Sejak peristiwa reformasi 1998, saya punya banyak waktu untuk mengikuti kiprah tokoh-tokoh nasional yang kerap muncul ke permukaan. Sebagai analis, saya mengadakan kajian dengan rekan sejawat, tentang dedikasi sang tokoh buat negeri kita tercinta.
Ngapain juga segala mengkaji sumbangsih para tokoh buat kemashlatan bangsa?
Ini yang namanya komitmen, bung!! Tanpa dibayar-pun, kami akan rela melakukannya, sebagaimana kami rela mengorbankan masa muda kami, saat mengikuti gerakan klandestin untuk meruntuhkan rezim Orde Baru. Walau ajal siap menanti, kapanpun.
“Jangan pernah bicara soal untung apa rugi untuk kepentingan bangsa ini,” saya ingat sekali wejangan dari orang yang di-tuakan dalam gerakan. Dan sampai saat ini, wejangan itu masih saya pegang kukuh.
Kembali ke laptop…
Berdasarkan analisa saya, apa yang dikatakan Soekarno sebagai “Komprador”, memang sungguh ada. Antek asing, bahasa lainnya. Orang yang sama sekali nggak peduli terhadap bangsanya sekalipun bangsanya dikuasai atau dijual ke pihak asing. Kok bisa? Karena sebagai komprador, dia telah menerima “imbalan” yang sesuai untuk hidupnya.
Saya amati, kiprah seorang Rhenald Kasali, rekam jejaknya cukup baik. Guru besar Fakultas Ekonomi UI ini mendapatkan gelar Ph.D dari University of Illonois, Amerika. Dan sekembalinya dari negeri Paman Sam, dia banyak menulis, hingga dikukuhkan sebagai guru besar di UI.
Peran sosial-pun tak luput dia jalankan. Tercatat dia mendirikan Rumah Perubahan dekat kediamannya, dengan tujuan anak bangsa ini mau merubah “DNA-nya”, yang tadinya enggan menerima perubahan menjadi lebih kompetitif di era millennium ini.
Saya pikir agak langka menemukan jebolan kampus Barat yang masih punya rasa kepedulian sosial. Kebanyakan mau enaknya sendiri, empati sosial kurang dan hasrat berkuasa setinggi langit. Gak percaya? Coba tilik kiprah gabener tercinta, yang juga jebolan Amrik. Kita akan menemukan hal yang kontras disana.
Dalam acara ILC, sang guru besar marah. Ekspresi itu saya tangkap dengan munculnya ungkapan: “kita tingkatkan kompetensi kita” – berkali-kali. Itu sebenarnya mau nyindir kepada narsum “profesor bumi datar “yang sudah bicara asal njeplak di forum tersebut.
Rocky mengklaim bahwa berdasarkan teori resource curse, negara dengan banyak sumber daya alam hancur karena SDA itu sendiri.
Kontan, teori usang tersebut dibantah oleh sang guru besar. “Yang menghancurkan suatu negara bukan sumber daya(nya), tetapi sistem politik negara itu sendiri,” begitu ucapnya.
Mendapat semprotan dari sang guru besar, langsung deh profesor abal-abal diam seribu bahasa.
Yaelah tong, kalo kagak nguasai materi, mendingan diem ngapa? Jadi ketauan kawe’nya, kan? Dan para kamfret fetamburan selaku supporter-nya, hanya bisa diam seribu bahasa, entah karena nggak ngerti apa udah ngantuk?
Yang saya salut, saat Prof. Rhenald Kasali berbicara soal Freeport, “Kalau kita bertengkar karena merasa diri kita sudah pintar, sudah pandai, dan kita (akan) hancurkan negara kita. Gunung emas (Freeport) itu-pun akan hilang ke negara lain.” Artinya kurang lebih, kalo nggak bisa ambil alih Freeport yang merupakan gunung emas, mendingan diam, jangan malah nyinyir.
Salut prof, atas pernyataan anda. Angkat topi untuk itu…
“Tapi kalo kamfret nggak nyinyir, jadi nggak rame bang?” begitu kata teman saya. Kalo-pun harus nyinyir, nyinyirlah yang cerdas. Minimal jangan asbun. Harus ada data, baru ente bicara. Apa mau kek Rocky Gerung yang disuruh untuk meningkatkan kompetensi sama Prof. Rhenald Kasali?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments