Oleh: Ndaru Anugerah
Apa yang telah terjadi di China, dibuat terjadi kembali di Indonesia. Utamanya saat Jokowi memimpin republik ber-flower ini. Maka jangan heran bila investasi asing jadi rujukan utama dalam mendongkrak perekonomian negara.
Belajar dari kasus China, Jokowi mulai mengundang investor utamanya asing untuk mau menaruh uangnya di Indonesia. Nah untuk mau masuk, investor pasti timbang-timbang dengan berbagai kemungkinan, mulai dari perijinan hingga insentif yang akan didapatkannya dari negara tempatnya berinvestasi.
Dan karenanya, pakde kemudian membuat beberapa terobosan. Pertama kawasan-kawasan potensial mulai dipetakan. Lalu muncul istilah KEK alias Kawasan Ekonomi Khusus yang rencananya akan dikembangkan menjadi 17 wilayah.
Sebagai gambaran, KEK merupakan kawasan potensial yang dimiliki suatu wilayah yang bisa dikembangkan menjadi wilayah bernilai ekonomis tinggi. Potensial yang dimaksud bisa jadi karena sumber daya alamnya berupa pertambangan ataupun karena keindahan alamnya.
“Ada KEK industri dan ada juga KEK pariwisata,” demikian ungkap seorang sumber.
Setelah plotting selesai, maka langkah selanjutnya adalah menyediaan infrastruktur. Seperti kita tahu bahwa infrastuktur tuh ada 2 macam, pertama hard infrastructure dan kedua soft infrastructure.
Infrastruktur keras menyoal akses jalan, pelabuhan, bongkar muat, bandara dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur lunak menyangkut perijinan, perpajakkan, ketenaga kerjaan hingga kemudahan lainnya dari pemerintah yang sifatnya memanjakan investor.
Jangan heran bila proyek infrastruktur begitu masif digelar pada periode pertama pemerintahan Jokowi, karena dalam rangka menarik investor tadi. Yang namanya investor mana mau ruwet ngurusin soal infrastruktur? Tahunya, infrastuktur harus tersedia baru mau investasi.
Untuk menggenjot proyek infrastuktur, sesuai dengan rencanaya maka BUMN lah yang daulat untuk mengerjakannya dan bukan swasta. Dengan lisensi tersebut, maka peran BUMN sengaja diperkuat untuk mengkapitalisasi dirinya dalam rangka state capitalism tadi.
Singkatnya apa yang dilakukan Jokowi adalah untuk memudahkan iklim investasi di Indonesia. Prinsipnya, dengan masuknya investor maka akan menyerap lapangan kerja yang otomatis bisa mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
Bukan itu saja, dengan adanya investasi maka roda perekonomian nasional akan bisa bergerak normal karena daya beli masyarakat tidak stagnan apalagi turun.
Dan terlebih lagi, ini adalah siasat Jokowi untuk mengantisipasi krisis ekonomi global yang diprediksi akan berlangsung pada 2020 nanti sebagai imbas perang dagang AS dan China.
Selain investasi, langkah krusial lainnya yang diambil oleh Jokowi adalah memperbaiki kinerja BUMN. Untuk urusan yang satu ini, dipasanglah orang-orang yang ‘biasa main keras’, dibawah komando Erick Thohir.
Bocorannya, akan ada 7 BUMN strategis yang akan dijadikan sasaran utama, dari mulai Pertamina, Garuda, PLN, Sarinah, BTN, hingga Bank Mandiri. Kenapa kinerjanya perlu dibenahi? Karena total aset BUMN mencapai angka Rp 8200 trilyun. Angka yang cukup sayang untuk tidak digarap serius, tentunya.
Gonjang-ganjing yang terjadi di Pertamina dan Garuda tempo hari, nggak lain dan nggak bukan adalah skenario pembenahan BUMN yang dibesut oleh ET. Targetnya, BUMN sehat dan nggak merugi terus menerus. Dan harapan kedepannya, BUMN bisa mencetak laba bagi kepentingan bangsa.
Apakah selama ini BUMN merugi? Walaupun ada beberapa yang cetak laba, namun mayoritas besar pasak daripada tiang. Apa penyebabnya?
Karena nggak digarap secara profesional. Maksudnya?
Ambil contoh BUMN kita yang bernama Sarinah yang spesialis jualan produk. Masa sekarang sudah jaman e-commerce, kok sistem jualannya masih konvensional aja? Mana ada yang pembeli mau belanja lewat konsep buka toko? “Lha mall aja sekarang sepi pengunjung?”
Jadi konsepnya sekarang dibalik. Kalo dulu BUMN adalah penyokong APBN, maka sekarang BUMN justru disokong oleh APBN, biar kondisinya bisa sehat dulu. Nanti kalo sudah sehat, maka kemandirian BUMN akan menemukan jalannya.
Kurleb begitulah skenario-nya.
Apakah rencana ini akan berhasil? Entahlah.
Dengan rencana pergantian sistem yang ada, orang-orang yang dulu biasa mendapatkan kenyamanan dari sistem lawas, sekarang mulai terusik ekosistemnya. Karenanya mereka akan resisten. Dan jalur pengerahan massa berjudul proyek nasbung akan semakin masif digelar demi kepentingan perut tersebut.
Pernah tahu isu serbuan jutaan TKA China di Polewali Mandar tempo hari, kan? Itu nggak lain gorengan dalam rangka kepentingan perut tadi.
Di Polewali Mandar, yang merupakan salah satu wilayah KEK yang ditetapkan Jokowi, merupakan basis pengolahan Nikel.
Dulu, biji Nikel diekspor keluar negeri dalam bentuk mentah. Harga sangat murah, jadi investor senang, dan ‘orang-nya’ investor yang bercokol di Indonesia (biasanya pemangku kebijakan) kecipratan senang juga karena dapat komisi setelah memuluskan aksi jual murah.
Selidik punya selidik, negara dirugikan kalo hanya ekspor bahan mentah. Dan Jokowi cukup jeli melihat hal ini. Kalo Nikel bisa diolah dan jadi produk turunan dan harga jualnya bisa melonjak berlipat-lipat, ngapain harus diekspor dalam bentuk gelondongan?
Memang apa produk turunan Nikel? Sangat banyak. Dari mulai stainless steel, katoda hingga kobalt yang jadi bahan dasar baterai Litium. Kebayang dong berapa duit yang didapat negara jika ada UU yang melarang ekspor Nikel dalam bentuk mentahan?
Melihat gelagat tidak baik, pihak investor menggelontorkan dana nasbung buat mengusik ketenangan pemerintah. Harapannya, UU tersebut tidak digolkan. Singkat kata, berhembuslah isu serbuan jutaan Aseng ke Polewali Mandar. “Pemerintah Jokowi pro komunis,” demikian teriakannya.
Usut punya usut, ternyata hanya ada ribuan TKA China yang bekerja disana. Wajar. Karena ada UU investasi yang memperbolehkan investor China untuk membawa pekerjanya langsung dari negara asalnya. Namun jumlah yang katanya jutaan, jelas lebay adanya.
Apalagi rencana Jokowi yang akan menggeluarkan Omnibus Law alias UU sapu jagat guna memperlancar arus investasi di Indonesia. Bisa dipastikan, pemerintah daerah yang selama ini berkuasa memutuskan investasi, akan dipotong kewenangannya dengan hadirnya UU tersebut.
Ibaratnya, kalo dulu dengan ongkang-ongkang kaki sudah dapat fulus dengan alasan perijinan, perpajakkan dan seribu satu akal bulus lainnya, eh sekarang lain lagi ceritanya. “Pemerintah Daerah jangan coba-coba mempersulit arus investasi,” begitu ‘pesan’ Jokowi kepada mereka.
Dengan semua kondisi yang ada, bisa dipastikan ‘pestanya’ jadi makin meriah ke depannya. Akankah Jokowi mampu mengatasinya?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments