Oleh: Ndaru Anugerah
Tahu permainan bilyar? Dulu, tepatnya sebelum abad ke-19, bola bilyar terbuat dari bahan dasar gading gajah, karena sifat berat yang harus dimilikinya. Maklum, dulu bilyar adalah olahraga kegemaran para orang-orang tajir melintir.
Akibatnya, demi mendapatkan gading gajah yang kelak akan dijadikan bola bilyar, orang rela berburu gajah demi mendapatkan imbalan yang setimpal. Singkat kata, terjadilah pembantaian besar-besaran terhadap gajah, dengan latar belakang motif ekonomi tersebut.
Bila perburuan besar-besaran tersebut terus dibiarkan, bukan nggak mungkin populasi gajah akan punah.
Hingga akhirnya, seorang kaya bernama Michael Phelan cukup concern tentang masalah ini, kemudian membuat sayembara bernilai USD 10 ribu. “Hadiah akan diberikan kepada siapapun yang mampu menemukan bahan baku pengganti gading gajah sebagai bahan pembuat bola bilyar,” demikian isi sayembaranya.
Terpikat dengan hadiah yang lumayan gede nilainya saat itu, John Wesly Hyatt, seorang ilmuwan asal New York, berhasil menjawab tantangan Phelan. Hyatt berhasil menciptakan polimer sintetis pertama di dunia pada tahun 1879. Ini cikal bakal penemuan plastik di dunia.
Penemuan plastik merupakan langkah revolusioner di dunia industri, karena produksi barang-barang kebutuhan manusia tidak melulu tergantung pada sumber daya alam yang sifatnya terbatas, semisal gading gajah.
Selain itu, penggunaan plastik memungkinkan alat dan perkakas yang awalnya hanya dimonopoli oleh kalangan berada, menjadi barang yang bisa dimiliki oleh kalangan menengah dan juga kaum misqueen.
Sejak saat itu, plastik menyumbang kontribusi besar bagi kehidupan manusia.
Merujuk pada laporan Wood Mackenzie saja, industri bakal pontan-panting tanpa hadirnya plastik. Contoh sederhana pada industri otomotif. Dengan penggunaan plastik, maka terjadi efisiensi penggunaan bahan bakar saat berkendara, karena bobotnya yang ringan. Padahal bobot plastik hanya 15% dari berat total kendaraan.
Pada industri medis juga nggak kalah pentingnya. Plastik banyak ditemukan disana, mulai dari tabung jarum suntik, komponen kaki buatan alias tungkai prostetik hingga kursi roda.
Dengan kata lain, keberadaan plastik sangat memudahkan hidup manusia.
Namun, seiring berjalannya waktu, plastik mulai menimbulkan masalah.
Pertama dari segi kuantitatif. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Our World in Data, di tahun 1950, produksi plastik di seluruh dunia hanya 2 juta ton pertahun.
Namun, World Economic Forum (WEF) memprediksi bahwa di tahun 2050 nanti, total produksi dunia mencapai 1,124 juta ton alias 562 kali lipatnya dalam kurun waktu 100 tahun.
Artinya, tingkat produksi plastik menjadi tidak terkendali karena luar biasa banyaknya.
Kedua, dampak pencemaran dari penggunaan plastik bagi kesehatan makhluk hidup.
Pernah dengar istilah BPA alias Bisphenol A yang gampang ditemui pada produk botol minuman berbahan plastik?
Bisphenol A sendiri adalah bahan kimia yang dipakai dalam membuat botol plastik agar botol tersebut menjadi tidak mudah rusak saat terjatuh selain tampilan botol yang bisa tampak lebih jernih.
Masalahnya, saat terkena panas atau sengaja dipanaskan (misalnya dicuci dengan menggunakan air panas), bahan BPA tersebut akan memuai dan luruhannya beresiko kesehatan terhadap tubuh manusia. Misalnya? Mengurangi jumlah sperma yang dihasilkan hingga bahaya kanker.
Jangan heran, kini botol-botol plastik selalu mencantumkan label BPA-free pada setiap produknya.
Apa cuma manusia yang terdampak? Tentu tidak Rudolfo…
Pada binatang, seperti hewan-hewan laut, juga nggak luput dari jerat plastik. Laporan sebuah riset menyatakan bahwa pada tahun 2014, dari setiap tiga ekor ikan laut, ada satu yang ditemukan sampah plastik didalam perutnya. Bahkan dalam perut ikan paus yang terdampar mati diperairan Indonesia, begitu dibuka perutnya, isinya plastik.
Laporan yang dirilis National Geographic lebih mengerikan, bahwa teror plastik sudah sampai di kedalaman 10.940 meter di Palung Mariana, sebagai palung terdalam di kolong jagat.
Dengan kata lain, keberadaan limbah plastik dapat membahayakan kehidupan satwa laut.
Kebayang kalo kita mengkonsumsi ikan laut yang ‘hobi’ memakan plastik di lautan?
Mengacu pada dua hal dari efek yang bisa ditimbulkan oleh plastik itu saja, mestinya kita bisa waspada. Bahwa masalah plastik harus bisa ditanggulangi. Segera!
Caranya?
Bisa dilakukan 3 hal: pertama mengurangi penggunaan plastik, kedua tetap menggunakan plastik, namun plastiknya bisa didaur ulang, atau ketiga dengan tidak menggunakan plastik sama sekali.
Kalo untuk langkah yang ketiga, saya pikir terlalu ekstrim. We cannot live without plastic, anyhow. “Kecuali anda tinggal di republik Wakanda.”
Sedangkan untuk langkah kedua, butuh effort dari pemerintah dalam implementasinya. Dan memang masalah daur ulang (recycle) plastik, sangat cocok untuk kondisi Indonesia saat ini. Namun sayangnya, tingkat daur ulang plastik di negeri +62 ini masih sangat kurang.
Kalo di AS sana angkanya sudah mencapai 34% dari total sampah plastiknya. Nah di Jerman malah lebih progress, karena telah menyentuh angka 66%.
Parahnya, sudah tingkat daur ulangnya minim, eh yang ada para pejabatnya malah mengimpor sampah plastik dari luar negeri dengan total ratusan ton pertahunnya. Gila, kan?
“Yang paling mungkin kita lakukan adalah mereduksi penggunaan barang berbahan plastik yang bisa menjadi sampah.” Dan itupun perlu dukungan pemerintah juga. Misalnya kalo kita berbelanja wajib pakai kantong belanjaan sendiri. Bisa juga penggunaan tumbler saat acara kongkow dilakukan.
Kalo perlu harga tumbler disubsidi sehingga harganya jadi terjangkau dan memaksa orang untuk mereduksi penggunaan botol plastik.
Efektif-kah?
Ini pertanyaan retorik. Bukankah langkah besar selalu berawal dari langkah kecil?
Masalahnya, sudahkah kita memulainya?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments