Menghentikan Perang?


513

Menghentikan Perang?

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana AS terus mendorong kebijakan perang yang ada di banyak negara?

Jawabannya: karena AS memiliki Military Industrial Complex (MIC) alias Kompleks Industri Militer, yang berada dibelakang para pengendali kebijakan militernya. Menjadi wajar jika perang terus disorong agar senjata dan teknologi militer yang telah diproduksi bisa laku di pasaran.

Tentang hal ini, mantan presiden AS Dwight Eisenhower telah lama memperingatkan jauh-jauh hari bahaya industri perang, sebelum MIC establish seperti saat ini. (http://www.youtube.com/watch?v=8y06NSBBRtY)

Kebayang dong, sudah investasi mahal-mahal untuk buat senjata tapi nggak ada perang, apa nggak rugi investornya? Nggak aneh jika kebijakan perang harus tetap digulirkan. Dengan semakin banyaknya perang digelar, maka otomatis makin banyak ‘cuan’ didapat. (https://www.usatoday.com/story/money/2019/02/21/military-spending-defense-contractors-profiting-from-war-weapons-sales/39092315/)

Memang apa saja yang menjadi bagian MIC?

Ada sederet perusahaan top dunia di bidang pertahanan, mulai dari Lockheed Martin, Boeing, Raytheon Technologies, Honeywell, Northrop Grumman hingga General Electric. (https://www.militaryindustrialcomplex.com/companies.php)

Pertanyaannya: untuk perang butuh UU yang kasih jalan legislasinya. Apakah ada koneksi antara pembuat UU dengan MIC?

Selidik punya selidik, ternyata ada kaitan antara parlemen (yang mengesahkan UU) dan kontraktor perang tersebut.

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Business Insider, setidaknya ada 15 anggota parlemen yang memegang posisi kuat di DPR dan Senat yang mengendalikan kebijakan militer AS, memiliki hubungan dengan MIC terkemuka. Ini terungkap berdasarkan data dari keuangan federal. (https://www.businessinsider.in/politics/world/news/at-least-15-lawmakers-who-shape-us-defense-policy-have-investments-in-military-contractors/amp_articleshow/88256858.cms)

Sepanjang tahun 2021 saja, baik Demokrat maupun Republik yang bertugas pada komite Angkatan Bersenjata di Kongres, terus berinvestasi dalam MIC. Jadi urusan ‘cuan’ nggak kenal kubu-kubuan, karena pada dasarnya uang nggak punya ideologi, bukan?

Pada tataran teknis, perusahaan besar yang ada di MIC menggelontorkan jutaan dollar pertahunnya untuk melobi pemerintahan federal guna mendorong pejabat terpilih, membentuk kebijakan dan memenangkan kontrak pemerintah yang sudah pasti berpihak pada mereka.

Sudah pasti apapun yang dihasilkan Kongres, menjadi nggak bebas kepentingan, karena semua sudah diatur alias setting-an.

Contoh yang paling gres adalah RUU Otorisasi Pertahanan Nasional (National Defense Authorization Act) yang sebentar lagi disahkan. RUU ini saja bernilai sekitar USD 770 miliar jika kemudian disahkan Senat dan tanda tangan Biden. (https://edition.cnn.com/2021/12/07/politics/house-votes-ndaa-national-defense-authorization-act/index.html)

Apa nggak ngiler lihat anggaran pertahanan segede gaban? Wajar nggak kalo anggota parlemen yang bertugas meloloskan UU pertahanan, berinvestasi pada MIC? Apa iya anggaran pertahanan nggak dibelanjakan peralatan perang yang diproduksi MIC?

Kalo mau tahu siapa saja anggota parlemen AS yang namanya tercantum pada laporan Business Insider, silakan anda baca tautan yang saya beri di atas.

Point-nya adalah: selama ada MIC, maka selamanya juga akan banyak perang digelar.

Apa tujuan akhir perang sesungguhnya selain depopulasi? Bukan begitu Ndoro?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!