Seorang pemuda merekam aksinya secara online melalui kanal facebook miliknya. Dalam aksinya tersebut dia mempertontonkan bagaimana dia membantai orang-orang yang hendak sholat Jumat secara membabi buta di pusat kota Christchurch, New Zealand (15/3).
Tak ayal, baik pria, wanita dan anak-anak menjadi sasaran peluru dari senjata semi otomatis yang digunakannya. Ratatatatttt… Dalam waktu sekejap, 50 orang kemudian dinyatakan meregang nyawa dan 48 lainnya cedera berat pada insiden penembakan di dua mesjid di kota tersebut.
Belakangan pelakunya diketahui 3 orang pria dan 1 orang wanita. Dan sosok pria yang mengabadikan proses pembantaian yang dilakukannya adalah Brenton Tarrant (28 tahun) asal Australia. Dengan pedenya dia mengklaim bahwa dirinya adalah bagian dari gerakan yang dikenal sebagai white supremacy.
Dalam manifestonya yang disebar secara online, BT mengklaim sebagai orang kulit biasa, kelas pekerja, penghasilannya rendah serta memutuskan untuk beraksi demi masa depan ‘rakyat’nya yang kulit putih, sesuai dengan aliran yang dianutnya.
Kalo cerita tentang penembakkan itu berhenti sampai disini, tentu semua media mainstream sudah membahasnya. Tapi saya kok melihat dari sudut pandang yang berbeda, tentunya, atas insiden teror tersebut.
Banyak kejanggalan terjadi disana. Misalnya, kenapa pelaku penembakkan warga Aussie, bukan malah warga NZ. Ngapain juga tidak menggelar insiden teror di Australia saja, kok repot-repot harus pergi ke NZ? Emang di Australia nggak ada mesjid atau komunitas muslim untuk disasar, apa?
Pertanyaan selanjutnya, pada usia 28 tahun, seseorang apa bisa langsung jadi kombatan yang boleh dikatakan rapih cara kerjanya?
Siapa kira-kira bermain? Apa target serangan tersebut?
Saya akan coba menganalisanya…
Keanehan pertama adalah, kenapa pelakunya justru bukan warga NZ melainkan orang Australia? Aksi ini sebenarnya sinyal yang diberikan oleh Sotralia pada laskar fundamentalis binaan negara-negara Barat. Seakan ada pembenaran, bila aksi teror kemudian akan dibalas dengan aksi teror yang lain. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah perintah untuk segera bergerak.
Gak percaya? Coba tilik pernyataan Senator Queensland, Fraser Anning asal Australia:
“Penembakan hari ini di Christchurch menyoroti ketakutan yang berkembang dalam komunitas kita baik di Australia maupun Selandia baru atas meningkatnya keberadaan Muslim,” demikian ungkapnya (15/3).
Satu pesan provokatif yang dia ingin sampaikan, bahwa aksi penembakkan di masjid NZ dipicu oleh adanya imigran muslim. Aliasnya, penembakkan nggak mungkin terjadi kalo tidak ada pemicunya.
Jika 2 kejadian ini ditarik, maka akan ada benang merahnya. Sotralia memberikan sinyal keras kepada para ‘fundamentalis’ untuk segera bergerak. Dan untuk mengaburkan aksi provokasi tersebut, maka dipilihlah tempat di NZ, tempat yang dianggap paling aman dari serangan teror. Kalo digelar di Aussie akan kentara sekali…
Siapa yang hendak disasar, sebenarnya?
Coba cari negara yang paling dekat episentrumnya dengan aksi teror tersebut?
Jawabannya Indonesia. Apalagi di Indonesia kini tengah menggelar pesta demokrasi. Masalahnya adalah, Jokowi merupakan sosok yang sangat tidak dikehendaki oleh minimal koalisi Sotralia dan Mamarika untuk tetap bercokol. Kepentingan bisnis negara-negara tersebut sangat mungkin terganggu dengan adanya presiden yang sulit diatur oleh pihak Barat.
Sialnya, dari hasil survei beberapa lembaga, elektabilitasnya masih tak terkalahkan. Dan ini lampu merah. Masterplan harus dijalankan. Targetnya 1, petahana harus dilengserkan.
Bagaimana skenario yang mungkin dijalankan?
Plan A-nya adalah, dalam waktu dekat akan ada aksi teror dengan skala besar yang bisa menghalangi proses demokratisasi di Indonesia. Pemilu kemungkinan ditunda, ‘sampai suasana kondusif’. Dan kira-kira, siapa yang diuntungkan dengan adanya perpanjangan waktu tersebut?
Plan B-nya, pilpres akan tetap berjalan sesuai jadwal, namun hasil pilpres yang memenangkan petahana dengan margin kemenangan yang tipis, akan mengundang aksi para kampret menggugat hasil pemilu. “Pemilunya curang.” Solusinya, pemilu harus digelar ulang.
Biar lebih dramatis, maka aksi teror oleh ‘kalangan fundamentalis’ dengan skala yang lumayan besar akan dijalankan. Harapannya akan timbul rusuh dimana-mana. Pemerintah dinilai gagal menjaga stabilitas nasional. Untuk menghindari kecurangan pemilu ulang, maka perlu intervensi ‘lembaga internasional’ yang akan menjadi wasit proses demokratisasi tersebut.
Hasil skenario B ini, kita banyak tahu ujungnya, karena lembaga-lembaga internasional tersebut, nggak mungkin juga bergerak karena kepentingan nurani semata, melainkan karena memang ada yang ‘order-an’.
Coba lihat hasil jajak pendapat di Timor Timur pada Agustus 1999, yang memenangkan suara rakyat Timtim pro-kemerdekaan lepas dari pangkuan NKRI. Siapa yang dijadikan wasit mewakili lembaga internasional sekelas PBB? UNAMET. Apa iya, lembaga itu beneran independen atau ada tangan kepentingan Barat di dalamnya?
Pilpres 2019 akan bersisa beberapa hari saja, nggak sampai 1 bulan bahkan. Namun panasnya perhelatan ini sudah mulai mengalami peningkatan. Dan ini akan terus membara jelang hari pencoblosan.
Rapatkan barisan, agar kemenangan pilpres nanti tidak setipis kondom. Kawal prosesnya secara militan, dengan mendatangi dan menyatroni TPS-TPS yang ada hingga perhitungan suara selesai.
Jangan biarkan kecurangan terjadi yang berakibat salah satu skenario di atas bisa dijalankan. Atau kita terpaksa bersiap untuk sebuah kemungkinan terburuk?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments