Merobohkan Tembok Kebohongan
Oleh: Ndaru Anugerah
Siapa gubernur yang paling meredup sinarnya saat pandemi berlangsung di AS sana?
Dialah Gubernur New York, Andrew Cuomo.
Menurut survei yang dilakukan oleh Emerson College baru-baru ini, sebanyak 48% responden nggak lagi mau mendukungnya menjadi gubernur kembali pada pemilu mendatang. (https://www.newsweek.com/andrew-cuomos-approval-rating-tanks-33-percent-pandemic-high-1573486)
Ini ironis, mengingat pada April 2020 silam, dimana Cuomo membuat gebrakan dengan menggelar kebijakan lockdown, warga New York justru mendukung dirinya dengan 71% suara. Jadilah lockdown digadang-gadang sebagai obat mujarab dalam mengatasi Kopit. (https://www.newsweek.com/governors-covid-19-approval-ratings-1571683)
Nyatanya, lockdown nggak bisa jawab masalah penanggulangan Kopit. Sudah lebih dari setahun diterapkan, toh nggak membuahkan hasil. Dan kini, dukungan bagi Cuomo kian meredup.
Menariknya, dukungan terus mengalir kepada gubernur AS yang anti kebijakan lockdown. Ambil contoh Gubernur Florida, Ron DeSantis yang pamornya kian bersinar. (https://www.cnn.com/2021/04/17/politics/ron-desantis-analysis/index.html)
Nasib serupa dengan Gubernur South Dakota, Kristi Noem yang juga ambil kebijakan anti-lockdown di negara bagian yang dipimpinnya.
Dari kedua negara bagian tersebut, kita bisa tahu bahwa rakyatpun bisa melihat ketidakefektifan lockdown saat diterapkan. Ada nggak ada lockdown, tingkat kematian akibat Kopit, bisa dikatakan sama saja.
Kondisi malah diperburuk saat lockdown diterapkan, dimana ekonomi malah menuju titik nadir.
Berbekal kenyataan ini, Kongres menggelar dengar pendapat yang meminta kejelasan dari Dr. Anthony Fauci selaku tokoh yang mempromosikan lockdown di AS sana.
Pertanyaaannya sederhana: kenapa Michigan yang dikarantina justru memiliki prevalensi penyakit yang lebih buruk dari Wisconsin yang justru ‘membuka’ wilayahnya?
Bisa ditebak, Dr. Fauci nggak berkutik terhadap pertanyaan tersebut. Dengan belgi alias belaga gila, beliau malah membahas soal penegakkan hukum saat lockdown, yang nggak ada kaitannya dengan pertanyaan yang diajukan. (https://twitter.com/aginnt/status/1383553315980464133)
Belum lagi kalo ditanya soal Texas yang sudah dibuka kembali 6 minggu yang lalu. Fakta bicara kalo kasus kematian akibat Kopit justru turun drastis ketimbang saat Texas menerapkan lockdown. Saya jamin Dr. Fauci nggak punya jawaban atas pertanyaan tersebut.
Jadi, baik lockdown atau nggak, nggak ada korelasinya terhadap tingkat kematian akibat Kopit. Dan itu ada datanya, alias bukan mereka-reka atau katanya-katanya mlulu.
“Tapi itu kan kasus di AS. Pasti kasusnya bakal beda kalo di negara lain?” protes seorang netizen.
Kalo bicara kita biasakan pakai data, jadi nggak ngandelin jigong doang.
Biar saya kasih tahu. Kasus di Taiwan adalah salah satu contoh yang gamblang, dimana negara yang tidak menerapkan lockdown, nyatanya kematian akibat Kopit hanya 11 orang sejauh ini. (https://theconversation.com/how-taiwan-beat-covid-19-new-study-reveals-clues-to-its-success-158900)
“Tapi kan disana prokes diterapkan dengan ketat,” protesnya lagi.
Coba lihat di Swedia yang nggak menerapkan kebijakan lockdown dan juga prokes di negaranya, justru ‘kinerjanya’ lebih baik ketimbang negara-negara Eropa yang pakai sistem karantina ketat. (https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-europe-mortality-idUSKBN2BG1R9)
Dan ini selaras dengan AIER yang telah mengumpulkan 33 studi kasus dari seluruh dunia, bahwa antara lockdown dan nggak lockdown, nggak ada pengaruhnya terhadap tingkat penyebaran dan kematian akibat Kopit. (https://www.aier.org/article/lockdowns-do-not-control-the-coronavirus-the-evidence/)
Tentang ini saya pernah ulas tahun lalu, bahwa nggak ada kaitan antara lockdown terhadap tingkat penularan dan kematian akibat Kopit, karena semua hanya mengandalkan asumsi yang nggak ada data atau rujukan ilmiahnya. (baca disini)
Lantas, kalo nggak ada datanya, mana bisa kita jadikan rujukan apalagi dasar dalam membuat suatu kebijakan?
Namun yang terpenting, saya melihat bahwa kebijakan lockdown mulai kehilangan pendukung setianya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Siapa yang paling enak kalau lockdown? Kerja di rumah,resas dan reses terus..apalagi pas long weekend. Jadi buat apa mencabut lockdown, toh yang susah rakyatnya, sedangkan yang berkuasa sibuk rapat, ujung2nya psbb atau ppkm lagi. Lah kasus gagal bayar aja nyantai penyelesaiannya padahal tiap hari korban butuh biaya, mana nih praktek Pancasilanya? Sila pertama urusannya sama Tuhan lagi.
Bang, bahas dong kasus gagal bayar dan sita menyita itu kemana semua karena korban sama sekali belum dibayar.
itu urusannya sama ‘penguasa’ ya, bukan ke saya…bukan, begitu?