Rupiah belakangan ini terus tertekan oleh dollar AS. Angkanya sempat tembus 15ribu per dollar. Bahkan ada yang coba mengakaitkan kondisi saat ini dengan krismon yang terjadi pada tahun 1998 yang menghantar tumbangnya rezim orba.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Sebelum saya ulas lebih lanjut tentang skenario yang sedang terjadi, biar lebih fair saya akan ulas krisis rupiah tahun ini, yang sangat beda karakteristiknya dengan kondisi krismon tahun 1998.
Di tahun 1998, nilai dollar melonjak dari 3000an di tahun 1997 menjadi 11.000an pada tahun 1998 atau naik sekitar 267%-an. Nah sekarang kenaikan dollar dari 13500an di tahun 2017 menjadi 14.800an di tahun 2018 atau naik sekitar 10%-an.
Di tahun 1998, UMR hanya sekitar 200ribu-an, nah sekarang sekarang jadi 3.6jeti-an. Dengan gaji yang ada sekarang, daya beli juga akan jauh berbeda.
Di tahun 1998, Cadangan Devisa negara kita sekitar 23 milyar dollar AS. Nah sekarang angkanya mencapai 118,3 milyar dollar AS. Dengan demikian, keuangan negara kita tidak lagi tongpes..
Di tahun 1998, angka inflasinya lumayan spektakuler, mencapai 78% dalam setahun. Nah sekarang kan cuma 2-3% per tahun. Dengan angka inflasi yang sangat kecil, bisa dipastikan kenaikan harga sembako di pasaran relatif terkendali, termasuk harga cabe, bawang merah, tempe dan juga telor.
Dan terakhir, di 1998 barang-barang di supermarket habis diborong oleh konsumen yang panik. Nah sekarang mau beli barang apa aja di supermarket sebanyak apapun, apa ada masalah?
Dapat disimpulkan, kondisi 1998 sangat jauh berbeda dengan kondisi jaman NOW. Dulu presidennya eyang Harto, nah sekarang pakde. Apa sama Soeharto sama Jokowi?
Aliasnya, yang mengatakan kondisi saat ini sama dengan kondisi 1998 adalah cacat.
Mereka sebenarnya adalah pelaku perang asimetrik (baca disini) yang tengah digelar saat ini.
Menurut diktumnya, perang ini terbagi atas 3 fase: penggalangan isu, mobilisasi massa dan pendudukan.
Berdasarkan tahapan tersebut, yang pertama harus dilakukan adalah penggalangan opini publik bahwa sekarang negara kita sedang krisis. Naiknya harga dollar, tempe setipis kartu ATM, sampai kasus bu Lia yang hanya bisa belanja bawang plus cabe dengan uang cepe ceng adalah isu yang sama.
Targetnya satu: terbentuk opini publik bahwa benar negara kita tengah dilanda krisis.
Tak cukup sampai disitu, mobilisasi massa-pun kini masif digelar. Dan yang biasa menjadi penggerak aksi di lapangan siapa lagi kalo bukan para proxy. Jadi tahu kan, kenapa gerakan tagar masih terus menggeliat, walaupun terjadi penolakkan dimana-mana? Karena melibatkan fulus yang tidak sedikit.
Diharapkan, dengan adanya mobilisasi massa di lapangan, massa mengambang yang tadinya bengang-bengong gaje, jadi menaruh simpati dan ikutan aksi tagar tersebut. Dan ujungnya bisa ditebak.
Aksi makin membesar. Bakal terjadi penarikan uang dimana-mana dan bank-bank pun dibuat kolaps karena aksi serbu tersebut dan angka inflasi sedikit demi sedikit mulai terkerek.
Harga-harga akan meroket naik dan setelah itu barang-barang kebutuhan pokok mulai langka di pasaran. Dan ujung-ujungnya tercipta kondisi mosi tidak percaya terhadap pemerintah. Koalisi pengusung pemerintah-pun terbelah, dan akhirnya nyawa pemerintahan Jokowi diujung tanduk.
Begitu kurang lebih skenarionya.
Tapi sayangnya itu cuma ‘mimpi basah’ para kampret di siang bolong…
So, jangan gampang percaya dengan orang-orang yang kerjaannya teriak soal harga dollar mlulu. Coba dijawab, memang apa relevansinya dollar sama kehidupan kita? Toh kita nggak nimbun dollar. Toh kita bukan pengusaha yang harus bayar sana-sini pake dollar.
Kecuali harga barang-barang sembako termasuk tempe dibandrol pake dollar. Itu baru masalah…
Benar kan, bu Lia? Lho bu Lia, kok malah beli ikan tongkol…??
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments