Menyoal Konflik di Tanah Suci (*Bagian 2)
Pada bagian pertama tulisan saya sudah mengulas tentang Dagan’s Plan yang bertujuan untuk mengusir warga Palestina dari wilayahnya dengan memakai cara kekerasan. Peristiwa ricuh di Yerusalem tempo hari, nggak lain karena adanya rencana tersebut. (baca disini)
Apakah pendudukan atas wilayah Palestina merupakan rencana induk Israel?
Nggak juga.
Ada grand-scenario yang lebih besar lagi, yaitu pembentukkan kekaisaran Israel yang tertuang dalam Oded Yinon’s Plan. (baca disini dan disini)
Dengan kata lain, penaklukkan seutuhnya atas wilayah Palestina, merupakan bagian dari rencana utama pendudukan Timur Tengah guna terbentuknya The Greater Israel.
Kita lanjut, ya..
Kenapa jalur Gaza kerap bergolak? Apakah karena adanya kelompok Hamas yang menguasai wilayah tersebut?
Pada tahun 2000 silam, ditemukan cadangan gas yang sangat besar di lepas pantai Gaza, yang secara hukum merupakan milik rakyat Palestina. (https://www.nytimes.com/2000/09/15/world/gas-deposits-off-israel-and-gaza-opening-vision-of-joint-ventures.html)
Memang berapa total kandungannya?
“Sekitar 40 tcf (trillion cubic feet) kandungan gas-nya, dengan kapasitas produksi perhari mencapai 2 milyar kaki kubik,” ungkap Keith Elliot.
Bukan itu saja, karena menurut Michael Economides pada spot yang sama juga ditemukan potensi minyak bumi sekitar 600 juta barel. (https://www.theage.com.au/business/options-widen-for-woodsides-leviathan-partners-20131219-2znu6.html)
Jadi, Gaza bukan wilayah tanpa potensi, tapi justru kaya potensi SDA-nya, utamanya minyak dan gas.
Pada awalnya, Otoritas Palestina dibawah Yasser Arafat memberikan konsesi migas tersebut kepada British Gas (BG) dan mitranya Consolidated Contractors International Company (CCC) selama 25 tahun. (http://www.bg-group.com/OurBusiness/WhereWeOperate/Pages/pgIsraelandAreasofPalestinianAuthority.aspx)
Pembagiannya adalah 60% konsesi untuk BG, 30% konsesi untuk CCC dan 10% sisanya diperuntukkan bagi Dana Investasi milik Otoritas Palestina.
Namun, skenario ini jelas tidak menguntungkan bagi Israel. “Masa iya Israel yang butuh energi, harus beli migas dari Palestina?” begitu kurleb pemikiran Ariel Sharon.
Untuk mengubah skenario tersebut, maka disusunlah rencana untuk ‘melenyapkan’ Yasser Arafat.
Dengan absen-nya Arafat, maka Otoritas Palestina bakal hancur ditambah lagi dengan menangnya Hamas pada pemilu di Palestina pada 2006. Nggak ada lagi ‘tokoh sentral’ yang menyatukan Palestina.
Setidaknya begitu menurut analis geopolitik kawakan, Prof. Michel Chossudovsky. (https://gulfnews.com/opinion/op-eds/israel-wants-palestines-water-and-gas-1.1364615)
Sejak itu, konsesi migas yang dimiliki Otoritas Palestina, lambat laun beralih kepemilikannya ke Israel secara de facto. Dan Palestina nggak punya kendali lagi atas SDA yang sesungguhnya milik mereka.
Bahkan keuntungan hasil SDA tersebut, Palestina hampir nggak mencicipi sama sekali.
“Tidak boleh ada uang masuk ke pemerintahan yang dikendalikan oleh Hamas,” demikian kilah pemerintah Israel. (https://unctad.org/system/files/official-document/gdsapp2019d1_en.pdf)
Nggak percaya?
Dan di tahun 2007, Israel nyaris menandatangani perjanjian dengan pihak BG karena pada gilirannya negara Zionis tersebut memang butuh energi.
Apa isi kesepakatan tersebut?
Gas dari kilang lepas pantai Gaza akan disalurkan melalui pipa bawah laut ke pelabuhan Ashkeleton Israel. (https://www.independent.co.uk/voices/commentators/fisk/robert-fisk-plots-sense-and-nonsense-the-view-from-the-post-bag-1514542.html)
Namun kontrak dibatalkan, karena Ketua Mossad kala itu, Meir Dagan beranggapan bahwa jika kontrak dijalankan maka Palestina akan mendapat margin keuntungan dari kontrak tersebut.
“Transaksi berpotensi merugikan bagi keamanan Israel karena keuntungan yang didapat Palestina akan digunakan untuk mendanai teror,” ungkap Dagan. (https://jcpa.org/article/does-the-prospective-purchase-of-british-gas-from-gaza-threaten-israel%E2%80%99s-national-security/)
Akhirnya, proposal tersebut dibatalkan.
Dan kerjasama pembelian gas alam dari BG mencapai kata sepakat di tahun 2008, tepat beberapa hari sebelum Operation Cast Lead digelar. (https://www.brookings.edu/wp-content/uploads/2016/06/gaza-marine-web.pdf)
Apa tujuannya kok menandatangani kontrak secara terburu-buru?
Karena saat invasi udara dan darat yang dilakukan Israel, Hamas disibukkan dengan serangan tersebut ketimbang ngurusin kilang migas milik mereka. Dan saat serangan dihentikan, skenario telah berubah.
Kini, pada praktiknya, ladang gas Gaza telah diintegrasikan ke dalam instalasi lepas pantai Israel, yang ada disebelah jalur Gaza. (https://bylinetimes.com/2021/05/20/biden-government-and-chevron-colluding-in-israels-pillage-of-gazas-gas-resources/)
Dari sana, gas akan disalurkan ke koridor energi yang ada di Israel yang terbentang dari pelabuhan Eilat hingga ke wilayah utara menuju Haifa. Inilah yang akan menyediakan ‘energi’ bagi negara Zionis tersebut.
Dengan kata lain, konflik di Gaza sengaja diciptakan dalam rangka ‘pengamanan’ energi bagi Israel.
Lantas, bagaimana Israel bisa menggempur wilayah Palestina secara simultan? Apakah negara itu demikian digdayanya, ataukah ada kekuatan lain yang menopangnya?
Pada bagian ketiga saya akan mengulasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments