Menyoal Krisis Air (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Sebelumnya saya telah mengulas tentang krisis air yang terjadi di banyak belahan dunia dan bagaimana sikap kartel Ndoro besar terhadap penguasaan air yang dianggap sebagai sumber energi yang tak terbarukan. (baca disini)
Saya juga telah bahas tentang teori sumber air yang nyatanya malah membuktikan bahwa groundwater itu bukan bersifat habis jika dipakai secara terus menerus. Ini berarti air adalah sumber daya terbarukan.
Bagaimana membuktikan teori ini?
Ada banyak kasus dimana groundwater berada di puncak-puncak gunung yang justru merupakan tanah yang gersang. (http://primarywaterinstitute.org/evidence.html)
Jadi, air ini nggak mungkin berasal dari air hujan, karena letaknya yang jauh di dasar per,ukaan bumi (biasa disebut sebagai air dalam). Dan untuk mengupayakan air ini untuk bisa keluar, dibutuhkan teknologi inovatif layaknya industri ekstraktif lainnya, tapi tidak merusak lingkungan.
Setidaknya Mark Burr selaku CEO Primary Water Technologies mengamini hal ini. Inovasi teknologi yang dimaksud bisa berupa teknik pemetaan dengan layering GIS dan pemodelan 3-D, citra satelit, radiometrik hingga fisika kuantum. (https://www.primarywatertechnologies.com/geophysical-technologies)
Dan menurut Burr, untuk menemukan sumber air tersebut, nggak butuh pengeboran ribuan kaki, melainkan hanya sekitar 400 kaki saja atau sekitar 122 meter. Secara teknis, air akan dipaksa naik ke atas melalui celah yang ada di bumi.
Kesulitan utamanya bukan pada teknik pengeborannya, melainkan teknologi inovatif tadi yang sangat dibutuhkan guna mengetahui dimana letak sumber air tersebut dan celah mana yang bisa digunakan untuk memaksa airnya naik.
Apa yang dikatakan Burr bukan kaleng-kaleng, karena pada praktiknya sudah banyak ahli geologi ternama melakukan hal tersebut.
Ambil contoh Prof. Stephen Reiss selaku pakar geologi dari San Diego yang telah sukses mengebor lebih dari 800 sumur di kolong jagat sebelum meninggal di tahun 1985 silam. (https://www.sandiegoreader.com/news/1985/jun/06/cover-theres-water-down-below/)
Bahkan karya gemilang Prof. Reiss tersebut dibukukan oleh Prof. Michael Salzman selaku pakar ekonomi dari University of Southern California. (http://primarywaterinstitute.org/images/pdfs/Salzman_book.pdf)
Ada juga ahli hidrologi lainnya yang bernama Dr. Pal Pauer yang berasal dari California. Dr. Pauer sukses mengebor lebih dari 1000 sumur primer di seluruh dunia. Salah satu karya gemilang Dr. Pauer adalah sumur yang berada di puncak gunung Ngu- Nyumu yang ada di Kenya.
Setelah sukses mengebor pada kedalaman 300 kaki, air yang ada di dalam permukaan bumi tersebut berhasil memancarkan keluar dengan kecepatan 15-30 galon per menit. Padahal daerah itu merupakan kawasan ‘kering’. (https://www.youtube.com/watch?v=Mxmv8xazpbI&t=1s)
Pada kawasan ‘kering’ lainnya di Pegunungan Tehachapi yang ada di California, di ketinggian 6000 kaki Dr. Pauer berhasil memaksa air keluar setelah mengebor hanya 35 kaki saja pada Project Garlock tersebut. Debit air yang dikeluarkan bahkan mencapai 800 galon per menit. Luar biasa! (https://www.youtube.com/watch?v=4zzMfAw-hKo)
Di Australia yang juga kawasan gersang dengan masalah air kronis, lebih progres lagi dimana inovasi teknologi yang digunakan. Kalo anda tahu perusahaan AquaterreX yang telah menggunakan ilmu geologi, lingkungan dan bumi guna mendapatkan sumber air (deep seated water) dengan akurasi hampir 100%, anda pasti gedek-gedek lagi. (https://aquaterrex.com/is-restricting-water-usage-the-answer-to-drought/)
Berdasarkan keterangan resmi yang dikeluarkan AquaterreX, groundwater tersebut disimpan di lapisan akuifer yang letaknya lebih dalam lagi di bawah situs hidrologi konvensional. (https://aquaterrex.com/results/)
Point yang saya mau sampaikan, air itu ada dimana-mana dan nggak pernah habis. Sehingga air itu adalah sumber daya terbarukan.
Pernyataan yang dikeluarkan National Ground Water Association (NGWA) tentang air primer yang berada di bawah permukaan bumi, itu memang ada. Dan air primer ini nggak masuk dalam mata rantai siklus hidrologi. (http://www.primarywaterinstitute.org/images/pdfs/Tritium_in_groundwater.pdf)
Tidak hanya itu, air primer tersebut bebas unsur trillium, sehingga bersih, segar dan dapat diminum tanpa proses penyaringan terlebih dahulu. (http://www.primarywaterinstitute.org/qa.html)
Ini jelas luar biasa, mengingat kandungan air primer tersebut sangat banyak.
Sayangnya, di AS sana contohnya, baru 27% yang digunakan. Padahal menurut estimasi ahli hidrologi, cadangannya mencapai 33 ribu triliun gallon yang setara dengan air yang dibuang ke Teluk Meksiko oleh Sungai Mississippi dalam 200 tahun terakhir. (https://www.ngwa.org/what-is-groundwater/About-groundwater/groundwater-facts)
Satu yang perlu dicatat, tidak hanya di AS saja kandungan groundwater melimpah, namun di seluruh dunia, pada daerah-daerah tandus sekalipun.
Dan ini dapat dijadikan solusi pada krisis air yang banyak terjadi di mana-mana.
Masalahnya ada 2.
Pertama sistem regulasi yang rumit dan membutuhkan banyak ijin berbiaya mahal untuk melakukan upaya pengeboran. Padahal ini dapat dijadikan solusi guna mengatasi krisis air. (https://environs.law.ucdavis.edu/volumes/39/1/Articles/Brown-Macroed.pdf)
Dan kedua kurangnya dukungan politik untuk menggelontorkan dana yang mumpuni guna membangun infrastruktur air tersebut. (https://infrastructurereportcard.org/wp-content/uploads/2020/12/2021-IRC-Executive-Summary-1.pdf)
Apakah politisi dan pemimpin di banyak negara telah ‘dibeli’ oleh kartel Ndoro besar, untuk tidak mengeksplorasi groundwater? Entahlah.
Satu yang pasti, krisis air memang sengaja diciptakan guna menekan jumlah populasi dunia, mengingat akses air bersih memang dibatasi oleh kartel Ndoro besar.
Coba anda jawab: berapa lama seseorang hidup tanpa akses air bersih?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments