Mengikis Ketimpangan (*Bagian 2)


525

Mengikis Ketimpangan (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah – 04062025

Pada bagian pertama tulisan kita sudah membahas tentang bagaimana ketidak selarasan antara AS dan negara-negara sekutunya di Eropa, utamanya pasca Trump berkuasa. Ini dapat berimbas pada lemahnya kerjasama antar mereka, khususnya pada bidang ekonomi dan pertahanan.

Belum lagi visi ‘aneh’ Trump yang mengusung konsep MAGA yang bukan saja berorientasi pada AS semata, tapi juga mengedepankan spirit kekristenan. Ini jelas nggak sejalan dengan negara-negara Eropa Barat yang punya pandangan liberal. (baca disini)

Lalu kemana ujung semua ini?

Seperti yang kita ketahui bersama, aliansi yang dilakukan AS dan sekutunya telah sukses membuat jurang pemisah yang dalam, dengan terciptanya konsep negara-negara maju dan negara-negara miskin.

Nggak hanya itu.

Jurang pemisah antara kelas berpunya dan kelas tak berpunya di negara-negara maju-pun juga ada dan kini makin terbuka lebar.

Apa indikasinya?

Kelas menengah yang tergerus ke bawah angkanya semakin banyak, di AS sana. Bahkan sekedar mencukupi kebutuhan hidup saja mereka sudah megap-megap. (https://www.cbsnews.com/news/cost-of-living-income-quality-of-life/)

Apalagi yang menyangkut kebutuhan yang lebih tinggi?

Sebut saja sektor perumahan.

Golongan middle class saat ini sudah nggak mampu membeli rumah, meskipun barangnya telah tersedia. “Harganya terlalu mehong untuk dibeli,” begitu kurleb-nya. (https://www.cbsnews.com/news/homes-for-sale-affordable-housing-prices/)

Kenapa ini bisa terjadi?

Salah satunya dipicu oleh plandemi Kopit yang sukses memukul perekonomian global.

Akibatnya golongan middle-class yang tadinya eksis, terpaksa turun kelas. Semua tabungan yang mereka punya habis guna menutupi biaya hidup yang tekor akibat plandemi. (https://www.newyorker.com/news/dispatch/how-the-coronavirus-is-killing-the-middle-class)

Itu di AS sana.

Lalu apa dampak yang dialami oleh negara-negara lainnya akibat plandemi Kopit?

PBB memakai tool yang bernama Indeks Pembangunan Manusia, guna melacak/menentukan harapan hidup, pendidikan dan pendapatan pada suatu negara.

Pasca plandemi Kopit, indeks tersebut berangsur-angsur membaik, dengan negara-negara kaya memiliki kinerja yang lebih baik. Sedangkan negara-negara berkembang apalagi kismin, kemajuan-nya terbilang kecil atau nggak ada samsek.

“Seorang anak yang lahir di Islandia diperkirakan akan hidup lebih dari 82 tahun dan menerima pendidikan selama 18 tahun. Jika dirata-rata, pendapatan tahunan per orang adalah sekitar USD 70 ribu,” ungkap laporan PBB.

Lalu bagaimana dengan negara misqueen?

“Harapan hidup di Sudan hanya sekitar 58 tahun saja, dengan kesempatan meraih pendidikan menengah kurang dari 6 tahun. Secara nasional, pendapatan bruto per orang hanya sekitar US 688,” tambanya. (https://www.economist.com/graphic-detail/2025/05/06/which-countries-have-the-best-and-worst-living-standards?itm_source=parsely-api)

Ini jelas njomplang.

Angka USD 70 ribu dibandingkan USD 688, terpaut jauh. Sementara fakta yang lain, angka USD 70 ribu itu juga nggak bisa didapatkan oleh golongan kelas menengah ke bawah yang ada di negara-negara maju.

Jika ditanyakan pada negara-negara Barat, kenapa hal ini bisa terjadi, pasti jawabannya karena hadirnya aliansi Moskow dan Beijing dengan BRICS-nya. Karena mereka ada, makanya ketimpangan ini dapat terjadi.

Tapi itu dulu.

Sekarang AS berubah haluan.

Lewat Wapres Vance, AS malah meminta para pemimpin Eropa untuk mencari akar penyebab masalah yang terus menerus mereka hadapi dalam kebijakan yang mereka hasilkan. Jadi nggak sedikit-sedikit menyalahkan China dan Rusia. (https://edition.cnn.com/2025/02/14/europe/jd-vance-munich-speech-europe-voters-intl/)

Kembali ke laptop.

Lantas kemana perpecahan yang ada pada koalisi AS dan sekutunya bakal berujung?

Tentu saja bakal mendorong putusnya kerjasama pada banyak hal, utamanya pada sektor perekonomian. Dengan demikian, organisasi G7 bakal koyak digantikan oleh BRICS yang belakangan mulai naik daun.

Bahkan berdasarkan proyeksi pertumbuhannya di tahun 2025 ini, G7 hanya akan bertumbuh GDP-nya sebanyak 1,2%, sementara BRICS kompetitor-nya bisa mencapai hingga 4%. (https://brics.br/en/news/brics-gdp-outperforms-global-average-accounts-for-40-of-world-economy#:~:text=The%20difference%20in%20average%20GDP,hegemony%20of%20the%20United%20States.)

Dengan naiknya BRICS beserta gerbong negara-negara yang mengikutinya, maka otomatis perekonomian mereka akan terdorong maju, sementara G7 bakal turun level-nya menyamai level rata-rata negara BRICS.

Dan level yang sama ini-lah yang sekarang coba dikejar, sebelum masuk ke fase lebih lanjut yakni own nothing alias nggak punya apa-apa, dan kita akan dibuat bahagia dengan kondisi tersebut.

Ke depan, ekonomi sirkular bakal terus digenjot karena semuanya bakal diubah konsepnya dari kepemilikan menjadi sesuatu yang bersifat layanan. Ini hanya bisa berjalan jika level perekonomian global berada di tingkatan yang kurleb sama. (baca disini dan disini)

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!