Sebenarnya laporan akan adanya sejumlah Aparatur Sipil Negara yang terindikasi paham radikalisme, bukanlah barang baru. Hal ini makin nyata terlihat jelas saat terjadinya serangkaian bom yang menyasar aparat keamanan, tempo hari.
Menurut Komandan Densus 99 Gerakan Pemuda (GP) Ansor – Nuruzzaman – banyak ASN yang telah terpapar ideologi radikal dan intoleran. Indikasi itu terlihat manakala mereka menganggap teror bom sebagai akal-akalan pemerintah untuk menutupi kegagalannya mengurus negara.
Dan jejak digital para ASN tersebut banyak bertebaran di media sosial.
Bukan itu saja. Peristiwa demi peristiwa akhirnya membuka tabir bahwa indikasi ASN yang terindikasi radikal ternyata bukan cerita dongeng.
Dimulai dengan “kotak Pandora” yang terbuka saat ormas HTI dibubarkan pemerintah pada 2017 silam. Berdasarkan dokumen yang terungkap belakangan, ternyata ribuan anggota HTI dari Aceh hingga Papua yang masih berstatus sebagai PNS merupakan kader aktifnya.
Lihat juga bukti yang ditemukan oleh Tim Densus 88. Teroris yang ditangkap di Pekan Baru, Riau mengaku memperoleh dana dari pegawai BUMN yang sudah pasti merupakan milik pemerintah.
Ada lagi jejaknya pada teror bom yang mengguncang Jawa Timur tempo hari. Istri terduga teroris yang ditembak mati Tim Densus 88 di Sidoarjo, tak lain adalah PNS Kementerian Agama (Kemenag) di Surabaya.
Bahkan ada juga satu terduga teroris yang ditangkap di Probolinggo, Harit S. Arifin (39), eh setelah ditelusur juga merupakan PNS yang berprofesi sebagai guru.
Mengapa terorisme menyasar ASN? Karena mereka merupakan ujung tombak pelayan publik, yang tentunya banyak bersentuhan dengan masyarakat. Kebayang donk, kalo misalnya seorang guru PNS yang jadi kader teroris, apa nggak mungkin siswa-siswanya bakal tercemar pemikiran radikal yang diusung gurunya tersebut?
Singkatnya, ini yang namanya pembusukkan kepada rejim yang berkuasa. Tujuannya jelas. Pertama menggembosi pemerintah yang sah kalo mereka pandang pemerintah nggak mendukung gerakan mereka, selain juga sumber pundi-pundi yang bisa mereka garong.
Kedua, manakala organisasi radikal dimana mereka terafiliasi sulit menjatuhkan pemerintah yang sah, maka mereka sebagai pionir yang akan digerakkan duluan untuk menggalang persepsi publik, bahwa pemerintah telah terbukti gagal. Dan PNS guru adalah salah satunya yang paling efektif dalam hal ini.
Terbukti dengan terbongkarnya niatan seorang guru agama di SMAN 87 Jakarta Selatan, yang bernama Nelty Khairiyah. Ditenggarai dia melakukan tindakan menebar doktrin anti-Jokowi sebagai pemerintah yang sah kepada para muridnya.
Ini akibat buntut aduan orang tua siswa yang merasa tidak terima akibat ulah Nelty yang ngelantur dengan mengatakan bahwa gempa Palu adalah salah Jokowi. Dari situlah, konon katanya doktrin kebencian terhadap Jokowi langsung ditebar.
Tapi apes-nya, nggak semua murid bungkam menanggapi kelakuan sang guru. Nah, seorang murid kemudian ngadu ke orang tuanya, dan serta merta viral-lah kasus ini.
Dan seperti biasa, jurus ngeles digelar sang guru, komplit dengan adegan nangis-nya. “Saya nggak pernah ngumpulin murid-murid di mesjid. Lagian saya nggak pernah ngomong gitu ke anak-anak.”
Mengenai kebenaran ini, biarlah hukum yang beracara.
Karena kalo benar aduan orang tua murid terhadap ulah sang guru, bisa kena pasal berlapis dia. Pertama berkata bohong. Kedua melanggar sumpah jabatan PNS yang setia kepada pemerintah yang sah. Ketiga, melanggar UU Pemilu yang mengharuskan PNS bersikap netral.
Kita lihat kedepannya. Namun bagi saya pribadi, apa bisa kita percaya pada seorang guru yang mengidolakan Habib Rizieq pada wall-facebook’nya? Lha junjungannya aja anti-Jokowi, masa iya pengikutnya nggak ngikutin?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments