Misi Mengantarkan Undangan?
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, ngapain Jokowi berkunjung ke Rusia dan Ukraina?” tanya seorang netizen di tengah masa liburan saya bersama keluarga.
Sebenarnya ngapain juga bertanya hal beginian ya? Toh nggak ada point penting yang didapatkan dari pertanyaan tersebut?
Tapi, karena sudah bertanya, saya akan coba menjawabnya. Nanti kalo nggak dijawab disangkanya saya nggak peduli terhadap pertanyaan pembaca artikel saya.
Seperti kita tahu, Jokowi sendiri mengatakan kunjungannya ke kedua negara tersebut, didorong oleh spirit menciptakan perdamaian dunia yang selaras dengan politik LN negaranya yang bebas-aktif.
Makanya setelah bertandang ke Istana Maryinsky, Kiev untuk bertemu Presiden Zelensky (29/6), Jokowi langsung bertolak ke Istana Kremlin di Moskow untuk bertemu Presiden Putin (30/6).
Selain itu, Jokowi juga menyinggung soal langkanya pangan dan pupuk secara global (termasuk di Indonesia), sebagai imbas konflik yang ‘dipaksakan’ tersebut. Setidaknya itu yang akan anda dapat informasinya dari media mainstream. Titik. (https://kumparan.com/kumparannews/alasan-jokowi-ke-ukraina-dan-rusia-perdamaian-prioritas-politik-luar-negeri-ri-1yNJDWGVBPI/full)
Lalu apa sesungguhnya misi kepala negara tersebut berkunjung kedua negara yang sedang berkonflik? Sebab, kalo memang tujuannya untuk menghentikan konflik, langkah tersebut jelas ‘sia-sia’ mengingat sekali lagi saya katakan bahwa konflik tersebut memang sengaja digelar untuk mendorong proses great resetting yang sedang berlangsung. (baca disini dan disini)
Jadi kalo anda berpikiran bahwa krisis tersebut akan otomatis kelar setelah kunjungan Jokowi, anda mendingan pergi ke Planet Namek untuk mencari Dragon Ball.
Sekali lagi, apa sesungguhnya yang ingin dicapai dari upaya ‘mediasi tersebut’?
Bayangkan jika anda harus berkunjung ke rumah seseorang, pasti ada yang akan anda tuju bukan? Entah itu sekedar anjangsana ataupun ada misi khusus yang harus anda ingin raih.
Sama halnya dengan analogi tersebut, kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia juga sama, yaitu untuk mengemban ‘misi’. Dan ‘misi’ tersebut bukanlah semata untuk politik LN bebas aktif seperti yang dia nyatakan kepada publik.
Setidaknya ada 2 alasan utama atas kunjungan tersebut. Pertama menyangkut gelaran G20 yang akan dilangsungkan di Bali pada 15-16 November 2022 mendatang. Dan yang kedua menyangkut soal pangan yang dalam waktu dekat ibarat bom waktu yang akan menghantam pemerintahannya.
Maksudnya gimana?
Kita tahu bahwa Indonesia mendapat kesempatan sebagai tuan rumah pertemuan G20 tahun ini. Lagak-lagaknya, event tersebut bakal terancam dengan absen-nya setidaknya Rusia sebagai anggota grup.
Berbicara kepada PM Italia, Mario Draghi di sela-sela pertemuan G7 yang lalu, Jokowi mengatakan bahwa naga-naganya Putin nggak akan datang pada pertemuan di Bali pada November mendatang meskipun keputusan resmi belum dibuat. (https://news.yahoo.com/draghi-g-20-presidency-says-135438565.html)
Kalo Rusia ‘madol’, otomatis nama grup-nya harus diubah jadi G19, karena yang hadir hanya 19 negara anggota. Apa ini bisa dianggap sebagai parameter ‘keberhasilan’ Indonesia sebagai tuan rumah?
Apalagi pada April 2022 silam, anggota parlemen senior dari PDIP mengatakan kepada Jokowi untuk bersifat pro-aktif kepada tamu yang akan hadir ketimbang ongkang-ongkang kaki sebagai tuan rumah.
“Minimal anda harus bergerak, agar acaranya bisa sukses digelar dan bukan hanya jadi pengamat saja,” begitu kurleb-nya. (https://akurat.co/effendi-simbolon-pertanyakan-aksi-jokowi-soal-konflik-rusia-ukraina)
Jadi, misi menyebar undangan harus dijalankan, agar kelak event-nya bisa sukses dan dirinya bisa dipuji oleh setidaknya pendukung setianya yang sudah berharap ‘lebih’ kepadanya.
Yang kedua menyangkut pangan. Kita tahu bahwa baik Ukraina dan Rusia, keduanya merupakan eksportir dunia untuk gandum. Total ekspor yang mereka hasilkan, bahkan lebih dari 25% konsumsi gandum global. (https://www.aljazeera.com/news/2022/2/17/infographic-russia-ukraine-and-the-global-wheat-supply-interactive)
Akibat perang, seperlima dari produksi gandum di Ukraina telah rusak, utamanya pada wilayah yang diduduki Rusia. Sementara 20 juta ton panen gandum musim lalu, nggak bisa keluar gudang, akibat adanya aksi pendudukan tersebut. (https://www.spokesman.com/stories/2022/jun/22/crop-facilities-hit-at-ukraine-port-adding-to-wars/)
Anda tahu apa arti penting gandum bagi Indonesia?
Gandum itu, salah satunya digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie instan, yang jadi makanan paling populer di Indonesia. Tanpa tepung yang berasal dari gandum, mie-nya dibuat dari apa coba? Masa iya harus pakai oncom? Kan nggak mungkin.
Data mengatakan bahwa Indonesia harus impor gandum dari Ukraina sebanyak lebih dari 3 juta ton. Sementara impor produk tersebut dari Rusia hanya ribuan ton saja. Ini jelas timpang. (https://en.usm.media/ukraine-will-be-able-to-export-wheat-to-indonesia/)
Dengan kata lain, makin lama krisis berlangsung, maka makin cepat Indonesia bakalan krisis gandum. Dan jika ini tidak ditanggulangi, maka perusahaan pembuat mie instan akan dipaksa untuk menaikkan harga produknya akibat langkanya gandum. Ini bisa berimplikasi politis, bukan?
Kan nggak lucu juga kalo BEM-SI plus emak-emak rempong akan turun ke jalan dengan tuntutan turunkan harga mie instan karena harganya jadi melejit di pasaran? Apa kata dunia?
Makanya Jokowi bersuara keras atas krisis yang terjadi di Ukraina pada acara G7 di Jerman. “Kita bakalan krisis pangan,” begitu ungkapnya. (https://en.tempo.co/read/1604677/jokowi-to-highlight-food-issues-in-g7-summit-in-germany)
“Kita? Situ aja keuleus…,” ungkap remaja alay.
Terus, apa kepentingan utama Jokowi dibalik sukses-nya event G20 di Bali?
Satu kata: prestise.
Dengan suksesnya acara tersebut, Jokowi bakal menuai banyak pujian dari publik internasional.
Dan ini secara nggak langsung adalah ticket to ride bagi dirinya untuk bisa menggaet Uni Emirat Arab agar mau berinvestasi pada pembentukkan ibukota baru Nusantara, yang ada di Kalimantan yang bakal memakai skema SWF (Sovereign Wealth Funds). (https://www.orissa-international.com/business-news/uae-investing-over-usd-32-billion-in-indonesia/)
Kalo fulus dari Abu Dhabi bisa sukses diraih, dan pembangunan IKN bisa terlaksana, siapa yang kelak bakal tertulis dalam buku sejarah?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments