Pengawasan Smartphone Saat Pandemi
Oleh: Ndaru Anugerah
Pandemi COVID-19 dapat dijadikan dalih bagi berlakunya pengawasan global oleh AS melalui operatornya teknologi komunikasinya.
Maksudnya gimana?
Apple dan Google beberapa minggu yang lalu mengumumkan tentang niatannya untuk dapat menelusuri kontak bersama (contact tracing) dengan menggunakan teknologi Bluetooth, agar dapat mengingatkan orang-orang terdekat dengan seseorang yang terbukti positif terinfeksi COVID-19.
Proposal tersebut akan dapat merekam kedekatan satu orang dengan orang lainnya dengan fitur Bluetooth. Jika seseorang positif COVID-19, misalnya, maka Google/Apple akan memberikan peringatan kepada orang-orang terdekat yang masuk jangkauan Bluetooth.
Selanjutnya, Google/Apple akan merekomendasikan, apakah orang tersebut harus melakukan isolasi mandiri, melakukan pengujian atau mendorong pengobatan.
Bukan itu saja. Jika seseorang dinyatakan positif Corona, Google/Apple akan memberitahu otoritas kesehatan yang berwenang melalui aplikasi yang mereka sediakan. Aplikasi tersebut dapat memperingatkan kepada siapapun yang telah berinteraksi dengan orang tersebut pada 14 hari terakhir.
Teknik ini digadang-gadang dapat melakukan pelacakan kontak orang yang terpapar Corona, agar penyebaran penyakit dapat dihentikan atau setidaknya diminimalisir. Para operator tersebut akan menggunakan data lokasi atau closeness untuk menghubungi orang-orang yang mungkin terpapar.
Sekilas apa yang ditawarkan Apple dan Google baik adanya, karena menawarkan manfaat kesehatan bagi masyarakat. Namun disisi lain, ini dapat menyebabkan risiko signifikan terhadap privasi seseorang.
Pertanyaannya: apakah aplikasi cegah Corona tersebut dapat melindungi privasi seseorang?
Edward Snowden, seorang mantan NSA sekaligus CIA, memaparkan bahwa sejumlah pengawasan global termasuk PRISM dan XKeyscore telah dikembangkan oleh AS dengan menggandeng mitra teknologinya seperti: Microsoft, Apple dan Google. (baca disini)
Jeff Nesbit dalam pernyataannya kepada Quartz, mengamini apa yang telah diungkapkan Snowden. “Pengawasan tersebut dimasukkan ke dalam aplikasi Google, yang kebanyakan orang tidak menyadarinya saat menggunakannya.”
Tujuannya apalagi selain melacak keberadaan individu yang dianggap sebagai enemy of the state melalui jejaring internet.
Untuk melakukan rencana tersebut, tentu dibutuhkan pendana. Siapa donaturnya? Pendananya nggak lain adalah National Science Foundation dan juga Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA), yang kemudian menggandeng rekanan IT yang telah ditunjuk.
Rencana ini makin dipermudah seiring maraknya penggunaan media sosial oleh para netizen. “CIA telah menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Google dan lainnya untuk sekedar memata-matai orang,” demikian laporan CBS News pada Juli 2011.
Kembali ke laptop…
Pada tataran teknis, Google memang tidak dapat layak dipercaya untuk menjaga dan menghormati hak privasi. Pada September 2019 yang lalu, Google diperintahkan untuk membayar denda sebesar USD 170 juta setelah secara sadar dan illegal mengmbil informasi pribadi anak-anak melalui Youtube.
Sebelumnya di tahun 2014, raksasa Silicon Valley tersebut kedapatan telah berbagi informasi pribadi penggunanya tanpa persetujuan alias ilegal. Akibatnya, Google diganjar denda USD 22,5 juta karena terbukti memata-matai riwayat penelusuran para klien-nya.
Dan tentu saja, CIA menggunakan upaya intelijennya melalui mesin pencari tersebut guna melacak keberadaan orang-orang atau kelompok yang dianggap sebagai ancaman, secara virtual. Bukankah Google memiliki banyak fitur yang dapat dipakai semua orang?
Apakah proposal yang disampaikan Google dan Apple tidak bisa dipakai?
Nggak juga sih. Prinsipnya, sebelum dipakai publik, harus ada aturan yang dapat memastikan bahwa aplikasi pelacakan apapun yang akan diterapkan, harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Keamanan data pribadi, merupakan manifestasi yang harus dijunjung tinggi dalam hal ini.
Kebijakan tersebut minimal harus mencakup beberapa hal, seperti kesukarelaan, transparansi dan bersifat temporal.
Pertama, tidak ada paksaan seseorang untuk menggunakan aplikasi pelacakan yang disediakan oleh Google/Apple. Penggunaan aplikasi tersebut tidak bisa dijadikan prasyarat untuk bisa kembali bekerja atau bisa bersekolah, misalnya.
Kedua, pemerintah juga harus transparan tentang data apapun yang didapat melalui aplikasi yang disediakan, darimana mendapatkannya, serta bagaimana data tersebut akan digunakan. Jangan sampai datanya kelak dipakai untuk tujuan iklan ataupun tujuan ‘supremasi’ hukum.
Dan ketiga, data yang telah berhasil dikumpulkan harus segera dihancurkan begitu tidak lagi digunakan. Dan juga, sistem pelacakan yang dilakukan Google/Apple hanya akan ada selama pandemi berlangsung, alias tidak bisa diperpanjang.
Jika setidaknya ketiga kebijakan tersebut dilakukan dengan benar, kemungkinan untuk melakukan tindakan spying dalam situasi pandemi Corona, minimal dapat diminimalisir.
Kenapa ini perlu dikritisi bersama?
Tahu Henry Kissinger, kan? Di tahun 1992 dia pernah mengeluarkan statement, “Saat skenario (pandemi) berlangsung, tiap orang akan sukarela melepaskan kebebasan dan kesejahteraan pribadi yang dimilikinya kepada pemerintah dunia.”
Bukankah, ini sudah saatnya?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments