Negeri Instan


506

Saya punya seorang teman. Orangnya lumayan pandai bergaul. Semua kebaikan pria ada padanya. Namun satu kurangnya. Dia orangnya gagal fokus. Semua ingin dikerjakan, semua ingin diraih dengan cara instan. Yah nggak salah sih, namanya orang usaha.

Ada bisnis ini, dia langsung ikutan. Nongol bisnis yang baru, dia ikutan lagi. Seakan belum kelar yang satu, langsung kerjain yang lain. Tak ada fokus dalam dia bekerja. Dan yang paling saya nggak tahan adalah caranya dia mengklaim bahwa usahanya langsung berhasil.

“Gue udah lumayan Ru, ikutan bisnis ini. Baru bentaran, untung yang gue dapat bisa buat hidup setahun.” Ajigile. Super instan. Seakan semuanya bisa didapat dengan cepat.

Mirip pemikiran sekelompok orang di negeri ini. Semuanya serba harus instan. Pemuka agama dibuat instan. Baru jadi mualaf, langsung dikarbit jadi ulama pemimpin ummat, walaupun pemikirannya masih jauh dari nilai keagamaan yang hakiki.

Bisa kebayang gak, baru kenal agama baru, kok langsung disulap jadi jadi pemimpin agama? Apa mungkin nilai keagamaan dapat diresapi dalam waktu instan? Kalo sekedar belajar, mungkin semua orang bisa. Tapi kalo mengalami hadirat Illahi dalam dirinya, gak semua orang bisa mengalaminya.

Ada lagi yang hobi teriak, tanpa kasih solusi. Teriak keras bahwa ekonomi makin merosot. Teriak keras bahwa harga-harga pada mahal di pasaran. Teriak keras bahwa pembangunan gak butuh yang namanya infrastruktur. Seakan teriakan bisa mengatasi masalah dalam waktu instan.

Padahal, yang diperlukan bukan teriakan. Yang dibutuhkan kerja nyata, bukan nyinyiran yang sifatnya demagok. Ah, mungkin mereka lupa kalo seandainya para pendiri bangsa ini hanya sibuk bicara, sampai lebaran kuda Indonesia merdeka pasti tidak akan mungkin tercipta.

Di belahan sisi yang lain, ada emak-emak ‘ bertubuh tambun’ yang ingin kurus dalam waktu instan. Demi tuntutan pergaulan sesama emak-emak, semua langsung ditempuh. Beli jus ini itu, ikutan yoga sana sini. Padahal dia lupa bahwa untuk memiliki tubuh yang diidamkan, semua butuh proses.

Harus ada proses yang dilalui. Dan yang paling terpenting, konsistensi harus dijaga. Jangan udah ikutan kursus sana-sini dan konsumsi ini itu, tapi udahannya makan nggak direm. Nyamil dibanyakin. Yah hasilnya sia-sia mpok…

Bahwa untuk menjadi bangsa yang besar, proses berpikir besar harus diciptakan. Dan terlebih dari itu, kerja-kerja besar juga harus dilakukan.

Dan proses instan adalah bukan solusinya.

Coba kita sedikit kritis dalam menanggapi masalah. Sekarang banyak makanan instan disajikan dimana-mana. Alasannya praktis, dan cepat untuk disantap. Sekilas ini benar adanya. Namun dibalik itu semua, kita tahu bahwa fast-food banyak memicu penyakit-penyakit yang mematikan.

Semoga kita bukan salah satu makhluk-makhluk instan.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!