Korut Akan Jatuh?
Oleh: Ndaru Anugerah
Bagi anda penggila masalah geopolitik, pasti nggak asing dengan lembaga think-tank CSIS yang ada di AS sana. Lembaga ini lumayan dominan kasih masukan ke Gedung Putih buat menelorkan kebijakan LN AS terutama dalam bidang pertahanan dan keamanan. (https://news.syr.edu/blog/2020/02/12/csis-named-number-one-think-tank-in-the-united-states/)
Salah satu analis CSIS pada masalah Korea Utara yaitu Dr. Victor Cha, baru-baru ini kasih analisanya yang tertuang dalam harian Washington Post. Menurutnya, AS harus bersiap menghadapi krisis militer karena nggak lama lagi rezim Kim Jong Un akan ambruk.
“Korut nggak akan mampu bertahan lebih dari satu tahun akibat sanksi dan blokade perbatasan yang diterapkan akibat krisis Corona,” demikian kurleb isi analisanya. (https://www.washingtonpost.com/opinions/2021/01/15/why-north-korea-could-become-one-bidens-biggest-challenges/)
Dr. Cha menambahkan bahwa untuk mengatasi krisis perbatasan, bukan nggak mungkin Korut bakal pakai kekuatan militer ke negara tetangganya. Untuk itu AS harus bersiap mengantisipasi hal tersebut. Dan kalo analis senior CSIS sudah bicara, maka akan muncul yang namanya kebijakan.
Masalahnya, benar nggak sih analisa yang dilakukan oleh Dr. Cha tersebut?
Tentang klaim pertama bahwa Korut akan ambruk dipicu oleh kelaparan yang akan mengancam, ini sepertinya bisa ditepis. Mengapa? Dr. Cha ada salah menyajikan data. Kelaparan hebat di Korut bukan terjadi saat akhir perang dingin di tahun 1990an, tapi pada jauh setelahnya alias 1999.
Saat itu warga Korut banyak yang tewas akibat kelaparan, bahkan mencapai lebih dari 2 juta jiwa. Dan itu nggak ada blokade perbatasan. Jadi kondisinya jauh lebih buruk dari saat ini. (https://www.nytimes.com/1999/08/20/world/korean-famine-toll-more-than-2-million.html)
Selain itu, sejak 2010 Korut telah mereformasi ekonominya dengan berfokus pada ketahanan pangan. (https://en.yna.co.kr/view/AEN20170404013600315)
Dan ini diperkuat kembali di tahun 2018, dimana kebijakan nasional nggak lagi bertumpu pada kekuatan militer semata, tapi beralih ke sektor ekonomi. (https://www.koreatimes.co.kr/www/nation/2018/09/103_254852.html)
Dengan adanya reformasi tersebut, maka warga Korut bisa makan 3 kali sehari saat ini karena ketahanan pangannya sudah dibenahi. Jadi kalo ada analisa bahwa warga Korut bakal dilanda bahaya kelaparan, datanya darimana?
Lantas apakah ekonomi Korut bisa berjalan sesuai rencana? Nggak juga.
Akibat blokade perbatasan, Korut kena getahnya. Kim Jong Un mengakui hal tersebut, bahwa target yang telah dia tetapkan tidak sesuai ekspektasi. Tapi ini bukan berarti bahwa Korut mengalami kegagalan pada sektor ekonominya. (https://www.38north.org/2021/01/key-results-of-the-eighth-party-congress-in-north-korea-part-1-of-2/)
Kalo dikatakan bahwa Korut kena imbas resesi ekonomi akibat pandemi, itu benar adanya. Tapi, nggak hanya Korut yang kena imbas tersebut, bukan? Dan itu nggak berpengaruh pada strategi ketahahan pangan yang sudah ditetapkannya.
Klaim kedua yang dinyatakan Dr. Cha adalah bahwa Korut nggak bisa dapat vaksin buat mengatasi Kopit di negaranya. Akibatnya, Korut bakal menerobos jalur perbatasan dengan menggunakan kekuatan militer.
Ini jelas lebay dan cuma ada dalam film di Hollywood.
Kenapa?
Karena China nggak akan mungkin membiarkan negara satelitnya menghadapi masalah Kopit sendirian. Logis nggak sih, kalo negara-negara di Afrika aja dibantu soal vaksin, terus Korut yang jaraknya sepelemparan lembing kok dibiarin? (https://www.dw.com/en/whats-behind-chinas-offer-to-share-its-vaccines-with-africa/av-55940113)
Kongres Partai Komunis baru-baru ini yang dihadiri oleh 7000 orang tanpa mengenakan masker, bisa dijadikan indikator bahwa masalah Kopit bukan menu utama di Korut. Artinya nggak ada infeksi besar-besaran di Pyongyang seperti klaim yang dibuat oleh Dr. Cha. (https://en.yna.co.kr/view/AEN20210112005900325)
Klaim berikutnya yang disinggung oleh Dr. Cha adalah bahwa Korut akan menerapkan kebijakan anti-pasar. Jadi kalo ada kesulitan ekonomi, langkah yang akan diambil adalah menggunakan kekuatan militer.
Ini juga klaim yang ngelantur, karena nyatanya Kim Jong Un malah buka sistem pasar untuk menggerakkan ekonomi negaranya. (https://www.kinu.or.kr/pyxis-api/1/digital-files/478d56d2-966a-44f6-9d58-4d7be0583dc0)
Dengan adanya kebijakan ekonomi tersebut, maka setiap warga negara bisa memanfaatkan pasar untuk memfasilitasi pasokan dan distribusi produk yang mereka hasilkan. “Sejak gagalnya reformasi mata uang di 2009, maka Pyongyang menahan diri untuk memberangus kebijakan anti-pasar.” (https://www.piie.com/commentary/op-eds/north-koreas-failed-currency-reform)
Klaim selanjutnya adalah tentang sikap Pyongyang yang keukeuh untuk menolak program denuklirisasi. Saat Kongres Partai Komunis berlangsung, Kim Jong Un nggak mengungkit hal yang berkaitan dengan program nuklir Korut. Lantas, data yang didapat Dr, Cha darimana asalnya?
Malahan kalo lihat sejarah, biasanya begitu Presiden AS baru terpilih, Korut kerap melakukan provokasi dalam bentuk aksi show off rudal balistik antar benua (ICBM) yang biasanya dipamerin saat parade militer, ataupun melakukan uji coba rudal.
Saat Biden dilantik, apa ada ‘provokasi’ itu dibuat? Kan nggak ada.
Artinya apa? Pertama, jangan provokasi Korut duluan, kalo nggak mau ada aksi dari Pyongyang. Yang kedua, Korut sebenarnya buka ‘ruang’ negosiasi buat AS kalo mau bicara soal agenda denuklirisasi. Jadi nggak kaku-kaku amat.
Ini logis, karena nuklir dibuat sebagai alat pertahanan Korut atas ancaman yang dibuat AS, bukan?
Bisa disimpulkan, analisa yang dibuat Dr. Victor Cha mengada-ada.
Lalu apa target sebenarnya dari Dr. Cha?
Memberikan masukan kepada Joe Biden untuk ambil langkah militer jika hendak menyelesaikan masalah dengan Korut dan bukan negosiasi. Inilah alasan seesungguhnya dari analisa yang dibuat Dr. Cha.
Bukan begitu skenarionya, Sun Dong Yang?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments