Kudeta dibalik Corona


514

Kudeta dibalik Corona

Oleh: Ndaru Anugerah

Corona melanda semua belahan dunia. Tak terkecuali Kosovo, yang pada 17 Februari 2008 mendapatkan status negara merdeka atas sokongan negara-negara Barat, lepas dari Serbia selaku sekutu Rusia saat itu.

Saat COVID-19 menghajar Kosovo, kejadiannya sama dengan di Indonesia. Beritanya digoreng sedemikian rupa oleh media mainstream disana.

Ujung-ujungnya perlunya menetapkan status lockdown pada negara bekas pecahan Yugoslavia (-satelit soviet) tersebut.

Padahal status sesungguhnya, nggak parah-parah amat.

Tercatat pada pertengahan Maret yang lalu, ada 71 kasus COVID-19 di Kosovo dengan 1 orang meninggal dunia karenanya.

Dengan angka yang demikian kecil, wajar jika PM Albin Kurti menegaskan tidak perlunya diberlakukan status lockdown pada negara tersebut.

Namun, karena Kurti yang dijuluki sebagai Che Guevara dari Kosovo tersebut tetap ngotot pada pendiriannya, maka terjadilah perselisihan paham antar anggota parlemen tentang perlu tidaknya status lockdown diberlakukan.

Perselisihan tersebut merembet sampai ke kabinet yang dipimpin oleh Kurti, dimana Menteri Dalam Kosovo – Agim Veliu – menegaskan dukungannya untuk memberlakukan status darurat alias lockdown tersebut.

Enggan berpolemik, Kurti-pun buka suara.

“Status darurat tidak dibenarkan,” demikian pernyataan resmi Kurti.

Tapi karena terus mbalelo terhadap arahan Kurti, tanpa banyak cingcong Kurti memecat sang menteri dalam negeri tersebut.

Masalahnya tambah runyam, karena pihak partai Liga Demokratik Kosovo (LDK) nggak terima terhadap keputusan yang diambil oleh Kurti untuk memecat Veliu.

Maklum, Kurti bisa melaju sebagai perdana menteri di Kosovo berkat jasa LDK yang menyokongnya untuk maju sebagai perdana menteri ke-4 Kosovo pada pemilu 3 Februari 2020 lalu.

Kurti sendiri merupakan anggota partai Vetevendosje yang berhaluan kiri.

Jadi sebenarnya, duet dua partai Vetevendosje dan LDK merupakan pilar penyokong kepemimpinan Kurti di Kosovo.

“Dengan memecat menteri dari LDK tanpa konsultasi terlebih dahulu, Kurti sudah menghancurkan koalisi pemerintahan yang telah terjalin,” demikian siaran pers partai LDK.

Singkat cerita, partai LDK menggali dukungan parlemen untuk menyatakan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Kurti. Dengan kata lain, Kurti harus dimakzulkan.

Walhasil, dengan tangan-tangan Barat yang ada di parlemen Kosovo, mosi tidak percaya menemukan jalannya.

Voting-pun dilakukan pada Rabu 26 Maret 2020 yang lalu.

Hasilnya: dari 120 kursi di parlemen, 32 suara mendukungnya, 4 abstain dan 82 suara menentangnya alias mendukung mosi tidak percaya tersebut.

Kurti-pun terlempar dari kursi perdana menteri yang baru diampunya hanya dalam waktu 1 bulan.

Dan partai Vetevendosje diberikan amanat oleh parlemen untuk menunjuk someone else sebagai pengganti Kurti.

Dari kasus di Kosovo kita bisa belajar, bagaimana seorang sosok sosialis yang berani menentang hegemoni AS, bisa terhempas dari kursi singgahsananya.

Melihat skenario di Kosovo, saya jadi mahfum kalo seorang pakde tengah mengalami nasib yang sama dengan Kurti. Banyak sekali goyangan dan terpaan yang dialaminya, karena tetap keukeuh pada pendiriannya untuk tidak menetapkan status lockdown.

Padahal AS sudah menekan dari mana-mana.

Akankah sukses Kosovo berlanjut ke negeri ber-flower ini?

Disinilah kepiawaian manajemen konflik seorang Jokowi diuji.

Dan strategi tersebut jelas butuh dukungan dari konstituen setianya.

Akankah para pendukungnya setia?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah maantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Izin koreksi.
    Untuk Kosovo, adalah bukan negara pecahan Uni Soviet, melainkan pecahan Yugoslavia.
    Sekian. Terimakasih.

error: Content is protected !!