Pandemrix: Sebuah Tinjauan


519

Pandemrix: Sebuah Tinjauan

Oleh: Ndaru Anugerah

2009, merebak kasus flu babi yang menyebar ke seluruh dunia.

Selaku Ditjen WHO, Dr. Margaret Chan telah salah kalkulasi tentang kasus flu babi (H1N1) yang melanda dunia saat itu. Dia memprediksi, bahwa akan ada korban di seluruh dunia mencapai angka 2 milyar orang alias sepertiga penduduk dunia kala itu akibat virus mematikan tersebut.

Sebagai implikasinya, maka Dr Margaret Chan menetapkan status PHEIC, mirip dengan situasi wabah pandemi COVID-19 saat ini.

Belakangan ternyata jumlah penduduk dunia yang terinfeksi nggak sebanyak prediksinya alias super lebay. Hanya jutaan orang yang terinfeksi dan bukan milyaran seperti yang diprediksi Dr. Margaret Chan, dengan total 575.400 korban yang akhirnya meregang nyawa.

Siapa yang diuntungkan dengan angka mark-up sedemikian besarnya?

Tentu saja Big Pharma dan GAVI, selaku perusahaan pemegang lisensi vaksin dari WHO. Secara khusus GSK (GlaxoSmithKline) yang didaulat membuat vaksinnya.

Vaksinasi global kemudian diterapkan ke seluruh dunia, karena ada dasar pembenaran lewat status darurat (PHEIC) tadi.

Ini jadi nggak aneh, mengingat perusahaan farmasi raksasa (Big Pharma) tersebut merupakan pihak yang berada dibelakang layar sebagai, yang mendukung pencalonan Margaret sebagai Dirjen WHO kala itu.

Jadi ada semacam balas budi, lah.. Tentang apa itu WHO dan Dirjennya saya pernah ulas sebelumnya (baca disini)

Masalahnya nggak berakhir sampai disini, Rudolfo…

Kepanikan global yang meluas di tahun 2009 tersebut, mendorong lebih dari 60 juta orang untuk mendapatkan vaksin tersebut, sebagai dampak kepanikan. Angka tersebut belum termasuk jumlah anak-anak.

Wajar, siapa juga yang mau mati setelah ditakuti lewat ‘narasi-narasi ilmiah’?

Guna mengantisipasi ini, Big Pharma melalui GlaxoSmithKline, mengeluarkan vaksin flu babi dengan merek dagang Pandemrix.

Singkat cerita, Pandemrix langsung diserbu sebagai penawar wabah flu babi kala itu.

Waktu berlalu…

Setelah sekian tahun, timbul gejala-gejala kerusakan otak seperti: gangguan tidur, gangguan ingatan hingga penyakit mental lainnya, yang dialami oleh anak-anak yang menerima vaksin Pandemrix tersebut.

Pernah dengar istilah narkolepsi atau cataplexy? Ini adalah 2 penyakit yang menurut para ahli kesehatan bisa ditimbulkan dari penggunaan vaksin Pandemrix tadi.

Narkolepsi adalah gangguan sistem saraf yang mempengaruhi kendali terhadap aktivitas tidur. Jadi orang yang terkena narkolepsi akan mengalami rasa kantuk yang berat pada siang hari. Masalahnya, penderita narkolepsi bisa tiba-tiba tertidur tanpa kenal waktu dan tempat. Gila, kan?

Sedangkan cataplexy sendiri adalah rusaknya kontrol atas otot yang terjadi secara tiba-tiba. Gejala khasnya antara lain: rahang dan kepala merosot ke bawah, kaki sulit dikendalikan, sulit untuk fokus berpikir dan mengalami penglihatan ganda.

Orang dengan cataplexy mudah dipicu emosinya yang tidak stabil hanya dengan aktivitas seperti tertawa, marah atau terkejut. Dengan kata lain, saat tertawa misalnya, orang tersebut bisa tiba-tiba pingsan.

Iya kalo pingsannya di sekolah, nah kalo dijalan raya yang ramai saat menyebrang, apa nggak parah?

“Tidak ada keraguan bahwa Pandemrix meningkatkan terjadinya serangan narkolepsi pada anak-anak, yang 80% adalah pihak yang terdampak dari vaksin tersebut,” demikian ungkap Dr Emmanuelle Mignot seorang spesialis gangguan tidur di Universitas Standford.

Pernyataan Mignot jelas nggak mengada-ada.

Josh Hadfield dari Somerset, Inggris yang berusia 8 tahun di tahun 2015, adalah seorang anak yang terkena dampak vaksin Pandemrix. Akibatnya, dia terpaksa menggunakan obat anti narkolepsi untuk membuatnya tetap terjaga saat belajar di sekolah, yang harganya puluhan ribu pound pertahunnya.

“Jika anda membuatnya tertawa, dia akan langsung pingsan. Belum lagi masalah ingatan yang dideritanya. Dan saya merasa sangat bersalah karena telah membiarkan dirinya mendapatkan vaksin (Pandemrix) tersebut,” demikian ungkap sang mama tercinta.

Karena banyaknya anak-anak yang terdampak vaksin Pandemrix tersebut khususnya di Inggris, gugatan hukum dilayangkan kepada GlaxoSmithKline sebagai pihak pembuat vaksin.

Tok-tok-tok… palu hakim diketok dan GlaxoSmithKline dinyatakan bersalah serta diwajibkan membayar sekitar USD 63 juta kepada para penggugat atas nama pemerintahan Inggris. Pandemrix dinyatakan berperan dalam menyebabkan kerusakan otak dalam berbagai kasus.

Ini berarti vaksin Pandemrix terbukti menyebabkan kerusakan otak secara permanen karenanya dikenakan denda.

“Belum pernah ada kasus seperti ini sebelumnya, dimana para korban vaksin memiliki kondisi cacat permanen seumur hidup yang tidak bisa disembuhkan meskipun dengan pengobatan sekalipun,” demikian ungkpa Peter Todd selaku pengacara yang mewakili para penggugat. (Sunday Times, April 2015)

Kini dengan kondisi yang sama, dimana pada akhir cerita akan ada vaksin COVID-19 yang dikeluarkan oleh Big Pharma yang teknisnya diwakilkan entah oleh perusahaan farmasi yang mana, akankah kita masih mau percaya?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!