainnya?
Mengingat margin keuntungan yang didapat, siapa juga yang bisa jamin praktik serupa nggak dicopas ditempat lainnya?
Lebih jauh lagi, dengan temuan ini, apakah mungkin ‘mereka’ yang biasa mendapat cuan besar dari praktik ini, mengharapkan pandemi secepatnya berlalu?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments