Sekali Lagi Tentang GSM (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah – 30052025
Pada bagian pertama tulisan kita sudah bahas bagaimana aktivitas bintik matahari yang memberi pengaruh secara signifikan terhadap kondisi cuaca, iklim, atmosfer, suhu air laut hingga aliran Gulf Stream. Ini sudah ada siklusnya sejak berabad-abad yang lalu. (baca disini)
Parahnya, fakta ini nggak pernah digubris samsek oleh saintis iklim, terutama yang bernaung dalam organisasi PBB sekelas IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change).
Bagi IPCC, penyebab perubahan iklim di bumi, disebabkan oleh CO2 dan gas rumah kaca lainnya. Dan itu terus didengungkan oleh mereka sejak 1970an, yang faktanya hanya hasil pemodelan komputer semata. (baca disini dan disini)
Ini kontras dengan masyarakat tradisional seperti suku Inca dan Maya, yang justru menganggap peran sentral matahari bagi kelangsungan hidup manusia, sejak dulu kala.
Bahkan suku Mesir Kuno menganggap matahari sebagai salah satu Dewa mereka (Dewa Ra) karena dianggap penting bagi kehidupan di planet bumi. (https://arce.org/resource/re-sun-king-egyptian-gods/)
Jika masyarakat kuno dengan peradaban maju seperti mereka (dengan kearifan lokal-nya) tahu pentingnya matahari bagi kehidupan mereka, kenapa kita justru menampik pentingnya matahari bagi kehidupan umat manusia?
Sekarang kita lanjutkan pembahasan tentang kondisi bintik matahari saat ini.
Berdasarkan datanya, tahun 2019 adalah tahun yang luar biasa mengingat rendahnya jumlah bintik matahari. Dan ini merupakan persentase tertinggi aktivitas spotless pada matahari, sejak 2008, yakni diangka 77%. (https://www.spaceweather.com/)
Implikasinya adalah melemahnya angin dan medan magnet matahari, sehingga memungkinkan lebih banyak sinar kosmik menembus bumi. Perlu diketahui bersama bahwa intensitas sinar kosmil tersebut mempengaruhi tutupan awan dan juga iklim di bumi. (https://nextgrandminimum.com/2019/10/06/potential-role-of-low-solar-activity-this-winter-as-solar-minimum-deepens-and-the-wide-ranging-impacts-of-increasing-cosmic-rays/)
Berdasarkan kejanggalan ini, beberapa ilmuwan menghubungkan aktivitas gunung berapi dan gempa bumi yang intensitasnya mengalami peningkatan, sebagai imbas dari penetrasi sinar kosmik dari matahari.
Contohnya?
Gunung Shiveluch di Kamchatka, Rusia yang secara teratur mengeluarkan sejumlah besar partikel abu vulkanik ke strafosfer setinggi 70.000 kaki yang sukses menghalangi paparan matahari. (https://earthobservatory.nasa.gov/images/144854/ash-and-snow-at-shiveluch)
Nggak hanya itu, sebab aktivitas letusan gunung berapi atau gempa bumi lainny selama 2019 juga terjadi di banyak negara, seperti Chili, Jepang, Puerto Riko, Filipina, AS dan juga Indonesia. (https://principia-scientific.org/do-cosmic-rays-trigger-earthquakes-volcanic-eruptions/)
Logikanya, jika aktivitas letusan gunung tersebut mengeluarkan abu vulkanik karena adanya pengaruh aktivitas bintik matahari, maka menjadi masuk akal jika suhu permukaan bumi menurun karena cahaya matahari tertutupi oleh abu vulkanik-nya.
Mengapa fakta ini nggak pernah dipikirkan oleh ilmuwan iklim IPCC?
Sebenarnya diskursus tentang dampak penutupan awan terhadap iklim, telah menjadi topik pembahasan di IPCC. Namun fenomena ini tidak pernah dipertimbangkan dalam prediksi iklim mereka.
Setidaknya Prof. Masayuki Hyodo dari Universitas Kobe mengkonfirmasi hal tersebut.
“Ketika sinar kosmik meningkat, maka akan berpengaruh terhahap tutupan awan yang secara nggak langsung mempengaruhi iklim. Penetrasi sinar kosmik dengan sendirinya akan meningkat selama periode letusan bintik matahari yang rendah,” begitu kurleb-nya menurut Prof. Hyodo. (https://www.kobe-u.ac.jp/en/news/article/2019_07_03_01/)
Sekali lagi, ini hanya prediksi.
Namun prediksi ini layak dicermati karena memang ada siklusnya.
Jika prediksi ilmuwan astrfisika ini benar, maka kita akan mengalami serangkaian panjang berupa peristiwa cuaca ekstrem dan perubahan iklim global selama beberapa dekade mendatang hingga mungkin 2055, sebagai imbas dari Grand Solar Minimum yang dimulai sejak 2020 silam.
Jadi, cuaca ekstrem berupa gelombang dingin dan juga aktivitas gunung berapi serta gempa bumi, bakal sering terjadi ke depannya.
Dan ini akan berdampak pada berubahnya pola musim tanam dan dapat memicu kondisi gagal panen. Dengan intensitas hujan yang tinggi, bagaimana mungkin hasil panen bisa diharapkan?
Kenapa kita perlu aware terhadap fenomena ini?
Anda kenal Prof. Valentina Zharkova dari Universitas Northumbria, Inggris?
Beliau adalah astrofisikawan yang paling disegani yang punya spesialisasi pada bidang siklus matahari. (https://scholar.google.co.uk/citations?user=TRXPheAAAAAJ&hl=en)
Apa katanya tentang fenomena ini?
“Siklus Matahari 24 akan lebih lemah daripada Siklus 23, yang berarti kita harus bersiap menghadapi skenario terburuk berupa Super Grand Solar Minimum dengan akurasi mencapai 93-97%,” ungkap Prof. Zharkova pada salah sautu seminar di Oktober 2018 silam. (https://watchers.news/2018/11/11/valentina-zharkova-solar-magnet-field-and-terrestrial-climate-presentation/)
Dengan kata lain, jika fase Grand Solar Minimum ini terjadi, maka akan ada periode panjang aktivitas matahari yang berkurang, yang berujung pada masa pendinginan global. (https://nextgrandminimum.com/2018/11/22/professor-valentina-zharkova-breaks-her-silence-and-confirms-super-grand-solar-minimum/)
Ini yang ngomong pakar di bidangnya yang bukan pakar kaleng-kaleng, lho yah.
Benar atau nggak-nya, itu bukan masalah utamanya, karena point terpentingnya cuaca dan iklim yang kini berubah dapat terjadi karena adanya pengaruh dari aktivitas matahari dan bukan hasil simulasi komputer ala IPCC.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)